Kastaisme
Selamat datang dunia fundamentalisme usang ber-casing baru. Nggaya bin absurd!
LIBURAN semester. Gus Eka, seorang lajang berkasta brahmana yang kuliah di Jawa, mengajak seorang temannya liburan di rumahnya di Bali. Sebut saja nama temannya itu Andika, seorang asal Malang. Di rumah Gus Eka, Andika dan Gus Eka terlibat sebuah obrolan asyik dengan kedua orangtua Gus Eka, ditemani suguhan kopi Bali. Andika yang kelelahan tidak kuasa melanjutkan obrolan itu, kemudian permisi istirahat. Gus Eka masih asyik mengobrol dengan kedua orangtuanya karena ia memang jarang pulang sejak kuliah di Jawa empat tahun lalu. Di tengah obrolan itu Gus Eka dengan santai meminum kopi sisa Andika, karena kopinya sendiri sudah habis. Betapa tercengangnya kedua orangtua Gus Eka melihat hal itu. Mata kedua orang yang menginjak usia empat puluh lima itu membelalak tajam ke arah Gus Eka. "Béh, nak suba biasa tiang kéné di Jawa. Yén sing kéné, sing idup apa ben ngoyong di désan anak. Ngajeng magibung krana sing ngelah pipis nak suba biasa," kata Gus Eka kepada kedua orangtuanya, sambil menyeruput lagi kopi sisa temannya untuk kedua kalinya.
Entahlah, kedua orangtua Gus Eka bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih shock melihat anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih rendah. Memang, dalam pola pikir kedua orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah dibandingkan kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih. "Eda ngalih kurenan nak beténan (maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak Jawa. Ajinin raga gigis dadi nak Brahmana," begitu nasihat mereka.
Entahlah, kedua orangtua Gus Eka bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih shock melihat anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih rendah. Memang, dalam pola pikir kedua orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah dibandingkan kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih. "Eda ngalih kurenan nak beténan (maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak Jawa. Ajinin raga gigis dadi nak Brahmana," begitu nasihat mereka.
Ilustrasi | Foto: life.com, recreation by Ibed |
Kasta menjelma menjadi "doktrin" kuat yang berhasil merambah begitu banyak ruang dalam kehidupan beberapa (garisbawahi: beberapa!) orang Bali – dari zaman kemunculannya hingga kini. "Doktrin" ini menguasai sasarannya (orang Bali) sehingga pada suatu titik penguasaan ia berhasil menjadi "isme" yang berakar mulai dari wilayah abstrak manusia – pikiran dan emosi – hingga ke wilayah perilaku keseharian yang terindera. Jika dihubungkan dengan konsep yang konon mendasari dan menjadi struktur seragam desa-desa adat di Bali, yaitu Tri Hita Karana, kasta bukan hanya telah menyentuh pawongan, namun juga palemahan, dan bahkan parhyangan. Dalam tiga ranah konsep ini, kasta adalah salah satu "mesin" konflik. Malahan, yang paling keras memunculkan berbagai konflik justru pada tataran parhyangan, yang notabene merupakan ranah konsep hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
Pandangan terhadap orang lain, terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang ditunjukkan kedua orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh pada tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering kali menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral, dikultuskan, elitis, sehingga menghalangi integrasi antarindividu. Seorang petinggi daerah di Bali yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan "sistem 2D" dalam perekrutan PNS. Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang yang "2D", yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).
Pada tataran palemahan, pada titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak melatarbelakangi pola pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada beberapa kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta antarkelompok. Perbedaan kasta antara kelompok satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham yang berbeda pula di antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah "kolektivitas sempit", suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi tahun 2007 kemarin.
Salah satu contoh konflik berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah konfrontasi antara konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini memuncak menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah tentang siapa yang seharusnya muput karya. Sebelumnya, ritual-ritual di Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga Brahmana Siwa (Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita dari Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik dan politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita dari berbagai kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999 ini, "... walau dalam suasana tegang," tulis Pitana.
Bayangkan! Sebuah ritual keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama manusia kepada Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah bukan hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga, namun justru elemen dalam lembaga agama sendiri.
Konflik antara dua kubu di atas, pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka di sisi lainnya, mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut kasus ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa dan status ini adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan menggunakan ranah parhyangan sebagai alatnya.
Sekali lagi, kasta di Bali memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing kasta di Bali agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik, layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini bergerak dengan fundamentalisme pandangan terhadap kastanya. Sejarah kemunculan kasta di Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna Kepakisan, Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar ketiganya, diapresiasi dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.
Sebagaimana isme yang lain, kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga tidak menutup kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan – berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan perlu dicatat, kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia politik praktis, tidak jauh dari kuasa dan uang.
Kalau dirunut dari sejarah kasta di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua: politik kekuasaan, dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer yang menegangkan semacam suasana dalam perang fisik.
Pandangan terhadap orang lain, terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang ditunjukkan kedua orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh pada tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering kali menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral, dikultuskan, elitis, sehingga menghalangi integrasi antarindividu. Seorang petinggi daerah di Bali yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan "sistem 2D" dalam perekrutan PNS. Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang yang "2D", yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).
Pada tataran palemahan, pada titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak melatarbelakangi pola pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada beberapa kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta antarkelompok. Perbedaan kasta antara kelompok satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham yang berbeda pula di antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah "kolektivitas sempit", suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi tahun 2007 kemarin.
Salah satu contoh konflik berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah konfrontasi antara konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini memuncak menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah tentang siapa yang seharusnya muput karya. Sebelumnya, ritual-ritual di Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga Brahmana Siwa (Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita dari Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik dan politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita dari berbagai kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999 ini, "... walau dalam suasana tegang," tulis Pitana.
Bayangkan! Sebuah ritual keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama manusia kepada Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah bukan hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga, namun justru elemen dalam lembaga agama sendiri.
Konflik antara dua kubu di atas, pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka di sisi lainnya, mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut kasus ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa dan status ini adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan menggunakan ranah parhyangan sebagai alatnya.
Sekali lagi, kasta di Bali memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing kasta di Bali agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik, layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini bergerak dengan fundamentalisme pandangan terhadap kastanya. Sejarah kemunculan kasta di Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna Kepakisan, Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar ketiganya, diapresiasi dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.
Sebagaimana isme yang lain, kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga tidak menutup kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan – berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan perlu dicatat, kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia politik praktis, tidak jauh dari kuasa dan uang.
Kalau dirunut dari sejarah kasta di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua: politik kekuasaan, dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer yang menegangkan semacam suasana dalam perang fisik.
Jogja, Januari 2008
Ibed Surgana Yuga
12 komentar
salam...
BalasHapussedikit bertanya
kawan,apakah anda setuju dengan sistem kasta itu?
buat d'dobrak:
BalasHapusada beberapa hal yang saya setujui dan ada demikian banyak hal yg gak saya setujui dari kasta.
ibed
KASATA!!!APAKAH IDABAGUS YANG JADI BURUH BISA BERUBAH KASATANYA!!APAKAH I GEDE YANG JADI DIREKTUR BISA BERUBAH KASTANYA!!MAAF MUNGKIN AKU KOMENTAR KARENA KESEL JUGA!! TAPI TAK APA!! INILAH BALIKU"" BAGAIMANAPUN TANGGUNGJAWAB GENERASI MUDA UNTUK MEMPRESENTASIKAN DALAM HIDUP DAN KEAJEGAN BALI DALAM HAL KASTA!! OM SANTI3X OM
BalasHapusMenurut tiang...
BalasHapuskita adakan Reformasi Hindu dan ADAT
silakan mampir...thanks
http://kebangkitan-hindu.blogspot.com
saya Ida Bagus _____ Manuaba,
BalasHapusapabila saya telah menjadi mualaf untuk pindah keyakinan apa saya masih menjadi kasta brahmana?
Sayang sekali..Ada Kepentingan terselubung dalam membedakan Tri Sadaka atau Sarwa sadaka..Dalam Tri Sadaka memang lebih sering disebut menurut Kasta ( Brahmana) sedangkan sarwa sadaka lebih menjurus ke paham Warna ( Ada dlm WEDA) tetapi kita sering lupa bahwa di Bali Seorang pendeta mempuyai perbedaan menurut SENJATA, GURU NABE, PUJA, Dll. Nah...sekarang inventarisir perbedaan masing masing sadaka menurut perbedaan diatas dan golongkan menjadi Tiga seperi paham TRI MURTI yang di laksanaka di Bali....Kesampingkan Fanatisme kita dalam menjawabnya....Perlu diingat...Kita tidak perlu meng-inport "Paham Baru " sebelum kita mengetahui jati diri kita sendiri.... JASMERAH kata BUNG KARNO..
BalasHapusperlu saya luruskan/informasikan bahwa Tri Sedaka(Sang Trini) adalah Brahmana Siwa (Ida Pedanda Siwa), Brahmana Buda (Ida Pedanda Buda), Brahmana Bhujangga Waisnawa (Ida Rsi Bhujangga)bukannya Jro Gede seperti yang ditulis diatas.
BalasHapusCerita tentang Brahmna Bhujangga Waisnawa selalu didiskriminasi oleh beberapa warga tertentu yang menganggap dirinyalah dari kaum Brahmana semenjak dahulu hingga sekarang.Baik cerita itu dibuat oleh pengarang jaman dahulu sampai sekarang terlihat sekali muatan politik wangsa yang dicampur adukkan dengan agama.Kalau kita ingin tahu tentang asal usul
BalasHapusBrahmana Bhujangga Waisnawa carilah infonya ke Griya Ida Rsi Bhujangga Waisnawa diBali disanalah akan terlihat kebenaran sebenarnya yang sudah lama terpendam.
TBrahmana bhujangga waisnawa adalah keturunan langsung dari ida resi markandya/ brahmana yg paling pertama datang kebali dan menanam pancadatu dibesakih, bukan jero gede seperti yg anda tulis,.
BalasHapuspelajari dulu agama, kemudian masuk perlahan kesistem adatnya.......mungkin saja dalam benak anda berharap kedepannya anda/keturunan anda menjadi brahmana??dan berharap di agungkan oleh masyarakat bali yg ada pada tulisan dan imajinasi anda.......
BalasHapustapi anda tidak bisa memahami makna nama keturunan tersebut, apa itu ida bagus(bukan da bagus)/ida ayu/ anak agung/gusti/dewa/sang/waisnawa/pasek/pande/yg lainnya..... semua itu ada maknanya...jangan baru pintar sedikit(mre dueg bedik) sudah mau merubah struktur yg mendamaikan pulau Bali....orang" seperti andalah yg tidak berfikir berulang dan menyalahkan suatu sistem... jika tidak ada keegoisan dalam diri anda, barulah anda coba pahami yg dimaksud brahmana siwa , brahmana budha, bhujangga waisnawa...
kasta=status sosial orang bali...misal ida bagus jadi buruh=sudra mereka disebut......
BalasHapuswarna=merah kuning hijau dilangit yang biru...:D
sedangkan yang sedang berlangsung di pulau bali merupakan WANGSA=KETURUNAN///dimana KETURUNAN tersebut memiliki tanggung jawab dari pendahulunya...
jangan sampai salah menafsirkan.....contoh orang yang merasa benar+pintar+picik+iri hati+mendokrin pengunjung blogger ini adalah pemilik/pengepost tulisan ini....saya selaku orang bali sangat prihatin melihat manusia yang tidak memiliki guru dalam keagamaan dan adat istiadat berucap selayaknya dia tau kebenaran ajaran Agama.
Mungkin penulis artikel diatas memilik mksd yg baik, tapi cobak di pahami sdikit, dari mana mndapt litelatur bahwa pandita dari Warga Bhujangga Waisnawa adalah(Jero Gede)??
BalasHapusINI SANGAT KELIRU!