Bali Tanpa Bali
Judul: Bali Tanpa Bali
Penulis: Ibed Surgana Yuga
Penerbit: Panakom Publishing & Komunitas Kertas Budaya
Cetakan Pertama: 2008
Tebal: xvi + 164 hal.
ISBN: 978-979-1108-10-2
Penerbit: Panakom Publishing & Komunitas Kertas Budaya
Cetakan Pertama: 2008
Tebal: xvi + 164 hal.
ISBN: 978-979-1108-10-2
Saya ingin memandang Bali …. Ah, jangan-jangan ini hanya kerinduan cengeng – sekaligus menjengkelkan – bagi orang seperti saya, yang terlempar atau melemparkan diri sejenak dari wilayah geografis Bali. Saya bisa saja sok-sokan bersikap, sambil berpretensi memandang Bali dari luar Bali, padahal jangan-jangan Bali sama sekali tidak meninggalkan segores bekas tipis pun dalam diri saya. Atau bisa jadi saya cemburu karena apa-apa yang menjadi "mainstream" di Bali tak mampu saya jangkau.
Sampul Bali tanpa Bali |
"Tajén", Orang Bali, "Calonarang"
Lalu orang Bali? Hanya menikmati kekalahan di antara gemuruh arena tajén (industri pariwisata Bali). Setelah menikmati hasil penjualan manuk-manuk, yang ternyata tak seberapa, orang Bali mulai merengek-rengek pada pihak penyelenggara tajén untuk bisa masuk ke sana lagi, menjadi pedagang asongan atau sekadar tukang pasang taji bagi manuk-manuk yang akan diadu. Orang Bali hanya menjadi abdi-abdi (untuk tidak menyebut "babu") yang – dengan senjata kain pel atau sapu – memberi service terbaik untuk kesuburan ruang-ruang kapitalis di natah orang Bali sendiri. Orang Bali kemudian memberhalakan ruang-ruang tersebut – ruang-ruang yang sebelumnya pernah mengalahkan mereka.
Kisah Perlawanan (yang "Tunduk") terhadap Adat Bali
Pada beberapa sisi, hukum adat dalam konstruksi masyarakat tradisi Bali kadang sangat kejam pada krama adatnya sendiri, namun luluh ketika dihadapkan dengan dunia luar, apalagi pada modernisme yang membawa industrialisasi – dan iming-iming materialisme, tentunya – sebagai anak kandungnya. Inilah yang menjadi inti kisah ironis dari Incest. Desa adat dengan kekuatan massa serta para pemucuknya sangat patuh terhadap awig-awig adat yang berlaku, demi memproteksi berbagai sisi kehidupan serta keberlangsungan hidup yang sejahtera bagi krama adat, serta menjaga keluhuran dan keajegan adat itu sendiri. Kepatuhan tersebut termasuk pada hal-hal yang – menurut pola pemikiran "masa kini" – "tidak relevan" lagi. Tidak mengherankan jika adat sering kali terlihat begitu kejam dan "tidak relevan" ketika menjatuhkan berbagai macam sanksi terhadap para krama-nya yang dianggap melanggar atau melawan awig-awig.
"Méru" Satpam
Sejarah polemik tentang "pelecehan" terhadap simbol-simbol yang dianggap suci dalam wilayah budaya dan agama Hindu Bali telah terbentang lumayan panjang. Beberapa yang pernah saya dengar, di antaranya kasus foto bola golf di atas canangsari, album Manusia Setengah Dewa Iwan Fals, sinetron Angling Darma, film Opera Jawa Garin Nugroho, penggunaan nama dewa dalam beberapa merek kendaraan bermotor, dan sebagainya. Menanggapi polemik seperti ini, orang Bali sendiri ada yang pro dan kontra. Ada yang beranggapan bahwa "pelecehan" semacam ini perlu "diberantas" semuanya. Yang lain mengklaim wacana seperti ini terlalu "nyinyir", bahkan dianggap terlalu mengeksklusifkan budaya dan agama Hindu Bali dari pergaulan budaya dan agama lain.
Cenk Blonk sebagai Simbol
Eksplorasi yang dilakukan Cenk Blonk tentu saja memunculkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti "pengingkaran" terhadap pakem wayang kulit Bali. Dalam beberapa hal, rupanya Cenk Blonk memilih untuk mendobrak pakem-pakem tertentu guna meloloskan berbagai hasil eksplorasinya. Bagi saya, praktik "pengingkaran" pakem ini bukanlah perkara baru dalam ranah seni tradisi. Ini bahkan sering kali menjadi "keniscayaan" ketika sebuah genre seni berhadapan dengan produk-produk budaya lain yang menjadi tanda mutakhir zamannya. Di balik "pengingkaran" itu saya membaca suatu simbol bagi "pengingkaran pakem kehidupan" tradisi tertentu. Dalam tataran wacana, ini merupakan wacana bagi realita kehidupan aktual yang mesti "menengok kembali" berbagai "pakem kehidupan" yang telah mentradisi, di mana "pakem kehidupan" yang telah usang dan tidak relevan lagi bagi persaingan kehidupan kontemporer suatu zaman sudah waktunya untuk dimuseumkan atau diinterpretasi ulang. Ia hidup sebagai filter bagi pola laku dan pikir warisan tradisi, guna mengkonstruk lagi pola laku dan pikir yang up to date bagi zaman mutakhir.
Bahasa Bali yang Jauh
"Punapi gatra, Gus?" Duh! Tiba-tiba saya merasa asing dengan sapaan itu. Bukan saya tidak mengerti apa maksudnya. Tapi karena yang mengucapkannya adalah seorang teman akrab, walau telah beberapa tahun kami tidak berjumpa. Terhadap sapaan itu saya hanya menjawab, "Béh! Kéné-kéné dogén uli pidan. Sing taén berkembang." Ketika bertemu dan ia mengucapkan sapaan itu, saya merasa ada kadar yang berkurang pada keakraban persahabatan kami yang sudah bertahun-tahun berjalan. Padahal baru saja saya ingin menyambutnya dengan keakraban (baik dalam berbahasa maupun bersikap) yang biasa kami lakoni ketika sering bertemu dahulu. Percakapan demi percakapan terus berlangsung, dan ia tetap saja menggunakan basa Bali alus. Perlahan, bukan hanya kadar keakraban yang terasa memudar. Teman saya telah menjadi sosok asing di depan saya, seperti seseorang yang baru saja kenal dan entah datang dari mana.
"Nawegang antuk Linggih"
Dengan pemaknaan terhadap dua narasi sejarah yang berbeda (katakan saja demikian), keduanya memiliki dan mengamalkan pembenarannya masing-masing. Kedua narasi sejarah itu pun tak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia Bali karena keduanya merupakan lintasan sejarah yang membangun manusia Bali sekarang, terlepas dari seberapa besar perannya masing-masing. Masalah muncul ketika ada laku "pengkultusan" terhadap salah satu sistem yang dilakoni guna meraih status tertentu dalam konstelasi kehidupan sosiokultural dan sosioreligius, yang mana status tersebut mengandung prestise tertentu pula.
Orang Jembrana
Kisah "orang-orang terbuang" dan perambahan hutan di atas menambah ketegasan bahwa karakter keras dan kuat memang dimiliki oleh orang Jembrana, yang secara kesejarahan merupakan endapan dari karakter orangorang yang dicap pembangkang, penentang, pembelot, pemberontak. Lalu ditambah lagi dengan ritual perambahan hutan dalam membuka lahan tempat tinggal dan pertanian yang harus dilakoni dengan mengalahkan keangkuhan pohon-pohon besar, menaklukkan kebuasan dan keliaran rimba, merebut Jimbarwana. Semuanya memerlukan karakter fisik dan jiwa yang keras dan bedu.
Bali Tanpa Eksotika
Namun, ketika orang luar Bali kemudian memasuki lingkungan budaya orang Bali, yang melakukan penilaian terhadap kosmologi Bali, dan mengutarakan hasil pandangan atau penilaiannya itu kepada orang dalam atau luar Bali, mulailah lahir "Bali yang eksotis". Salah satu realisasinya adalah berbagai narasi tentang Bali dalam brosur-brosur pariwisata di luar negeri serta berbagai karya etnografi. Orang Bali kemudian terpengaruh oleh penilaian ini. Dalam bahasa saya, orang Bali "disadarkan untuk menilai" laku budayanya sendiri melalui kacamata lain, bukan kacamata yang sebelumnya digunakan sebagai "orang dalam yang taat". Orang Bali "disadarkan" bahwa Bali memiliki eksotika. Di sisi lain, "kesadaran" ini digunakan oleh pihak tertentu di Bali untuk menyulut semacam sikap "kebalian" (identitas?) bagi orang Bali sendiri. Dan sebagaimana yang kita lihat sekarang, banyak orang Bali yang gegap gempita, bahkan sesumbar, dengan "kebalian"-nya.
Menengok "Paon"
Dari ketiga jenis kehilangan itu, yang paling tidak bisa "ditemukan" lagi adalah kehilangan secara kultural. Walau kemungkinannya masih bisa, namun manusia-manusianya yang telah berpikiran modern tentu akan menganggap itu sebagai suatu kemunduran peradaban, tidak efisien, dan sebagainya. Kehilangan secara kebendaan sebenarnya masih bisa "ditemukan" lagi lewat museum-museum atau kolektor barang antik atau dari tinggalan-tinggalan leluhur yang glantak-glénték tak terhiraukan. Sedangkan kehilangan secara historis masih bisa didengar lewat cerita-cerita para orang tua atau tulisan-tulisan. Hanya saja, sekali lagi, sejarah itu tidak teralami lagi. Lalu, apakah ini sebuah kesalahan? Apakah ini suatu sikap yang tidak menghargai dan melestarikan warisan nenek moyang? Saya selalu curiga terhadap klaim "tidak
menghargai" dan "tidak melestarikan" warisan nenek moyang. Jangan-jangan, anggapan ini lahir dari cara pandang yang keliru.
menghargai" dan "tidak melestarikan" warisan nenek moyang. Jangan-jangan, anggapan ini lahir dari cara pandang yang keliru.
Kolektivitas Cap "Suryak Siu"
Di Bali saat ini, praktik suryak siu bukan hanya terjadi dalam skala kecil seperti pada kasus yang saya contohkan di awal tulisan ini. Ia tidak hanya bergerak pada lingkungan banjar saja, namun telah menjadi semacam gerakan menyeluruh masyarakat Bali. Kita lihat misalnya sekarang ini di Bali berkembang sebuah wacana tentang konsep identitas kebalian yang disebut Ajeg Bali. Ajeg Bali ini muncul dari figur yang "patut digugu dan ditiru". Entah siapa figurnya. Media massa lokal yang sekarang berkembang di Bali adalah salah satu "kulkul" yang menyuarakan wacana ini, untuk kemudian dilaksanakan oleh krama "banjar" Bali. Maka, jadilah segalanya sesuatunya seakan dilakukan demi Ajeg Bali, tanpa penelusuran lebih jauh tentang konsep macam apa sebenarnya Ajeg Bali itu. Inilah salah satu perilaku suryak siu yang sekarang tengah berkumandang di Bali. Sebagaimana perilaku suryak siu yang saya contohkan di awal tulisan ini, suryak siu krama "banjar" Bali ini pun memiliki dua posisi paradoks.
Humor di Pentas Seni Bali
Seakan ada semacam "tata hierarki peran" yang diberlakukan dalam dunia pentas ini, bahwa yang berhak berhumor-ria, ngaé bebaudan, ndagel di atas panggung hanyalah tokoh parekan, yang notabene adalah wakil dari wong cilik. Tokoh lainnya, apalagi berasal dari kelas atas, harus tampil agung, berwibawa, serem, aéng, serius. Ini barangkali lahir dari kondisi sosial, terutama dalam konstruksi masyarakat berstratifikasi, bahwa kalangan atas harus selalu tampil santun, formal, menjaga sikap, menjaga prestise sebagai kelas masyarakat terhormat, sebagaimana pengamatan Clifford Geertz dalam Negara Teater. Sedangkan rakyat kecil boleh berbuat dan ngomong seenak wudel.
Upacara, Mitos, Bali
Upacara di Bali terus berkembang hingga sampai pada satu titik di mana ia diposisikan sebagai semacam kewajiban bagi umat Hindu Bali. Agamalah yang melembagakannya sehingga posisi wajib ini tercapai. Maka jadilah semacam peraturan mutlak tentang upacara. Hari ini harus diadakan upacara ini dengan sesajen ini dan mantra ini serta dilakukan oleh ini. Hal ini bukanlah masalah ketika telah didasari oleh kesadaran yang saya uraikan di atas. Namun ketika kewajiban itu hanya dipandang sebagai kewajiban semata, tanpa dirunut kenapa ia diwajibkan, maka muncullah mitos baru tentang upacara, yang kemudian menjelma menjadi dasar pelaksanaan upacara. Landasannya di sini bukan lagi kesadaran berupacara. Segalanya berjalan sebagai suatu rutinitas kosong yang tentu saja kemudian hanya menghambur-hamburkan uang. Inilah suatu bentuk kebutaan dalam berupacara, suatu rutinitas ritual tanpa pemaknaan.
Eksotika yang Ajeg
(Jejak Kuasa dalam Politik Kebudayaan)
Wacana Sela I Ngurah Suryawan
Wacana Sela I Ngurah Suryawan
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-Bali-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu "teorisme budaya" dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.
"Nak Bali Apa Sing Bisa Ngigel!"
"Nak Bali Apa Sing Bisa Ngigel!"
"Orang Bali ya? Coba matanya digini-giniin," pinta seseorang kepada teman saya sambil menggerak-gerakkan bola matanya, bermaksud meniru sledétan penari Bali. "Saya enggak bisa nari," kata teman saya, seorang gadis Bali yang kini kuliah di Jogja. Lalu orang itu beralih pada saya. "Coba kamu," katanya meminta saya melakukan hal yang sama. "Saya lahir di Bali, tapi enggak bisa nari Bali," jawab saya. Orang itu terdiam sejenak. Ada keheranan di raut mukanya. Barangkali dalam hati ia berkata, "Kok ada, ya, orang Bali tidak bisa menari?"
Bali dan Tubuh Perempuan
Bali dan Tubuh Perempuan
Pada masa itu, figur perempuan Bali telanjang dada adalah gambaran dari kehidupan sosial pedesaan Bali. Barangkali kita bisa membaca bahwa di balik figur perempuan telanjang dada itu tercermin kepolosan, tradisi berbau tanah, kesederhanaan (atau penyikapan secara sederhana) budaya keseharian, atau bahkan kemiskinan (ekonomi). Mereka sangat jauh dari kebaya yang pada saat itu mulai dipandang sebagai salah satu bentuk kesopanan oleh kaum menengah ke atas yang mengenyam bangku sekolah. Dada perempuan ketika itu barangkali bukan suatu daya tarik seksual bagi laki-laki. Bukankah dengan demikian orang Bali zaman dulu bahkan lebih bisa menempatkan konteks seksual dalam kehidupan sehari-hari mereka? Telanjang bulat bersama di sungai barangkali bukan suatu suasana yang dapat menarik hasrat seksual.
Hari Raya yang Hilang
Ketika mulai tinggal di Jogja, tepatnya sejak pertengahan 2003, saya tidak punya hari raya lagi. Saya selalu bilang begitu pada teman-teman saya. Pernyataan ini memang ada nada bercanda, dan awalnya saya memang bermaksud bercanda. Namun sering kali teman-teman saya menanggapinya serius. Dan lebih sering lagi, saya sendiri yang menganggapnya serius karena bagaimana pun juga apa yang saya katakan itu, yang bagi beberapa orang yang taat agama adalah tabu, memang saya alami dan rasakan.
Menghidupi Seni Bali
Tidaklah mengherankan jika kemudian lahir masyarakat pendukung pada masing-masing produk seni. Dengan kata lain, muncul praktisi seni khusus untuk pariwisata, khusus festival, khusus partai politik tertentu dan sebagainya. Semuanya akan melahirkan kehidupan seni Bali yang spesifik, "produk seni kepentingan", yang – sekali lagi – lepas dari baik dan tidaknya kualitas masing-masing. Lalu, siapakah yang punya andil besar, siapakah yang berwenang, siapakah yang berjasa, siapakah yang idealnya menghidupi seni di Bali? Ternyata bukan jubelan pertanyaan ini yang mesti dijawab; namun untuk apa sebenarnya seni Bali dihidupi sekarang?
Dusun, Daun Pisang, HP
Mobil-mobil pick up itu masuk ke jalanan dusun yang sebelumnya belum tentu dijejaki ban mobil dalam sebulan sekali. Mereka "mengekspansi" dusun. Mereka merintis pengajaran "pengantar ilmu berdagang" kepada dusun. Mereka mengajarkan bagaimana persaingan pasar, bagaimana mengemas barang dagangan sehingga punya daya tawar – walau masih dalam taraf yang begitu sederhana. Mereka memberi "penyadaran" kepada orang dusun yang "terbelakang", bahwa di sekitarnya bergelimpangan berbagai potensi ekonomi yang seakan berebut mengacungkan tangannya, minta secepatnya diubah menjadi uang. Mereka mengajar dusun untuk mengukur segala sesuatunya dengan rupiah. Mereka mengajar dusun menjadi "materialistis".
Rare Angon
Ah, itu hanya sebuah dongeng. Barangkali ia tak perlu bahasan seruwet yang saya lakukan di atas. Dongeng hanya imajinasi dari ruang "dahulu kala" yang kabur. Hanya kisah pengantar tidur yang dipuja-puja ketika kanak-kanak, perlahan dilupakan ketika remaja, kadang dikenang ketika dewasa, dan tak pernah diceritakan lagi kepada cucu ketika usia tua. Dongeng adalah masa kanak-kanak yang penuh "kebohongan". Tapi, masa kanak-kanak kita belajar dari "kebohongan" itu – walau kemudian disangkal di masa-masa selanjutnya. Konon, "kebohongan" itu penuh dengan ajaran-ajaran tentang kebajikan. Di sana, dalam dongeng itu, kanak-kanak kita menjelajahi kompleksitas kehidupan melalui "dunia lain".
Telanjang
Budaya Bali, hingga sekarang, masih menyisakan karakter telanjang, baik secara fisik maupun filosofis. Perlu cara pandang tertentu untuk meniliknya. Kemiskinan dan iklim yang sering dijadikan asalan kenapa perempuan-perempuan Bali dahulu telanjang dada dalam kesehariannya agaknya harus dipandang dengan cara yang berbeda agar tak melulu berhenti pada taraf alasan. Kemiskinan dan iklim mestinya dipandang sebagai keniscayaan alam dan sosial yang kemudian membentuk konstruksi budaya Bali. Tak perlu ada semacam permakluman dalam hal ini. Sebab kalau memposisikannya sebagai permakluman, kita tengah terjebak ke dalam pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses panjang pembentukan budaya Bali. Sekali lagi, mesti diakui sebagai keniscayaan. Bukankah kita tidak pernah bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita?
Pentas Itu Bernama "Tajén"
Pentas Itu Bernama "Tajén"
Dalam satu segi tajén punya persamaan dengan upacara-upacara yang dilakoni oleh orang Hindu Bali. Keduanya sama-sama merupakan "kesekejapan" yang teaterikal. "Kesekejapan" muncul ketika peristiwanya berlangsung, ketika eksekusinya. Sebagaimana menyiapkan sarana upacara, ayam jantan disiapkan dengan begitu tekun oleh bebotoh. Segalanya diperhitungkan dengan teliti: melik, kebugaran fisik, déwasa yang baik untuk mengadu, serta dengan ayam jago macam apa ia harus diadu, dan sebagainya. Pokoknya, bebotoh begitu meting-meting ayam jagonya agar bisa mapalu dengan tangkas di arena tajén. Hingga tiba saatnya ia diadu, dan hanya ada kemungkinan menang dan kalah. Setelah itu, selesai. Begitu sekejap. Peristiwanya tidak bisa diulang. Jika kalah, ia mati dan jadi bé cundang. Jika menang, ia harus dipersiapkan sedemikian rupa lagi, dengan perhitungan yang pelik, untuk menghadapi pertarungan selanjutnya. Tajén memang sebuah upacara.
Memupuk Pohon Mitos
Justru semakin banyaknya orang yang berpikiran modern dan individualis itulah yang kian menyuburkan pohon mitos. Lahirnya berbagai interpretasi dari orang-orang yang berpikiran modern merupakan satu penyebab kerindangan tersendiri karena tidak pernah ada massa yang menyatakan persetujuan secara bersama terhadap hasil interpretasi itu. Ia (interpretasi itu) hanya menemukan persetujuannya dalam pola pikir interpretatornya sendiri. Inilah ciri pemikiran modern yang individualis. Interpretasi-interpretasi itu berkumpul jadi satu – tanpa menemukan banyak pendukung, dan jarang bisa disamakan – menciptakan kerindangan yang hebat pada pohon mitos. Hal ini belum lagi ditambah oleh penalaran fundamentalis terhadap mitos serta berbagai interpretasi yang menggunakan pemikiran di luar modern.
Nyepi Kampus
Nyepi Kampus barangkali meniru penyelenggaraan acara Dharma Santi Nasional yang biasanya diselenggarakan setelah Nyepi. Beberapa kali memang Nyepi Kampus di kampus saya membawa embel-embel "Dharma Santi Kampus". Apa tujuan penyelenggaraan Dharma Santi Nasional, yang biasanya dihadiri presiden dan pejabat negara lainnya itu, saya tidak tahu persis. Namun dalam sambutannya pada Dharma Santi Nasional dalam rangka Nyepi Saka 1929, Pak Presiden SBY menyatakan, Dharma Santi Nasional sebagai wujud silaturahmi umat Hindu bertujuan untuk memuliakan mahluk hidup dan meningkatkan kesetiakawanan sosial. Rupanya, 24 jam dalam Nyepi yang sepi di luar dan riuh di dalam itu belum cukup untuk sekadar mewujudkan kesadaran untuk bersilaturahmi, bahkan antarumat Hindu sendiri, sehingga acara seremonial (!) semacam Dharma Santi Nasional perlu diadakan. Dan acara seremonial yang melibatkan pejabat biasanya jauh dari jangkauan masyarakat biasa (baca: umat).
"Gesah" PKB
Pesta Kesenian Bali (PKB) tidak habis dibicarakan. Dan sepertinya akan selalu begitu. Pembicaraan tentangnya bukan sekadar warna atau bumbu di antara setiap tahun penyelenggaraannya, di antara sekian banyak macam kesenian yang dipestakannya. Kalau mau mempertahankan eksistensi PKB, salah satunya, ya, dia harus dibicarakan. Diwacanakan. Terus-menerus. Tidak peduli wacana yang positif atau negatif, membangun atau tidak, memuja atau memaki. Yang penting wacana, kritik, gesah. Dua macam wacana yang paradoks akan sama derajatnya dalam menunjang eksistensi PKB. Layaknya selebriti layar kaca, ia akan makin tenar dan dicari karena gemilang dalam bermain sinetron maupun gemilang dalam berselingkuh. Itulah ajaibnya dunia wacana. (Tapi ingat, PKB bukanlah pemain sinetron!)
PAST
Dalam hemat saya, keberadaan PAST di Jembrana pada satu sisi memikul tanggung jawab – walau secara formal tidak ada yang memberinya tanggung jawab – bagi terciptanya kehidupan yang kondusif bagi seni kontemporer pada umumnya, sastra dan teater pada khususnya. Jembrana – yang konon – sebagai salah satu barometer kehidupan sastra dan teater kontemporer di Bali mesti dibuktikan dalam tataran praksis, bukan hanya dalam wacana. Di sisi lain, ada semacam ketakutan eksistensial yang melingkupi PAST. Ia menjelma dari (bayang-bayang) narasi kebesaran masa lalu tentang eksistensi seni kontemporer (atau sering disebut: modern) yang pernah hidup di Jembrana. Ketakutan ini bisa jadi merupakan ketakutan menjadi kecil, hilang atau gagal menyambung tali dengan sejarah masa lalu. Wacana yang mencuat tentang kebesaran masa lalu, di samping merupakan pembuktian tentang akar yang kokoh, secara ironis sebenarnya juga menjadi retorika nostalgik di tengah kondisi mutakhir yang barangkali sedang tidak kondusif, mandeg, fakum atau mati suri.
Bali Tanpa Bali
Bali Tanpa Bali
Proyektor itu memantulkan gambar idoep ke selembar kain putih sekitar 2 X 3 meter yang tertempel di tembok. Frame demi frame gambar beringsutan selama kurang-lebih lima puluh menit di sana, mendongeng tentang hamparan sosiokultural sebuah wilayah di Bali. Namun di sana hampir tidak bisa ditemukan gambaran tentang Bali sebagaimana yang ditemui di televisi atau brosur pariwisata. Hanya beberapa detik saja melintas foto penari legong, figur gadis Bali tempo dulu yang telanjang dada, serta bangunan pura. Selebihnya adalah gambaran sepasang kerbau yang lari dengan beringas dalam makepung; tangkas para penabuh jegog; kendang raksasa dalam gamelan kendang mabarung; penari pencak silat yang berkostum mirip pemain stambul; penari leko yang sekilas tampak cuma meniru kostum penari legong; para nelayan Slam di daerah pesisir Jembrana; orang mengambil wudhu dan shalat; kebaktian di gereja yang diikuti para jemaah berpakaian adat Bali; khotbah pendeta ber-basa Bali alus, dengan beberapa kali ucapan puja kepada Sang Hyang Yesus Kristus; rumah panggung Melayu-Bugis; orang-orang yang berbicara dengan "bahasa aneh" – campuran bahasa Bali, Melayu dan Jawa; anak-anak muda latihan teater kontemporer dan musik puisi; berita-berita tentang berbagai kegiatan seni kontemporer; dan sebagainya yang jauh dari gambaran (stereotip) tentang Bali.
Ibed Surgana Yuga
Ibed Surgana Yuga
3 komentar
pak aku sudah posting buku ente...
BalasHapusBed, aku tak bisa berkomentar apa-apa setelah membaca tulisan-tulisanmu.Cuma aku tersenyum kecil. Dan aku juga tak mengerti arti dari senyumku sendiri. Entah apa aku jadi asing terhadap mulutku. Aku membayangkan bagaimana tanganmu menulis dan membayangkan matamu. Membayangkan gemuruh ombak laut Bali.Ah, aku jadi rindu padamu.
BalasHapusKusuka baca tulisanmu. kapan nanti kita bincangkan ya... Salam..
BalasHapus