Tubuh Orang Hindu Bali dalam Laku Seni dan Laku Upacara
Oleh: Ibed Surgana Yuga
Jujurkah tubuh orang Hindu Bali mutakhir
dalam melakoni seni dan upacaranya?
SAYA baru saja mengikuti sebuah diskusi dan menonton video dokumenter tentang workshop seorang penari Jepang bernama Min Tanaka. Salah satu metode yang dilontarkan Tanaka dan menarik bagi saya adalah tentang kejujuran tubuh manusia dalam bergerak, baik dalam konteks tari maupun gerak keseharian, sehingga ekspresinya menjadi suatu hal yang "berbeda", unik, menarik, baru. Saya sendiri belum paham benar apa yang dimaksudkan Tanaka sebagai kejujuran itu. Namun lontaran itu menyeret saya kepada diskursus yang barangkali berbeda dan barangkali juga begitu dekat dengan yang dimaksudkan Tanaka. Diskursus yang saya maksud adalah tentang tubuh orang Hindu Bali dalam kaitannya dengan berbagai upacara serta seni yang menjadi keseharian – walau tidak semua – orang Hindu Bali.
Orang Hindu Bali memiliki konsep tentang bhuana agung dan bhuana alit, jagat besar dan jagat kecil, alam semesta dan tubuh manusia. Pola hubungan antara kedua jagat ini oleh orang Hindu Bali dibangun melalui sistem serta pola fisik dan transenden. Hubungan ini diciptakan untuk mencapai "kehidupan yang lebih baik", dengan kebutuhan duniawi sebagai pembenaran dalam hal hubungan fisik dan agama Hindu Bali sebagai pembenar hal transenden. Di samping itu, ada pula pembenar-pembenar lain yang digunakan, seperti keyakinan metafisik tertentu, filsafat lokal, ajaran lainnya serta seni.
Sistem-sistem hubungan itu yang didasari oleh keyakinan ditransmisikan secara turun-temurun lalu menjelma sebagai tradisi. Eksistensinya sebagai sesuatu yang telah mentradisi tidak serta merta memposisikannya sebagai sebuah ekspresi kejujuran bagi orang-orang yang melakukannya. Sebab dalam sebuah tradisi, unsur kolektif sangat kuat mengikat. Sedangkan kejujuran sendiri lebih merupakan hal yang individual.
Tubuh yang Diserahkan
Saya teringat Michel Foucault yang berbicara tentang kuasa-kuasa tertentu yang melakukan pengaturan terhadap tubuh individu. Misalnya, individu sebagai warga negara "menyerahkan" tubuhnya kepada kuasa pemerintah melalui kepatuhan terhadap berbagai hukum yang mengatur laku tubuh warga negara. Dalam hal ini tubuh individu diatur atau dibentuk sedemikian rupa, baik karakter maupun lakunya, agar sesuai dengan tata nilai tertentu yang dianut oleh suatu negara.
Dalam wilayah budaya Hindu Bali, sejak tubuh seseorang belum terlahir ke bumi, ia telah diperlakukan dengan upacara. Hal ini terus berlangsung hingga tubuh itu ditinggalkan jiwa dan akhirnya dimusnahkan sisi kebentukannya. Upacara demi upacara membentuk tubuh orang Hindu Bali dalam menapaki kehidupan, atau dalam lingkup waktu yang lebih kecil yaitu dalam hidup kesehariannya. Hingga ketika kematian pun upacara tetap berusaha memberikan "bentuk" terhadap tubuh itu.
Dengan demikian, orang Hindu Bali menyerahkan tubuhnya selama umur tubuh itu kepada upacara demi upacara yang dikonstruksi oleh ajaran agama yang sebelumnya telah – dianjurkan untuk – diyakini oleh orang Hindu Bali sendiri. Pembentukan itu, baik secara karakter fisik, psikis, maupun dalam hubungan transindividual, di satu sisi menempati posisi yang praktis dan verbal dalam keseharian. Di sisi lain pembentukan dilakukan untuk mewujudkan simbol-simbol tertentu yang menyangkut nilai-nilai keutamaan hidup. Hal ini memiliki pembenarannya dalam ajaran agama.
Kita lihat salah satu contoh dalam upacara mapandes atau masangih, misalnya. Dalam upacara ini orang Hindu Bali "menyerahkan begitu saja" tubuhnya, atau lebih spesifik giginya, terhadap upacara untuk dihilangkan bagian-bagian tertentunya. Ini merupakan salah satu bentuk penyerahan tubuh secara fisik terhadap upacara, di mana gigi orang Hindu Bali dikikir bagian-bagian tertentunya sehingga mengalami pengurangan dan mencapai perubahan bentuk tertentu.
Di samping pembentukan secara fisik, upacara mapandes juga turut membentuk tubuh orang Hindu Bali secara simbolik. Tubuh yang telah diserahkan terhadap upacara ini dikonstruksi sehingga tercipta simbol-simbol tertentu dalam tubuh itu sendiri, berkaitan dengan nilai-nilai seperti penghilangan kekuatan-kekuatan jahat atau hawa nafsu yang sebelumnya menguasai tubuh. Di sini pula tubuh diinisiasi menjadi suatu konstruksi yang melibatkan tingkatan kehidupan tertentu menurut agama, sehingga secara simbolik tubuh secara kompleks mengalami peningkatan taraf kedewasaan. Dalam konsep tentang kedewasaan ini sendiri ada nilai-nilai keutamaan yang harus diemban oleh tubuh.
Dalam ranah lain kehidupan orang Hindu Bali, ada pula seni sebagai pranata yang juga turut membentuk tubuh orang Hindu Bali. Berbeda dalam konteks upacara yang saya contohkan di atas, di mana tubuh dibentuk sesuai nilai-nilai ajaran agama, dalam pranata seni tubuh dibentuk untuk menuju apa yang dinamakan dengan tubuh estetis. Contoh mudah dalam kasus ini adalah dunia seni tari.
Seni tari di Bali, sebagaimana juga di belahan lainnya di dunia, mempunyai pakem dan nilainya tersendiri yang terejawantah dalam gerak dan simbol melalui media tubuh. Tubuh dilatih atau dibentuk untuk dapat mencapai taraf terampi yang ukuran nilainya adalah pakem dan simbol. Dengan seni tari, tubuh mengalami perubahan secara fisik dan dalam laku ketika menari tubuh juga diberikan beban simbol yang sekaligus di dalamnya terdapat makna dan nilai.
Keyakinan dan Kejujuran Tubuh
Seni tari dan upacara di Bali memang sudah menjadi tradisi. Dan tradisi selalu didasari oleh konsep yang tidak lain adalah suatu keyakinan. Konsep ditransmisikan secara turun-temurun melalui laku.
Pentransmisian kompleksitas laku tradisi secara turun-temurun kadang mengalami distorsi. Ada segi-segi yang hilang. Ini biasanya terjadi salah satunya ketika tradisi dikultuskan oleh orang-orang yang menghidupinya. Tradisi dimaknai hanya sebagai laku semata, yang harus dipraktikkan dalam keseharian, tanpa mengecek konsep apa sebenarnya yang mendasari, yang menjadi keyakinan, dari tradisi itu.
Ketika tradisi hanya laku, dalam arti tidak didasari dengan pemahaman terhadap dunia ide atau konsep yang mendasarinya, maka tradisi pun cuma rutinitas yang bebal dan kosong. Orang-orang yang mempraktikkannya hanya didasari oleh suatu stigma bahwa itu adalah kewajiban umat. Atau di sisi lain, dalam kerangka kolektivitas, tradisi dipraktikkan hanya untuk menjaga norma kesopanan antarsesama pewaris tradisi.
Tubuh pelaku tradisi pun menjadi tubuh yang buta dan tidak jujur ketika tradisi bukan lagi dipraktikkan atas dasar keyakinan akan konsep yang ada di balik laku yang dianjurkannya. Ini disebabkan karena tubuh itu tidak memiliki keyakinan dengan laku yang dipraktikkannya. Hal ini akan diperparah lagi ketika konsep atau keyakinan lain memasuki tubuh itu.
Bagi orang Hindu Bali, silakan tanyakan pada diri sendiri apakah tubuh Anda jujur mempraktikkan berbagai upacara atau seni yang selama ini ditradisikan?
Jogja, Oktober 2008
Dalam ranah lain kehidupan orang Hindu Bali, ada pula seni sebagai pranata yang juga turut membentuk tubuh orang Hindu Bali. Berbeda dalam konteks upacara yang saya contohkan di atas, di mana tubuh dibentuk sesuai nilai-nilai ajaran agama, dalam pranata seni tubuh dibentuk untuk menuju apa yang dinamakan dengan tubuh estetis. Contoh mudah dalam kasus ini adalah dunia seni tari.
Seni tari di Bali, sebagaimana juga di belahan lainnya di dunia, mempunyai pakem dan nilainya tersendiri yang terejawantah dalam gerak dan simbol melalui media tubuh. Tubuh dilatih atau dibentuk untuk dapat mencapai taraf terampi yang ukuran nilainya adalah pakem dan simbol. Dengan seni tari, tubuh mengalami perubahan secara fisik dan dalam laku ketika menari tubuh juga diberikan beban simbol yang sekaligus di dalamnya terdapat makna dan nilai.
Keyakinan dan Kejujuran Tubuh
Seni tari dan upacara di Bali memang sudah menjadi tradisi. Dan tradisi selalu didasari oleh konsep yang tidak lain adalah suatu keyakinan. Konsep ditransmisikan secara turun-temurun melalui laku.
Pentransmisian kompleksitas laku tradisi secara turun-temurun kadang mengalami distorsi. Ada segi-segi yang hilang. Ini biasanya terjadi salah satunya ketika tradisi dikultuskan oleh orang-orang yang menghidupinya. Tradisi dimaknai hanya sebagai laku semata, yang harus dipraktikkan dalam keseharian, tanpa mengecek konsep apa sebenarnya yang mendasari, yang menjadi keyakinan, dari tradisi itu.
Ketika tradisi hanya laku, dalam arti tidak didasari dengan pemahaman terhadap dunia ide atau konsep yang mendasarinya, maka tradisi pun cuma rutinitas yang bebal dan kosong. Orang-orang yang mempraktikkannya hanya didasari oleh suatu stigma bahwa itu adalah kewajiban umat. Atau di sisi lain, dalam kerangka kolektivitas, tradisi dipraktikkan hanya untuk menjaga norma kesopanan antarsesama pewaris tradisi.
Tubuh pelaku tradisi pun menjadi tubuh yang buta dan tidak jujur ketika tradisi bukan lagi dipraktikkan atas dasar keyakinan akan konsep yang ada di balik laku yang dianjurkannya. Ini disebabkan karena tubuh itu tidak memiliki keyakinan dengan laku yang dipraktikkannya. Hal ini akan diperparah lagi ketika konsep atau keyakinan lain memasuki tubuh itu.
Bagi orang Hindu Bali, silakan tanyakan pada diri sendiri apakah tubuh Anda jujur mempraktikkan berbagai upacara atau seni yang selama ini ditradisikan?
Jogja, Oktober 2008
0 komentar