Donggala, Kota Berwajah Laut yang Dikikis Angin Darat

Donggala. Namanya puitis, dan aku mencium asin laut dan amis ikan. Seingatku, aku mengenalnya setahun lalu lewat serangkaian berita foto di sebuah koran nasional. Tembok-tembok tua yang seakan tak pernah berhenti berguguran, dikikis angin dan hawa laut yang ganas. Lalu konstruksi berkarat setengah silinder bak batang bambu raksasa yang dibelah dua lalu ditelengkupkan di atas tanah. “Gudang kopra dan sejarah kejayaan Donggala,” koran itu menulis. 

Seminggu lalu, bersama dua orang Belanda, aku memasuki kota tua ini. Aku kehilangan mata angin. Setiap memasuki wilayah baru, identifikasi pertamaku selalu arah mata angin. Dan di Donggala aku kehilangan utara. Setelah bertanya, mencocokkan dengan Google Map, aku harus mulai membiasakan dan menanamkan ke kesadaranku bahwa laut Teluk Palu yang menghampar itu ada di utara. Dalam kesadaran tubuhku terhadap ruang di tempat tinggal, ruang rumahku di Bali dan Jogja selalu menempatkan laut di Selatan. Maka kesadaran tubuhku akan laut ada di Selatan. Di Donggala, aku harus memutar orientasi keruangan tubuhku seratus delapan puluh derajat. Memang, di utara Donggala masih ada gunung, sebagaimana orientasi keruangan rumahku. Tapi sebelum mencapai gunung dari Donggala, kita mesti menyeberangi hamparan teluk. 

Bekas gudang kopra PKKD di dekat bekas Pelabuhan Perak di Donggala | Foto: Ibed

Kota Donggala bak terbaring di dasar sebuah ceruk, dengan dinding bebukit yang lumayan terjal di satu sisi, dan seraut garis pantai barat Teluk Palu di sisi seberangnya. Menyusuri garis pantainya adalah perjalanan visual yang cukup variatif, mulai dari bukit hijau, daratan landai, muara sungai, rawa kecil berbakau, bukit kapur nan terjal, hingga pasir putih bersih di Tanjung Karang. Merunut garis pantai Donggala bukan sekadar jelajah kontur dan tekstur geografis, namun juga kembara historis dan sosiokultural. Pemandangan akan campur aduk antara rumah-rumah penduduk yang sebagian besar masih berbahan kayu, bekas gudang kopra masa kolonial dari seng penuh karat, dermaga pelabuhan baru, tonggak-tonggak kayu hitam bekas dermaga tua, gedung-gedung bertembok bekas kantor atau gudang masa kolonial, lalu bermacam bentuk serta ukuran kapal dan perahu. 

Kota yang Berwajah di Laut 
Donggala adalah kota pelabuhan warisan kolonial Belanda. Tentu tak sepenuhnya oleh Belanda, namun tatanannya kentara banyak mendapat sentuhan Belanda. Jalanannya seperti benang pakan dan lungsin yang saling silang, menciptakan begitu banyak perempatan. Jika kita melihat Donggala dari atas, kubayangkan ia seperti petak-petak ubin. Barangkali pola ini diciptakan Belanda guna mengakomodasi pergerakan barang dari pelabuhan ke gudang dan toko di pinggir pelabuhan. Toko dan gudang dan jalanan itulah yang menjadi Kota Donggala. 

Sangat kentara kota ini dibangun dengan memposisikan pelabuhan sebagai gerbang masuknya. Orientasi mukanya ke pelabuhan. Wajah Donggala adalah laut. Bukan hanya karena tatanannya kita bisa menduga bahwa Donggala berwajah ke laut, namun juga karena fungsi-fungsi infrastruktur di dalamnya diciptakan untuk meneruskan fungsi pelabuhan niaga yang bertengger di wajahnya. Hampir semua bangunan warisan kolonial yang ada dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan transportasi dan keniagaan laut. 

Wajah Donggala itu bernama Pelabuhan Perak, nama yang benar-benar tinggal nama, kenangan dan tonggak-tonggak kayu hitam tua bekas dermaga. Bekas dermaga ini segera saja mengingatkanku pada bekas dermaga kayu, di mana Titanic tertambat terakhir kalinya sebelum tenggelam, di Cobh, sebuah kota kecil dengan pelabuhan kapal pesiar berskala besar di Irlandia. Apa yang sangat mencolok mata di dekat bekas Pelabuhan Perak adalah tiga lajur bangunan yang dikenal masyarakat Donggala kini sebagai Gudang PKKD (Pusat Koperasi Kopra Donggala). Ini adalah bangunan yang fantastis. Terbangun dari struktur besi berdinding-atap seng dengan bentuk setengah silinder, seperti kubilang sebelumnya, seakan sebatang bambu raksasa yang dibelah dua kemudian ditelungkupkan begitu saja di pinggir pantai. Kusentuh lembaran seng berkarat yang jadi dinding-atapnya; luar biasa tebalnya. Pantas saja ia tahan dengan gempuran angin laut bergaram yang mengantar karat. 

Sebuah informasi yang kubaca mencatat gudang ini dibangun pada kisaran 1940-an sebagai infrastruktur dari Stichting Het Coprafonds, sebuah lembaga yang dibuat Belanda guna menjaga stabilitas harga kopra di tingkat petani. Gudang ini digunakan untuk menimbun kopra dari para petani. Memasuki salah satu bangunan ini, yang hanya tersisa sebagian saja akibat imbas bom Permesta pada 1958, aku masih mencium bau kopra, bau yang tak asing di masa kecilku. 

Wajah Laut yang Dikikis Angin Darat
Seorang teman mengajakku menengok bekas kantor Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), sebuah lembaga ekspedisi kargo laut Belanda. Bangunan yang tak kalah mengenaskan dengan Gudang PKKD ini masih menyisakan atap sirap aslinya. Di sini aku melihat bagaimana Belanda membangun kamar mandi di daerah tropis. Yang menarik bagiku adalah bagaimana konstruksi tembok yang mendindingi bangunan ini. Di dalam lapisan beton tembok, aku melihat bilah-bilah bambu yang ditata membujur seperti tirai bambu, lalu dianyam dengan besi-besi kecil seukuran tali sepatu yang melintang. Beberapa bagian tembok bangunan yang telah ambrol memperlihatkan bilah-bilah bambu itu masih utuh dan lumayan kuat. 

Aku merasa wajah Donggala kini tercermin dengan baik pada bangunan-bangunan tua yang terbengkalai itu. Menyusuri jalanannya yang panas, berdebu, sepi, diwarnai serakan sampah di mana-mana, dan kadang ditingkahi angin berbau garam, hampir tiap jengkal kita menemukan bangunan tua yang bobrok. Di jalanan, mobil, motor, becak, pejalan kaki dan kucing berjalan pada jalur yang sama. Saling berbagi, saling tahu diri jika hendak tabrakan, bergerak saling silang. Segera saja kesan muncul dalam benakku: ini kota yang telah lama ditinggalkan penghuninya, entah karena perang, penyakit mematikan, atau bencana ekonomi yang dahsyat, lalu beberapa penduduk baru memasukinya, mencoba membangun peradaban baru dari puing-puing. Tapi mereka belum sepenuhnya berhasil. 

Masyarakat Donggala mulai merasakan perubahan ketika status pelabuhan utama yang ada di Donggala dipindahkan ke Pantoloan pada 1978. Kehidupan Donggala yang sebelumnya mengandalkan pelabuhan sebagai urat nadi berangsur tenggelam. Dermaga kehilangan kapal, gudang-gudang kehabisan barang, pedagang kehilangan pembeli yang sebelumnya mayoritas pekerja pelabuhan, toko-toko mati kesepian. Donggala jadi “kota pelabuhan” yang kehilangan pelabuhan. Wajahnya bukan sekadar bopeng, tapi hilang. 

Lalu dicoba mengalihkan pandangan Donggala ke arah darat. Jalan yang menghubungkan Donggala dengan Palu diperlancar. Donggala belajar memunggungi laut yang berabad-abad jadi wajahnya. Donggala yang sebelumnya akrab dengan buaian angin laut seakan dipaksa untuk memusuhinya dan mencoba bersahabat dengan angin darat. 

Tapi rupanya tak bisa. Atau belum bisa? Agaknya angin darat itu justru mengikis Donggala. Tubuh Donggala telah dibangun berabad-abad sebagai tubuh yang menghadap ke laut. Mencari makan dari laut. Segela infrastruktur sebagai tubuh Donggala dibangun sebagai insfrastruktur yang menyambung laut, bukan melebarkan darat. Jadi mafhumlah kita sekarang mengapa Donggala seakan tak mampu bangkit. Ya, karena ia bukan kota yang dibangun dari peradaban darat. Donggala adalah pelabuhan niaga laut. Donggala tanpa pelabuhan adalah Mesir Kuno tanpa Sungai Nil. 

Tapi, di tengah Donggala yang seakan porak poranda ini, aku melihat bukit hijau dan laut biru yang melingkupi Donggala itu masih memberi harapan....

Donggala, Agustus 2016 

Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar