“Homo Pariwisatabaliensis”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Spesies yang militan!

SEBUAH surat pembaca dari seorang masyarakat Badung di harian terbesar di Bali pada pertengahan November 2008 menyarankan suatu strategi tentang pembangunan Bali mutakhir. Penulis surat di antaranya menyarankan tentang sistem keamanan Bali yang harus melibatkan seluruh masyarakat yang ada di Bali, dengan memberikan insentif memadai bagi masyarakat pemberi informasi yang falid kepada pihak berwajib. Selanjutnya ia menulis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan yang paling penting adalah pembuka surat yang merupakan muara dari seluruh sarannya, yaitu Bali sebagai bangunan pariwisata yang kokoh dan tegar.

Apa yang bisa dibaca dari surat pembaca itu di antaranya adalah bahwa pengukuhan terhadap entitas Bali sebagai suatu daerah industri pariwisata sehingga dikhawatirkan entitas itu akan rapuh jika manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata dicerai-beraikan. Dengan demikian, seluruh orang yang ada di Bali harus turut serta aktif menjaga keutuhan entitas tersebut dengan tindakan nyata, misalnya dengan melaporkan masalah keamanan seperti keberadaan orang mencurigakan. Atas peran serta aktif tersebut, masyarakat akan diberikan imbalan yang pantas dalam bentuk material tentu saja.

Memang benar bahwa manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan – atau lebih tepatnya, jangan sampai dipisahkan karena payuk jakan bisa buung makedus. Namun tentu saja ini bagi orang yang menikmati buah dari pohon besar pariwisata Bali. Orang Bali – apalagi orang luar Bali – yang sama sekali tidak memetik buah itu, baik karena pohonnya yang tak terjangkau atau karena sengaja memilih untuk tak memakan buah dari pohon itu, barangkali akan memandang hal terakhir sebagai sesuatu yang terpisah sama sekali atau justru harus diceraikan jika ada yang hendak menyatukannya.

Dapat dipahami pemikiran orang-orang Bali yang memetik buah pariwisata sehingga mereka memberi sokongan maksimal terhadap pohon kehidupannya itu. Mereka adalah orang-orang yang merasa telah dihidupi oleh pariwisata, baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bukan cuma sebentuk kehidupan yang layak, namun mereka telah mendapat prestise, gengsi dan gaya hidup yang lebih. Mereka adalah orang-orang yang telah merasa diangkat harkat dan martabatnya oleh eksistensi pariwisata. Mereka adalah orang-orang yang menikmati eforia citra Bali dalam konstruksi turistik: unik, nyeni, indah, ramah, eksotis, religius. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bayangan tentang identitas Bali sebagaimana yang dicitrakan oleh industri paiwisata. Mereka adalah para Homo pariwisatabaliensis – istilah penunjuk spesies yang saya gubah sendiri, mengadopsi istilah bidang arkeologi.

Homo pariwisatabaliensis termasuk dalam kelompok spesies yang dirundung kepanikan luar biasa ketika bom meledak di Kuta, 12 Oktober 2002. Mereka kemudian menanam kebencian yang mendalam terhadap teroris. Demikian mendalam sehingga kebencian itu juga diarahkan pada latar belakang sosioreligi orang-orang yang diklaim teroris itu. Dan tentu saja mereka turut bersorak di atas kematian Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra yang (konon) telah dieksekusi oleh tiga regu tembak di Nirbaya.

Pariwisata Bali sebagai sistem yang dibangun oleh kapitalisme global dan diberikan jalan yang amat mulus oleh rezim Orde Baru, dengan kepentingan ekonomi dan kuasa yang nyata, memberikan bujuk rayu dan buaian yang serasa nyata pula bagi orang Bali sebagai mahluk yang menghidupi dan dihidupi budaya Bali. Sistem ini bekerja secara terstruktur: bujuk rayu dan pujian berlebih di tahap awal, lalu janji kemakmuran dan pelestarian budaya, keuntungan material – yang tak seberapa dibandingkan hasil keuntungan sebenarnya –, pencokolan doktrin-doktrin kapitalis yang dengan lihai menyelusup ke dalam ruang konsep kearifan lokal, pendidikan ke arah materialistis dan semangat industralisme lainnya, sehingga terciptalah karakter spesies Homo pariwisatabaliensis yang diinginkan, salah satunya militansi yang luar biasa terhadap kuasa yang tak tersadari. Ya, tak tersadari karena para Homo pariwisatabaliensis selalu dibuai dalam setiap langkahnya.

Keterkuasaan dan berbagai keuntungan yang diperoleh Homo pariwisatabaliensis itu seakan sah dan halal ketika kuasa yang lain, yaitu pemerintah, melegalkan bahkan menjadikannya bangunan agung sumber kemakmuran. Ini barangkali karena bagi orang Hindu Bali, sebagian besar Homo pariwisatabaliensis itu, mempercayai bahwa pemerintah adalah guru wisesa – salah satu guru dalam ajaran Catur Guru, di mana satu yang lainnya adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Di sini tampak petunjuk bahwa pemerintah masih dipercaya sebagai pembawa kebenaran bagi masyarakat (baca: orang Hindu Bali).

Militansi para Homo pariwisatabaliensis terhadap pariwisata Bali kemudian dengan mudah dibaca sebagai militansi terhadap kuasa kapitalisme (Barat) dan pemerintah (terutama pusat), yang sekali lagi tak tersadari. Pada titik tertentu kondisi mutakhir, orang Bali yang telah masuk menjadi spesies Homo pariwisatabaliensis mengalami “kekeliruan” atau paling tidak kegamangan dalam mendefinisikan identitas dan entitas dirinya dalam lingkungan sosiokultural, sebagaimana yang terbaca dalam surat pembaca di atas. Mungkin akan lebih jelas dan tangkas jika mereka mengakui identitasnya sebagai apa yang saya namakan sebagai Homo pariwisatabaliensis.

Sejatinya, pandangan para Homo pariwisatabaliensis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang tak dapat dipisahkan itu adalah hasil pemikiran yang penuh teriak eforia hingga memejamkan mata dan membisingi telinga, sehingga trance akan keberadaan dirinya sendiri. Ia tidak sadar bahwa sebenarnya industri pariwisata (di) Bali sekarang dapat bergerak dengan mulus tanpa orang dan budaya Bali! Pariwisata Bali mutakhir, dengan agen-agen kapitalisme global dan strategi konstruksi yang tangguh sejak awal, telah mencapai tingkat produksi dan kinerja yang dapat menegasi bahkan menafikan orang dan budaya Bali. Ia sudah mampu menciptakan produk yang mandiri, baik itu infrastruktur maupun barang dagangan, yang sudah bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan budaya tradisi Bali, walaupun sebelumnya merupakan adopsi dan tiruan produk budaya Bali tradisi. Ia juga telah dijalankan dan dikendalikan dengan brilian oleh orang-orang bukan Bali, sehingga mungkin saja spesies Homo pariwisatabaliensis dapat dipunahkan hanya dengan sekali click saja.

Bersiaplah!


Moding, November 2008

Tags:

Share:

1 komentar

  1. hmm..saya tidak bisa komentar, semua sudah lengkap, sedikit yang bisa saya maksudkan: "pariwisata bali hanya tinggal kenangan" Mungkin..!?

    BalasHapus