Nyepi “Salah”

Setelah menulis Nyepi, Tahun Baru, Gerhana Matahari saat Nyepi kemarin, dan mem-posting-nya saat Ngembak Geni di blog saya ini, saya browsing tentang Nyepi dan gerhana matahari. Saya tidak browsing saat Nyepi karena secara pribadi saya meniatkan amati HP dan amati internet selama Nyepi beberapa tahun terakhir (dan syukurlah selalu berhasil, namun justru catur brata panyepen yang banyak gagal, hehehe...). Agak terkejut juga saya (dan merasa bodoh – karena baru mengetahui) ketika membaca bahwa gerhana bulan selalu terjadi saat purnama, dan gerhana matahari selalu jatuh saat bulan baru atau mati (tilem). Maka Nyepi yang merupakan pinanggal apisan sasih Kadasa (tanggal satu bulan kesepuluh) mestinya jatuh pada 10 Maret, sehari setelah gerhana matahari total, bukan berbarengan. Saya telusuri via Google dan Twitter, hanya menemukan dua orang yang “meributkan”-nya – salah satunya Mpu Jaya Prema Ananda. Di luar itu, sepertinya tidak ada gejolak di Bali tentang hal ini. Entah kalau di Facebook – karena saya lelaki tak ber-pesbuk

Dengan demikian, beberapa bagian tulisan renungan saya terhadap Nyepi kemarin dengan sendirinya keliru, terutama pada bagian yang menautkan Nyepi yang “kebetulan” bertepatan dengan gerhana matahari. Namun dapat “dibenarkan” juga argumen saya tentang “kebetulan” yang tepat itu. Kebetulan para penyusun kalender Bali kontemporer “salah” menentukan jatuhnya tilem, sehingga kebetulan gerhana matahari (yang seharusnya tilem) bertepatan dengan Nyepi. Konon, keliru menentukan purnama dan tilem di Bali masa lalu adalah hal yang biasa terjadi. Hal ini mengingat fase bulan tidak bisa dihitung dengan satuan hari matahari. 

Kalender Bali yang disusun oleh Ketut Bangbang Gde Rawi dan putra-putranya menunjukkan Nyepi Isaka 1938 jatuh pada 9 Maret 2016 | Foto: Ibed

Catatan saya setelah Nyepi hanya sampai pada dua paragraf di atas, diputus oleh berbagai kesibukan dan kemalasan. Ketika menjelang Lebaran, Juli 2016, membaca berita tentang penentuan hilal yang dilakukan pemerintah untuk menentukan jatuhnya Idulfitri, saya teringat kembali pada catatan saya yang nungkak ini. Ada baiknya saya lanjutkan karena ini bisa jadi sebuah introspeksi yang baik dalam konteks keberlanjutan tradisi dan perkembangan teknologi. 

Kebenaran Semesta
Para leluhur kita menyusun kalender sebagai pedoman tindakan kontekstual dalam ruang kehidupan. Waktu dibaca dari gerak semesta, mulai dari gerak besar seperti bulan dan matahari, sampai gerak kecil seperti musim bunga atau buah tertentu. Maka sering kali gerak pada kejadian alam tertentu dibaca sebagai tanda yang baik atau buruk untuk melakukan sesuatu. Misal, ketika musim ilalang berbunga, maka adalah waktu yang baik untuk mulai menanam benih jagung. Dengan demikian, waktu dari tanda kebenaran semesta diusahakan untuk dibaca setepat mungkin agar dapat melakukan tindakan yang diyakini pula tepat. 

Maka ketika Nyepi pada Maret tahun ini jatuh pada gerhana matahari, tepat pada tilem, itu berarti telah terjadi kemelencengan perhitungan yang dilakukan para ahli penyusuan kalender Bali. Saya tidak tahu persis bagaimana metode penghitungan fase bulan yang diberlakukan oleh penyusun kalender Bali; berhubungan dengan penentuan pada saat mana jarak antara tilem ke purnama (atau sebaliknya) adalah 14 hari, dan kapan 15 hari. Metode ini tentu saja berimbas terhadap hasil yang diperoleh. Kebudayaan Muslim menggunakan dua metode dalam menentukan hilal Syawal (tanggal 1 Syawal), yaitu rukyah (metode pandangan mata) dan hisab (metode perhitungan astronomis). Dan kita sering menemukan perbedaan hari Lebaran di Indonesia – namun kebetulan tahun ini bersamaan. 

Kebudayaan kalender tradisional Bali barangkali bisa belajar dari kebudayaan Muslim dan perkembangan teknologi astronomi mutakhir. Perkembangan teknologi modern sangat kentara dimanfaatkan dengan baik di sana. Di televisi kita bisa melihat ketika berita tentang penentuan hilal, maka gambar menyajikan teropong-teropong besar yang terhubung dengan perangkat komputer. Teknologi internet pun sudah demikian lengkap menyediakan data tentang astronomi kekinian. Banyak situs web yang menyajikan pantauan dan perkiraan fase bulan dengan keakuratan yang bisa dipercaya. Berbagai lembaga astronomi juga berdiri dan hidup – baik skala nasional maupun internasional – dengan ketersediaan data yang memadai. Semuanya ini barangkali bisa dimanfaatkan dengan baik oleh para ahli kalender Bali. 

Jika kita sepakati bahwa Nyepi pada pinanggal apisan sasih Kadasa sebagai sebuah kebenaran semesta untuk pedoman tindakan merayakan catur brata panyepen, maka ketepatan penghitungan adalah mutlak untuk diraih. Dari kebenaran semesta ini, keyakinan kita dialirkan untuk sejalan dengan gerak kosmos yang melingkupi kita, sehingga segala tindakan kita arahkan untuk selaras dengan gerak agung-Nya itu. 

Kesepakatan Sosikultural
Namun manusia punya keterbatasan. Teknologi yang diciptakan manusia tidak semuanya bisa menjangkau gerak semesta yang demikian agung dan kompleks itu. Maka manusia kemudian membuat kesepakatan demi kesepakatan sosiokultural (tradisi) untuk membalut keyakinannya, di tengah keterbatasan yang disadari itu. Dalam konteks ini kemudian ketepatan penghitungan gerak semesta bukan sesuatu yang mutlak – karena belum bisa digapai. 

Kesepakatan semacam inilah – yang secara sadar atau tidak – melingkupi ketetapan hati umat Hindu Bali merayakan Nyepi pada 9 Maret kemarin. Kesepakatan ini terjadi baik dalam lingkup umum umat Hindu Bali, maupun pada lingkup kecil para penyusun kalender Bali (yang menjadi patokan kesepakatan umum). Umat Hindu Bali tidak meributkan tentang Nyepi yang “salah” karena telah yakin tentang perhitungan kalender itu; dan kalau pun menganggapnya salah, toh keyakinan dalam niat merayakan Nyepi tak ada gangguan. 

Tapi untuk ke depan, alangkah baiknya kita melakukan perenungan tentang bagaimana nenek moyang kita menentukan rerahinan berhubungan dengan gerak alam. Bukankah cara bagaimana nenek moyang kita menghitung dan mengamati pergerakan bulan – sesederhana apa pun cara itu – adalah juga teknologi? Dan saya yakin dari abad ke abad teknologi nenek moyang kita selalu berkembang, berubah, sehingga kemudian mengubah pula berbagai metode untuk mencapai kebenaran dan keyakinan. Generasi kita menerima fase terakhir perkembangan teknologi itu, dan tugas kita kemudian untuk mengembangkannya terus. 

Perkembangan teknologi barangkali bisa kita arahkan sebagai cerminan gerak manusia yang selalu berkembang untuk menuju gerak-Nya. Berbagai perayaan (dengan keyakinan di dalamnya) yang berhubungan dengan waktu (gerak semesta) merefleksikan keinginan manusia untuk selaras dengan gerak semesta, kepaduan gerak antara bhuwana alit dan bhuwana agung. Karena keduanya adalah tat twam asi, “Itu adalah kau”. Maka keyakinan kita tetap saja mesti berpijak pada kebenaran semesta. 

Syukurlah Nyepi Isaka 1938 berjalan khidmat di Bali. 

Jeblog, Maret – Juli 2016

Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar