Seni dan Gengsi


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Ayo nyeni untuk nggaya!

"ORANG Bali tidak bisa melihat bidang kosong. Tangan mereka selalu gatal ingin mengukirnya." Ini hanya guyonan seorang teman. "Eda baang polos kéto. Payasin gigis gén." Ini saran seorang tetua ketika membangun tempat banten menjelang sebuah upacara di kampung saya.

Ada beberapa pernyataan analitis yang mengatakan bahwa perilaku seni orang Bali dapat dilihat dari hal-hal kecil dalam kesehariannya. Lihatlah, gagang pisau dapur yang tidak dibiarkan polos namun diisi sedikit cukilan motif sederhana, begitu juga dengan talenan kayu, atau perkakas dapur lainnya. Hal kecil ini akan menjadi demikian rumit ketika kita menilik berbagai jenis banten atau sarana upacara lainnya, namun tidak meninggalkan kesannya yang "kecil".

Bentuk-bentuk praktik kehidupan di atas mengindikasikan bahwa ada sisi-sisi estetis yang disertakan pada hal-hal yang fungsional dalam hidup keseharian. Nilai fungsional dan esetetis ini mewujud dalam suatu bentuk yang muaranya adalah memerankan kehidupan. Di sana bentuk itu menunggal, menjadi satu keutuhan, tidak tercerai berai oleh kungkungan pengkategorian. Sehingga dalam hidup keseharian orang Bali tidak ditemukan munculnya pretensi untuk membedakan hal mana yang memiliki nilai fungsional dan mana yang estetis. Bahkan barangkali orang Bali – tanpa pengaruh analisis dari ilmu – tidak mengetahui tentang kategori nilai tersebut.

Dalam penyikapan yang demikian, seni bukanlah suatu pranata yang mandiri. Ia adalah sesuatu yang "include". Bahkan penamaannya sebagai seni pun tidak ada – hal yang barangkali menyebabkan tidak adanya kosakata untuk menyebut kata "seni" dalam bahasa Bali. Ia hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak modus pelakonan kehidupan, dari kompleksitas praktik kebudayaan, namun tidak serta merta kemudian dapat dihilangkan. Barangkali akan terjadi kecacatan pada modus pelakonan kehidupan jika ia dinihilkan, sebab dalam suatu titik ia adalah juga jiwa pelakonan hidup.

Namun pada akhirnya di Bali seni pun dipranatakan secara mandiri oleh orang Bali, walaupun masih ada beberapa yang berperan mendukung pranata-pranata kehidupan lain seperti upacara agama. Ketika hal ini terjadi, maka ada pretensi untuk menjadikan seni itu untuk seni semata, an sich. Ia kemudian mewujud menjadi bentuk-bentuk yang kita sepakati sebagai benda seni atau kesenian. Selanjutnya, di tangan orang-orang yang menghidupinya, yang oleh bahasa modern kemudian disebut seniman, ia punya potensi untuk menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang mengambil kapling cukup luas dalam ranah kebudayaan orang Bali.

Mengambil posisi sebagai sesuatu yang besar adalah merebut prestise. Dan prestise itu mahal. Anggapan umum mengatakan kemahalan sebagai kosekuensi logis dari perjuangan kerasnya untuk menjadi besar. Kemahalan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mengatasi kemahalan itu sendiri. Peraihan terhadapnya adalah otomatis juga prestise bagi yang meraih atau menjangkau kemahalannya.

Maka seni tidak lagi milik semua orang. Ia bukan lagi milik dan ekspresi kolektif. Ia dibikin oleh individu, dibeli oleh individu, kadang bisa dinikmati secara kolektif. Namun penikmatan semacam ini tidak dengan serta merta membuat penikmat atau audiance-nya merasa memiliki seni itu karena kuasa diskursus tentang peraihan terhadap seni yang mahal seakan sudah diakui secara kolektif.

Lihatlah upacara-upacara besar yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga, misalnya. Di sana, seni dijadikan sebagai legitimasi (kemewahan) penyelenggaraan upacara itu. Memang, ada beberapa seni yang digunakan sebagai legitimasi upacara tertentu, yang mana seni macam ini kemudian digolongkan sebagai seni wali atau sakral. Namun yang dimaksudkan di sini adalah seni-seni hiburan yang memang tidak diharuskan ada dalam suatu upacara. Seni semacam ini kemudian menjadi salah satu simbol dari unjuk kekayaan material dari pelaksana upacara. Ia menjadi prestise upacara, melahirkan nilai gengsi yang tinggi. Terjadi pergeseran, dari peraihan sebagai pengapresiasian atau penikmatan terhadap fungsi-fungsi seni menjadi pengambilan terhadap prestisenya semata.

Jogja, September-Oktober 2008

Share:

1 komentar