Tan, Pram, Upin, Ipin

Chinatown Night Market di Petaling Street beringsut tutup. Tinggal beberapa pedagang yang masih enggan membereskan dagangannya, barangkali berharap ada pembeli yang datang kemalaman seperti saya. Dari seorang pedagang Bangladesh, saya membeli dua kaos oblong anak-anak. Seorang teman keturunan China membantu tawar-menawar. Jurusnya agak klasik, tapi masih manjur: ia cerita pada si pedagang bahwa ia pernah ke Bangladesh, sambil menyebut beberapa daerah di Bangladesh. Lumayan, ceritanya membuat wajah si pedagang sedikit sumringah, emosi primordialnya mendadak menyemai rasa persahabatan, lalu masing-masing kaos terdiskon 2,5 ringgit. Ini kaos tipikal suvenir dunia perlancongan, oleh-oleh untuk keponakan saya. 

Ni kaos beli ka Kuala Lumpo,” canda saya pada keponakan saya saat memberikannya. Ia baru beranjak ke empat tahun. Belum sekolah. Orangtua dan kakek-neneknya mengajarinya bahasa Bali halus. Dari teman sepermainannya, ia mengetahui bahasa Bali kasar. Sedang dari Upin dan Ipin, ia belajar bahasa Malaysia. Belum ada yang mengajarinya bahasa Indonesia. “Mudah-mudahan ia tak bercita-cita jadi TKI,” seloroh saya.

Subuh, kumpulan tiga cerpen Pramoedya yang diterbitkan Wira Karya, Selangor, 1994 | Foto: Ibed

Saya gembira dengan pilihan orangtua dan kakek-neneknya mengajarkan bahasa Bali halus. Bahasa lumrah atau kasar akan dipelajarinya secara sosial lewat kawan-kawannya. Dan bahasa Indonesia akan ia peroleh di dunia sekolah. Dulu, kakek-neneknya belajar bahasa Bali halus dari sekolah. Kini bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. 

Bahasa Bali (halus) seakan kehilangan konteksnya dengan kian memudarnya feodalisme pergaulan sosial. Orang Bali kian menampakkan kegagalannya mengontekstualisasikan bahasa Bali (halus) dalam dunia sekuler. Pada keponakan, saya punya harapan akan perbendaharaan bahasa yang beragam. Kekayaan idiom bahasa adalah modal budaya yang baik untuknya ke depan. Kepicikan sering muncul dari pengetahuan idiom dan praktik budaya yang tunggal. 

Jika demikian, mestinya saya juga senang ketika keponakan saya mulai fasih mengucapkan “banyaknye” atau “tak pun” yang ia tirukan dari kawan idolanya yang berasal dari pedesaan Malaysia sana: Upin dan Ipin. Setelah ruang belajar bahasa Bali (halus)-nya di sekolah direbut oleh bahasa Indonesia di zaman bapaknya, kini dengan gembira ia membagi daya belajar bahasa di otaknya dengan bahasa Malaysia. Indonesia dan Malaysia sama-sama mengolonisasi ruang ungkap bahasa verbalnya. 

Tentu sebagai anak kecil keponakan saya akan segera tak berkawan lagi dengan Upin dan Ipin. Dan kolonisasi bahasa Malaysia berakhir, walau saya tak tahu mungkin akan tersisa di bawah sadarnya. Namun, dalam kasus ini saya menganggap hebat industri film Malaysia yang berhasil mencokolkan Upin dan Ipin demikian lama di layar kaca Indonesia. Kedua sosok gundul mungil ini serupa tuyul yang lihai dan leluasa memasuki ruang paling privat anak-anak Indonesia. 

Untung saja dua “tuyul” ini tak berbuat onar dalam kamar imajinasi dan didaktik anak-anak. Film serial animasi ini relatif ideal untuk dunia anak: disukai dan mendidik. Yang diobrak-abriknya justru dunia film anak Indonesia, yang—setelah ditinggalkan si Unyil—gagal melahirkan sosok teman belajar buat anak-anak. Ruang heroisme anak di televisi Indonesia kini direbut oleh narasi tentang anak lembek yang mendadak jadi ksatria tangkas oleh sekeping biskuit, sebugkus sereal, atau sebatang es krim. Heroisme instan yang dipenetrasi lewat ruang privat, mengabaikan makna proses atau perjuangan. 

Untunglah ada Upin dan Ipin: dua sosok yang memberitahu anak Indonesia tentang betapa sulitnya perjuangan hanya untuk memakan sebuah rambutan, bahwa menjadi hero tak semudah iklan di televisi. Di sini sekali lagi kita mesti mengakui kehebatan Malaysia. Sebagai negara tetangga serumpun, selintas saya melihat Malaysia lebih terbuka terhadap pengetahuan dan produk budaya negara tetangga maupun Barat. Lihatlah beberapa kasus “pengklaiman” produk budaya tradisi Indonesia oleh Malaysia. Selain gerakan masyarakat Indonesia yang terlalu membabi buta menanggapinya, kita jarang membacanya sebagai karakter politik kebudayaan Malaysia yang terbuka. 

Membandingkan kondisi kenyamanan berada di jalanan Jakarta dan Kuala Lumpur kini, kita tahu siapa yang lebih punya strategi jitu dalam mengelola sebuah kota untuk manusia. Malaysia tak segan belajar dari anaknya yang telah lama sukses besar membangun rumah sendiri: Singapura. Kini beberapa kota di Indonesia berkiblat ke Singapura—dan Kuala Lumpur—dalam hal menata kota, termasuk menata gaya hidup kaum menengah ke atasnya. 

Dan tak terhindarkan beberapa dari kita, orang Indonesia, sering membandingkan Indonesia dan Malaysia dari sejarah keterjajahan, dan memilih masa lalu yang lebih baik dijajah Inggris daripada Belanda. Kelas menengah kota di Indonesia membayangkan kenikmatan menjadi bagian dari Singapura atau Kuala Lumpur. Dan imajinasi ini bukan tak mungkin muncul dari bawah sadar: membayangkan nikmatnya dijajah!

“Celaka”-nya, di sebuah toko buku di Petaling Jaya, kita melihat sejarah Indonesia dirawat di sana, beserta pengetahuan-pengetahuannya. Memasuki toko buku yang tak besar itu, yang langsung mencolok mata adalah poster-poster ukuran besar potret Tan Malaka, Chairil, Pramoedya, di samping juga poster-poster tokoh revolusi dunia, seperti Che, dan para panutan Melayu. Semuanya melekat di tembok tinggi, di atas rak-rak buku. 

Hampir semua terbitan terbaru buku-buku Pram oleh Lentera Dipantara bisa ditemukan di sana, di samping buku-buku keluaran Buku Obor dan Komunitas Bambu.  Pengetahuan-pengetahuan berbau kiri di Indonesia memapankan diri di rak-rak toko buku itu. Wajah-wajah besar Tan Malaka dan Pramoedya mendominasi. Dalih Pembunuhan Massal-nya John Roosa, terbitan Hasta Mitra, yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada 2009, bisa dimasukkan ke tas Anda dengan menyerahkan RM 28. Memoar Ben Anderson, A Life Beyond Boundaries, yang terjemahan Indonesia-nya terbit sebagai Hidup di Luar Tempurung, tersedia tanpa mesti diterjemahkan dari bahasa Inggris—budaya berbahasa Inggris lebih subur di Malaysia ketimbang Indonesia. 

Saya mengunjungi toko buku itu setelah menemukan tak kurang dari lima novel Pram, dan catatan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, di rak perpustakaan seorang arsitek terkemuka Malaysia. Tahulah saya kemudian, ketika Orde Baru melarang buku-buku Pram, karya-karya Pram malah banyak diterbitkan di Malaysia, lewat perantara Joesoef Isak, editor karya-karya Pram—hampir tanpa mengalami penyesuaian bahasa, sebagaimana beberapa novel Indonesia kini yang mesti diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Wira Karya—penerbit yang berpusat di Selangor, dan kini telah bangkrut—adalah penerbit banyak karya Pram di Malaysia. Di toko buku itu, saya masih menemukan beberapa eksemplar Subuh, kumpulan tiga cerpen Pram yang dirilis Wira Karya pada 1994. 

Tan Malaka juga menempati posisi mapan di toko buku itu. Saya jarang sekali membaca tentang tokoh kiri Indonesia yang satu ini. Tapi mengapa ia diterima sebagai entitas pengetahuan di Malaysia, saya mafhum. Ketika hidupnya, masa jelajah diri dan pergerakannya, Tan punya persentuhan yang tak jarang dengan Malaysia. Beberapa ada yang mengklaim bahwa pembentukan ASEAN adalah pencurian Orde Baru terhadap ide Tan tentang Aslia: penggabungan Australia dan Asia Tenggara sebagai calon raksasa Asia. Tan yang Minang tentu saja tak terlepaskan dari persentuhan dengan Malaysia. Bahkan hingga kini, Minang sebagai bagian dari Melayu tetap saling kunjung dengan Malaysia. 

Betapa sering kita mendengar bahwa apa yang kiri atau dicap subversif di Indonesia melarikan diri ke Malaysia. Dan tak jarang Malaysia memeliharanya sebagai semangat dan pengetahuan—juga strategi politik dan kapitalisme. Nada narasi serupa pula yang melingkupi berjubelnya TKI yang ditadah dengan senang hati oleh Malaysia. Dan termasuk juga menerima pelarian diri Abu Bakar Ba’asyir. 

Umah Solah, Januari 2017 

Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar