“Nyama Slam”
Oleh: Ibed Surgana Yuga
Nyama Slam di Bali
membuat canangsari dan palinggih untuk dijual.
Lalu kenapa?
Saya tak akan berpindah agama – dan dengan demikian sebenarnya saya memilih agama saya sekarang. [. . .] saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. [. . .] saya tahu dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab yang paling represif dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan harapan.
- Goenawan Mohamad
- Goenawan Mohamad
ADA baiknya membaca lagi sejarah masuknya Islam ke Bali hingga terbentuknya suatu tatanan sosiokultural nyama Slam. Menilik kembali hubungan Islam dengan Hindu di Bali, terutama dari segi sosiokultural, adalah pertualangan menarik yang mengantar ke arah kesadaran serta pengakuan tertentu berkaitan dengan realitas kehidupan mutakhir di Bali. Menarik juga menyimak berbagai bentuk akulturasi yang timbul dari hubungan tersebut.
Lewat situs Bale Bengong saya membaca sebuah laporan jurnalistik tentang Desa Pegayaman, Buleleng, pada bulan Ramadhan. Ternyata tradisi yang merupakan akulturasi budaya Hindu Bali dan Islam, yang selama ini cuma saya dengar lamat-lamat, masih bertahan hingga sekarang. Saya membaca bagaimana tradisi ngejot masih bertahan, demikian juga panyajaan, panapéan dan panampahan menjelang hari raya seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Pegayaman juga masih mempertahankan subak, ogoh-ogoh, sekaa zikir juga penggunaan nama Bali, seperti Ketut Asghor Ali, Nengah Maghfiroh, Nengah Azmi.
Bagi kebudayaan Hindu Bali sendiri, dapat dilihat beberapa contoh akulturasi seperti patra mesir dalam bidang arsitektur. Dalam kesusastraan Bali mengenal Geguritan Amat yang sering dilantunkan dengan tembang amat, ada pula bagian Geguritan Tamtam yang berkisah tentang I Tamtam nyelam sampai di istana Prabu Mesir (Soegianto Sastrodiwiryo, 1995). Di masa mutakhir, beberapa balé banjar dan pura di Bali mengadopsi tradisi azan dengan mengumandangkan Puja Tri Sandya tiga kali sehari.
Konflik Berbau Agama
Di tengah semua itu, dalam kehidupan mutakhir di Bali terjadi pergolakan serta konflik sosial dan budaya yang salah satunya dipicu oleh sentimen sosial yang entah sejak kapan mengakar dalam kehidupan sosiokultural di Bali. Beberapa pemicu meledaknya pergolakan dan konflik ini adalah ledakan bom di Bali, beberapa tindak kriminal, pengabaian ruang-ruang sakral dan sebagainya yang kemudian diklaim sebagai ulah dari orang-orang luar Bali. Dan di antara orang-orang luar Bali itu adalah nak Jawa, yang mayoritas Muslim, nyama Slam.
Di tengah semua itu, dalam kehidupan mutakhir di Bali terjadi pergolakan serta konflik sosial dan budaya yang salah satunya dipicu oleh sentimen sosial yang entah sejak kapan mengakar dalam kehidupan sosiokultural di Bali. Beberapa pemicu meledaknya pergolakan dan konflik ini adalah ledakan bom di Bali, beberapa tindak kriminal, pengabaian ruang-ruang sakral dan sebagainya yang kemudian diklaim sebagai ulah dari orang-orang luar Bali. Dan di antara orang-orang luar Bali itu adalah nak Jawa, yang mayoritas Muslim, nyama Slam.
Lalu beberapa unsur dan lembaga dalam masyarakat Bali melakukan tindakan-tindakan "penertiban", berupa sweeping hingga "pengusiran", yang konon guna mencegah dan menanggulangi berbagai tindakan yang mengancam keamanan, ketentraman serta keutuhan bangunan sosiokultural Bali. Gerakan-gerakan yang mengklaim diri sebagai penjaga keutuhan budaya Bali pun bermunculan. Begitu juga dengan wacana-wacana penguatan dan pengajegan identitas kebalian yang konon harus berjiwakan Hindu.
Dalam wacana identitas kebalian semacam itu, agama seakan menjadi muara atau titik sentral bagi pemecahan masalah. Hal ini adalah akibat dari perumusan – entah resmi atau tidak, namun seakan telah disepakati – tentang kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu, bukan Hindu yang malah digerakkan oleh kebudayaan Bali. Banyak anasir budaya yang lewat analisis kemudian dinilai bertentangan dengan agama Hindu. Berbagai praktik budaya dan adat yang demikian, yang sebagian merupakan warisan budaya pra-Hindu, dinegasi dari realitas kehidupan mutakhir. Proses negasi ini dilakukan tanpa usaha untuk menilik logika macam apa sebenarnya yang beroperasi jauh di dalamnya, walau sebenarnya ia bertentangan dengan logika agama Hindu.
Di samping konfrontasi ke wilayah intern budaya Hindu Bali, muncul pula konfrontasi – terselubung maupun terang-terangan – terhadap wilayah ekstern, yaitu ranah agama di luar Hindu. Hal ini memunculkan sentimen dan kebencian yang berdasarkan identifikasi dangkal terhadap orang-orang di luar Hindu, terutama yang ada di Bali.
Yang kemudian menjadi kecelakaan – dan ini parah – adalah penuduhan terhadap agama, bukan orang-orangnya. Dan sebagaimana diketahui, urusan agama adalah yang paling sensitif di Indonesia. Berbagai konflik pecah karenanya, dan celakanya lagi konflik ini mengemuka karena identifikasi yang dangkal – hanya karena orang-orang atau kelompok-kelompok yang terlibat konflik itu berbeda agama. Generasi-generasi selanjutnya pun mewarisi pandangan celaka ini lewat cerita dari generasi sebelumnya. Ia pun mengakar.
"Nyama Slam", Minoritas, Sejarah
Di Bali, orang-orang di luar Hindu Bali adalah minoritas. Dan di Indonesia, orang-orang Hindu Bali sendiri adalah juga minoritas. Kisah-kisah tentang kaum minoritas di Indonesia diwarnai oleh perlawanan, penindasan, eksklusivitas juga ketertutupan sosialisasi. Sering kali, menjadi minoritas adalah juga menjadi korban dari tuduhan stereotip yang lebih banyak negatif. Orang Cina dikenal pelit, padahal tidak semua begitu. Di Bali nak Jawa dikenal kriminal, padahal banyak pula aksi kejahatan yang dilakukan orang Bali sendiri. Orang Bali dikenal ramah, santun, penyabar, padahal banyak juga dari mereka yang tega membunuh saudaranya sendiri. Harus ada pembongkaran pemahaman tentang minoritas, lalu menegasi berbagai identifikasi stereotip yang negatif padanya.
Di Bali, orang-orang di luar Hindu Bali adalah minoritas. Dan di Indonesia, orang-orang Hindu Bali sendiri adalah juga minoritas. Kisah-kisah tentang kaum minoritas di Indonesia diwarnai oleh perlawanan, penindasan, eksklusivitas juga ketertutupan sosialisasi. Sering kali, menjadi minoritas adalah juga menjadi korban dari tuduhan stereotip yang lebih banyak negatif. Orang Cina dikenal pelit, padahal tidak semua begitu. Di Bali nak Jawa dikenal kriminal, padahal banyak pula aksi kejahatan yang dilakukan orang Bali sendiri. Orang Bali dikenal ramah, santun, penyabar, padahal banyak juga dari mereka yang tega membunuh saudaranya sendiri. Harus ada pembongkaran pemahaman tentang minoritas, lalu menegasi berbagai identifikasi stereotip yang negatif padanya.
Nyama Slam di Bali sebagai minoritas, dari segi sejarah, masuk dengan berbagai gelombang kedatangan. Masuknya nyama Slam di berbagai wilayah di Bali, seperti Buleleng dan Jembrana, hampir tidak menunjukkan adanya bau konflik. Nyama Slam masuk ke Bali tidak memulai misinya dengan dakwah yang konfrontatif. Mereka bekerja sebagai tukang potong hewan, juru tulis, prajurit, tukang pangkas, pedagang kelontong dan sebagainya yang dimanfaatkan dengan baik oleh raja-raja dan masyarakat umum (orang Bali) ketika itu (Usadi Wiryatnaya, 1995). Nyama Slam juga mengabdikan jasanya pada raja-raja Tabanan, Badung dan Klungkung dalam berhubungan dengan pihak luar karena penguasaan mereka terhadap bahasa Melayu yang lazim menggunakan huruf Arab Pegon. Mereka hidup harmonis di tengah wilayah sosiokultural Hindu Bali karena memegang konsep ajaran Islam, yaitu dilarang meremehkan dan menghina keyakinan umat lain (Soegianto Sastrodiwiryo, 1995).
Pada masa mutakhir di Bali, nyama Slam juga menyumbangkan jasa-jasa dalam rangka menciptakan keberlangsungan hidup antarsesama. Di sepanjang pesisir Jembrana mereka menjadi nelayan, menjamin pasokan ikan untuk konsumsi masyarakat. Nyama Slam dikenal sebagai tenaga kerja yang ulet dengan bayaran yang lumayan murah. Kini berbagai kebutuhan kehidupan beragama Hindu Bali juga tidak lepas dari jasa mereka. Banyak canangsari yang dijual di pasar atau swalayan merupakan karya nyama Slam. Demikian juga dengan palinggih-palinggih model Kapal, Badung. Ini membantu orang Hindu Bali yang karena kesibukan atau kemalasannya tidak bisa membuat canangsari atau palinggih sendiri.
Kalau ada orang Hindu Bali yang kemudian menolak atau mengharamkan jasa ini, dalam hal canangsari dan palinggih misalnya, suruh ia mengecek apakah ia pernah ngaturang canangsari atau membangun palinggih karya nyama Slam. Kalau pernah, suruh ia meng-undo sembahyangnya itu atau membongkar palinggih-nya, sebagaimana Ali Sadikin menyuruh masyarakat Jakarta yang mengharamkan perjudian dan prostitusi untuk tidak melewati jalanan Jakarta yang ia bangun dari pajak perjudian dan prostitusi.
Buat nyama Slam di Bali, rahajeng rahina Idul Fitri 1429 H. Nyuwun ngapunten lahir lan batin.
Jogja, Oktober 2008
4 komentar
Seringkali saya sebagai salah satu 'expatriat' lokal yang sekarang makan, tidur dan nyari hidup di Bali pingin juga menuliskan tetang unek - unek mengenai kenapa Bali begini, kenapa Bali begitu dan apa sebabnya 'orang' Bali menjadi begini dan kenapa jadi begitu tetapi (mungkin saya salah) saya merasa bahwa akan lebih adil kalau yang menulis adalah orang yang lahir dan memang asli Bali...
BalasHapusApa benar begitu bro? atau kalau tidak bakal memicu konflik yang tidak perlu?
Salam,
mungkin ada baiknya berdamai dengan diri sendiri :)
BalasHapusAlhamdulillah, di desa saya nyama bedaja dan nyama bedelod akur2 gen, sing taen meuyutan...
BalasHapusTulisan yang bagus dan 'tepat'. Terimakasih.
BalasHapus