Baliho Caleg dan Komunikasi Politik Jalanan


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Caleg: “Aku bisa (gengsi di mata calon pemilih)!”

DI masa panjang kampanye pemilu ini, di Bali, baliho-baliho caleg tumbuh subur di pinggir-pinggir jalan, seperti benih-benih yang bersemaian karena curah hujan yang tinggi. Jika anda menyusuri jalur Jogja-Bali dengan bus AKAP, hanya di Bali saja pemandangan baliho caleg paling ramai bisa dipirsa. Bukan hanya di pinggir jalanan ramai; seperti jamur, baliho caleg berbiak hingga jalanan pelosok desa becek tak beraspal. Semuanya menciptakan pemandangan baru bagi jalanan di Bali; seakan mengusir hiruk-pikuk iklan dengan kesemrawutan yang baru; seakan menggantikan keteduhan pohon-pohon pinggir jalan dengan kegerahan yang warna-warni.

Selamat datang di dunia kemeriahan citra visual dari sebuah pesta rebutan kursi! Inilah dunia citraan yang gemebyar, penuh sapaan manis, warna-warni, ramai, namun banal dan latah. Inilah medan tempur pseudo penuh seruan, ajakan, teriakan, permohonan, dengan baju dan wajah yang klimis tanpa keringat.

Ya, inilah perang baliho antarcaleg, sebagaimana perang bendera partai. Ini bukan sekadar perang merayu calon suara untuk menuju perang perebutan suara di hari H pemilu nanti. Ini adalah perang gengsi antarcaleg. Lewat perang baliho di pinggir jalan, mereka tengah bersaing membuat citra visual yang megah yang bisa dilihat dari jumlah, ukuran, posisi serta penampilan fotografi. Sebelum kemenangan suara bisa dilihat, karena belum pemungutan dan penghitungan suara, saatnya mencari kemenangan gengsi. Saatnya caleg bicara, “Aku bisa (gengsi di mata calon pemilih)!”

Media yang Latah 

Memang, jalanan jadi lebih ramai; sebuah pertanda bahwa masa kampanye ini memang semarak. Tapi semarak pada sisi ini bukan berarti semarak di sisi lainnya, sisi kinerja politik yang benar misalnya. Dan betapa, baliho-baliho itu, yang membikin semarak itu, nyaris semuanya seragam. Ada sekian banyak partai, dan lebih banyak lagi caleg, namun begitu dominan kesamaan baliho mereka. Lihatlah apa yang mereka visualkan: wajah, nama, nomor urut, partai dan sedikit slogan kering. Selesai. Hampir keseluruhannya begitu. Dan jalanan sebagai tempatnya memang sangat potensial untuk peniruan, pengulangan, kelatahan. Jalanan adalah ruang yang berbaring panjang, yang menyerahkan tubuhnya untuk kontes tren demi tren.

Dan memang ada semacam tren yang terjadi dalam media kampanye caleg jenis baliho ini. Tren teknologi baru, dalam hal ini teknik cetak digital di atas colibrite yang dipakai memproduksi baliho-baliho itu, dimanfaatkan oleh para caleg tanpa memperhatikan kualitas substansi dan efektivitas media kampanye. Ini mirip dengan tren handphone yang melanda masyarakat kita hingga ke pelosok-pelosok kampung.

Pada satu sisi, tren adalah manifestasi dari sifat latah manusia. Ia muncul dari peniruan personal demi personal, yang di dalamnya melibatkan pesona sesuatu. Pesona suatu produk dengan konstruksi gengsinya mempengaruhi masyarakat untuk meraihnya, dengan tujuan tertentu atau sekadar mengikuti tren semata, sekadar gaya hidup. Gaya hidup jarang mementingkan substansi karena “substansi”-nya adalah gaya itu sendiri, citra itu.

Barangkali pada sebuah titik, dan ini bisa dilihat pada kenyataan mutakhir, para caleg hanya citra visual semata. Ia bukan sosok yang sebenarnya. Di mata pemilih, mereka berakhir pada citra visual dua dimensi, sebagaimana juga di atas kertas suara. Jean Baudrillard, sebagaimana dikutip Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang, mengemukakan bahwa media menciptakan second reality yang punya logika tersendiri dan bisa membunuh realitas sosial-politik sebenarnya. Dengan demikian, baliho caleg beserta segenap pencitraan terhadap sang caleg di dalamnya mengalami semacam keterputusan dengan realitas sosial-politik sang caleg di dunia nyata. Demikian juga halnya terhadap realitas politik. Baliho caleg bukan representasi dari ke-caleg-an caleg itu sendiri.

Dan rakyat yang begitu dekat dengan realitas nyata harus memilih!

Komunikasi yang Banal 

Tentang media komunikasi seperti baliho, barangkali para caleg harus belajar pada media-media serupa, salah satunya iklan-iklan kreatif produk konsumsi tertentu. Ini bersangkutan tentang bagaimana menciptakan citra yang menarik dan orisinal, tag line yang mengena, efektivitas media, dan sebagainya.

Hal-hal yang divisualkan caleg dalam baliho-balihonya paling tidak menjadi cerminan bagi kemampuan dan strategi komunikasi mereka. Ini juga menunjukkan seperti apa pandangan mereka terhadap para calon pemilih, sebagian besar orang yang melihat baliho itu. Pandangan ini menyangkut tingkat pendidikan calon pemilih, kecerdasan, pandangan hidup, idealisme, dan tidak menutup kemungkinan pandangan ini sampai pada tataran melecehkan calon pemilih.

Mengapa? Sebab pola komunikasi yang dilakukan para caleg melalui baliho terkesan banal. Strategi komunikasi mereka hanya bermain di permukaan saja. Apakah hanya dengan menampilkan wajah, nama, nomor urut, partai dan sedikit slogan kering sudah cukup untuk menggambarkan kompleksitas sosok seorang caleg? Bahkan cuma dalam profil sebagai seorang politikus pun belum. Seakan tak ada jaminan yang kuat yang diberikan kepada calon pemilih jika memilihnya nanti. Tak ada alasan mengapa orang harus memilihnya, kecuali bahwa orang harus memilihnya.

Barangkali para caleg berpikiran bahwa pada dasarnya baliho sebagai media promosi bertujuan untuk memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Bahwa, “Hei, aku ini caleg lho! Nomor urut sekian, dari partai ini.” Namun apakah hanya itu saja yang perlu diperkenalkan? Apakah mengenal saja sudah cukup bagi calon pemilih?

Bahwa baliho hanya merupakan salah satu media promosi, dan masih banyak cara lain yang dilakukan untuk merayu calon pemilih, memang benar. Bahwa para caleg punya banyak duit untuk menggolkan diri di posisi uenak kursi wakil rakyat, barangkali juga tidak salah. Tapi bukankah efektivitas suatu promosi juga menjadi bagian dari strategi politik? Ketika yang terjadi adalah kebanalan yang berulang-ulang dan berserakan di pinggir jalan, perlu diajukan pertanyaan besar kepada para caleg kita yang terhormat: “Apakah anda punya strategi?”

Bukan tidak mungkin jika pada suatu waktu, pada titik balik kemeriahan baliho-baliho caleg pinggir jalan, orang-orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang tak ada. Ini adalah dampak dari kebanalan yang berulang, tanpa inovasi, bertele-tele, hingga semuanya menjadi rutinitas, apalagi didukung oleh sikap apatis masyarakat.

Selamat berkampanye!

Negara-Jogja, Desember 2008

Share:

4 komentar

  1. Apa pun caranya dihalalkan. Bahkan ada partai yang menyatarakan partainya dengan Ka'bah.Astagfirollah.
    Aku tulis juga di blogku tentang partai dan kampanye ini.
    Salam sastra Bed

    BalasHapus
  2. Sepertinya derita batin kita sama bang, sudah rangkap 17 setiap kali menjelang pemilu atau apapun berhubungan dengan pemerintahan dan partai.
    Bang Nanoq menyuruh saya kirim puisi saya ke anda bang, setelah saya turun dari gunung gede minggu depan, saya langsung kirim.
    Makasih,
    Salam Kenal.

    BalasHapus
  3. sangat menarik dan sangat inspiratif, saya termasuk orang bali baru merasakan orang Bali setelah saya kuliah di Jogja, sikap fanatisme sangat terasa saat saya baru meninggalkan Bali, tetapi apa boleh di kata kita hanya bisa berkomentar, dan tidak bisa berbuat apa2 untuk Bali kita. zaman modernisasi dan Kapitalis sudah mendarah daging di tanah pertiwi kita. apa kata i kaki dan i buyut melihat kita seperti sekarang ini.

    BalasHapus
  4. Sekarang semua itu jadi sangat biasa dan seakan wajib ya?

    BalasHapus