Dari “Taksu” Tanah ke “Taksu” Parfum
Pragina Bali tak lagi bau tanah, tapi bau parfum. Menari di etalase. Yeah!
SAYA menonton lagi film La Isla de Bali, sebuah film dokumenter tentang Bali tahun 1930-1950-an. Saya menyaksikan lagi gadis-gadis Bali ketika itu menari lincah, garang, seakan melawan tabuh yang dilantunkan buatnya, seakan menantang penonton yang datang memirsanya. Di atas tanah berdebu, mereka benar-benar ber-taksu. Kostum, wajah dan kulit mereka, wah, berbau tanah, mengisyaratkan kedekatan mereka dengan tanah, simbol bagi budaya agraris, Ibu Pertiwi, kosmos orang Bali tradisional.
Itu tentu saja berbeda dengan tari dan penari Bali sekarang yang jauh lebih gemerlapan, tampak mewah, dengan warna-warna cerah, wajah dan kulit yang putih mulus – dekat sekali dengan model iklan pembersih wajah. Merka menari di tempat-tempat yang lux, panggung-panggung pertunjukan berlampu listrik dengan voltase besar, hotel, villa – dengan harum pewangi buatan – bahkan di dunia maya penuh prestise: televisi, video CD. Dan entah mengapa saya melihat yang sekarang ini lebih genit dan ada rasa rayuan. Tubuh mereka berbau parfum – salah satu produk khas Barat.
Saya tidak sedang – dan memang tidak ingin – membedakan keduanya melalui suatu ukuran kualitas yang hierarkis, atau malah ekstrem baik-buruk. Masing-masing punya kualitas dan logika kualitasnya tersendiri yang tidak bisa dinilai dengan tolak ukur yang sama. Masing-masing memiliki orientasi dan tujuannya sendiri sehingga mereka memiliki pula "taksu" dan ukuran "taksu"-nya sendiri.
Itu tentu saja berbeda dengan tari dan penari Bali sekarang yang jauh lebih gemerlapan, tampak mewah, dengan warna-warna cerah, wajah dan kulit yang putih mulus – dekat sekali dengan model iklan pembersih wajah. Merka menari di tempat-tempat yang lux, panggung-panggung pertunjukan berlampu listrik dengan voltase besar, hotel, villa – dengan harum pewangi buatan – bahkan di dunia maya penuh prestise: televisi, video CD. Dan entah mengapa saya melihat yang sekarang ini lebih genit dan ada rasa rayuan. Tubuh mereka berbau parfum – salah satu produk khas Barat.
Ilustrasi | Sumber foto: Beryl de Zoete and Walter Spies, Dance and Drama in Bali |
Saya tidak sedang – dan memang tidak ingin – membedakan keduanya melalui suatu ukuran kualitas yang hierarkis, atau malah ekstrem baik-buruk. Masing-masing punya kualitas dan logika kualitasnya tersendiri yang tidak bisa dinilai dengan tolak ukur yang sama. Masing-masing memiliki orientasi dan tujuannya sendiri sehingga mereka memiliki pula "taksu" dan ukuran "taksu"-nya sendiri.
Sebuah deskripsi yang klasik memang bahwa orang Bali dulu menari untuk bakti dan ngayah, baik kepada Ida Betara maupun masyarakat, sehingga dengan demikian laku menari adalah sebuah laku tanpa mengaharap pamrih – kecuali kepuasan batin tertentu. Menari adalah laku upacara bersama, baik dalam konteks tari itu adalah wali (sakral), bebali (untuk ritual) atau balih-balihan (tontonan hiburan). Semua memiliki posisinya sebagai upacara, sebuah kebersamaan, guyub yang mengikat emosi individu-individu.
Namun demikian, saya ingin menilik hal ini bukan dari tari sebagai sesuatu yang suci, luhur, adiluhung dan nilai-nilai keutamaan lainnya. Saya ingin melihatnya sebagai sebuah cara untuk menyikapi konteks kehidupan ketika itu, yang mana memang berkutat pada tanah, budaya agraris adalah suatu medan kebudayaan yang melahirkan berbagai produk kebudayaan termasuk seni; dan membandingkannya dengan laku menari dalam konteks kehidupan mutakhir.
Ketika itu, ketika agraris adalah medan budaya bagi mayoritas orang Bali, tanah adalah sesuatu yang memiliki posisi sakral hingga profan sekaligus. Dalam hal sakral pun tanah masih memiliki perbedaan nilai atau kualitas keutamaan. Pada satu sisi tanah adalah simbol bagi Dewi Sri, dewi padi, dewi kesuburan, dewi kemakmuran, Ibu Pertiwi, junjungan para petani. Saya teringat kata-kata seorang rama Kristen yang bilang bahwa petani adalah sebuah profesi yang paling dekat dengan Tuhan. Di sisi lain tanah juga merupakan simbol kekuatan "jahat" semacam bhuta kala dan sebagainya. Persembahan berupa caru selalu mengarah ke bawah, ke tanah; berbeda dengan yang ditujukan kepada para dewa atau betara yang berorientasi ke atas, langit atau gunung.
Dalam hal yang profan pun demikian – walaupun kaitannya masih erat dengan yang sakral di atas. Tanah memiliki keutamaan, kemuliaan, sesuatu yang berharga ketika ia adalah sumber penghidupan secara fisik bagi orang Bali. Tanah adalah media bagi segala macam tanaman, segala sumber makanan. Di sisi lain tanah adalah tempat untuk membuang segala macam kotoran, bangkai, reged, leteh.
Masyarakat Bali tradisional memuliakan tanah dalam kedua unsur paradoksnya, dalam arti merangkul perbedaan dua hal yang berlawanan – barangkali sebagai pengejawantahan dari konsep rwabhinneda (dua hal yang berbeda dan berlawanan). Perilaku atau penyikapan yang cenderung sebagai penyakralan terlihat karena orang Bali memiliki pandangan yang menjunjung nilai keutamaan, sakral, suci, namun tidak melawan hal-hal yang punya nilai "bawah", seperti hal yang kotor, reged, leteh, bhuta kala. Kekuatan-kekuatan bernilai "bawah" tidak dikonfrontasikan dengan kekuatan-kekuatan yang dapat menimbulkan benturan atau tabrakan keras sehingga menimbulkan konsekuensi kalah-menang semacam perang, melainkan dengan nilai "halus". Segala kotoran, reged, leteh, diarahkan ke bawah, ke tanah, dengan berpegang pada kepercayaan tentang suatu proses penetralisiran, semacam pengembalian ke titik nol. Bhuta kala diberikan caru atau sesajen dengan berlandaskan pada sikap perangkulan, ajakan untuk hidup berdampingan, persaudaraan sebagai sesama isin gumi (isi bumi, segala yang ada di bumi). Ini barangkali yang menyebabkan mereka yang kurang paham kemudian menganggap orang Bali juga memuja kekuatan jahat semacam bhuta kala.
Demikianlah secara sederhana pandangan orang Bali tradisional yang melatarbelakangi laku menari mereka. Di dalamnya tersurat bagaimana orientasi laku menari yang dilakukan orang Bali. Tanah sebagai kosmos bukan harus dimintai pamrih, namun sebaliknya harus diberikan persembahan atau "sapaan" sebagai suatu timbal balik atas segala yang telah diberikannya pada manusia. Tanah adalah sumber taksu, bahkan taksu itu sendiri.
Di masa sekarang – yang katanya modern – punya orientasi yang berbeda. Kalau titik pembicaraan tidak saya geser dari masalah tanah, maka kita temukan orientasi yang berbeda pula dalam hal penyikapan serta perlakuan terhadapnya. Mau tidak mau ternyata harus diakui bahwa industrialisasi adalah salah satu (kalau tidak ingin menyebutnya sebagai satu-satunya) penyebabnya. Tanah dalam terminologi industri adalah kapital. Sebenarnya ini tidak jauh berbeda dengan pandangan orang Bali tradisional yang melihat tanah sebagai sumber kemakmuran. Namun dalam dunia industri, tanah tidak disikapi dengan holistik. Sisi sakralnya ditiadakan. Ia adalah modal yang dapat mendatangkan untung atau diperjualbelikan. Tanah semata material dan fungsional.
Industrialisasi terjadi dalam segala hal, sehingga segalanya memiliki peluang mengambil bagian di dalamnya, semuanya dapat dijadikan produk industri. Dalam logika yang demikian orang Bali menari. Maka tari pun adalah produk industri, dan ini tentu saja berpengaruh pada segala hal dalam laku menari. Ekspresi wajah, tipikal gerak, tampilan visual mengadopsi berbagai pernik industri. Bahkan tidak menutup kemungkinan taksu-nya pun adalah taksu industri. Taksu tanah sudah tidak bisa direngkuh (atau mungkin malu karena dianggap jadul?) karena ia telah direngkuh sedemikian rupa dan kuat oleh industri. Maka menarilah orang Bali dengan taksu parfum, salah satu simbol produk industri Barat. Pesona parfum adalah pesona tari Bali mutakhir, tidak terkecuali dalam beberapa kasus tari wali dan bebali.
Ibed Surgana Yuga
0 komentar