Pergelaran Wayang Kulit Itu Bernama Pemilu
Bagi masyarakat Hindu-Bali yang pernah melibatkan diri secara utuh dalam suatu pergelaran seni pertunjukan (di antaranya, teater) tradisional di pura-pura atau di tempat upacara lainnya, pasti bisa merasakan (dan tentunya lalu menemukan makna) bagaimana keterlibatan itu memberi impresi-impresi tertentu terhadap kehidupannya. Dan ini juga pasti terjadi bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan lainnya. Impresi-impresi yang merupakan bagian dari pengalaman tersebut bisa saja memberikan suatu pesan moral, mengubah idealisme, menjadi pijakan hidup, bahan introspeksi diri, atau sekadar berhenti pada tataran pengalaman yang kemudian menjadi pengetahuan.
Ilustrasi: Pentas wayang oleh Ki Enthus Susmono di Kaliurang, Jogja, 2009 | Foto: Ibed |
Demikian pula dengan peristiwa yang disebut pemilu. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa pemilu adalah peristiwa yang menjadi bagian dari kompleksitas kehidupan warga negara. Dan inti dari suatu peristiwa, adalah keterlibatan. Jika ditilik secara lebih mendalam, pemilu bukan hanya suatu keterlibatan bagi mereka yang telah memegang hak pilih, namun juga bagi mereka yang belum mendapatkan hak pilihnya. Sebab pemilu adalah peristiwa yang mengambil peran yang cukup besar dalam pembentukan ruang dan waktu yang bernama masa depan, yang menjadi medan kehidupan bagi segala umur warga negara yang ada di dalamnya.
Sebelum lanjut, mari saya coba urai masalah keterlibatan—terutama dalam konteks tulisan ini. Dulu, ketika saya masih berumur 8-14 tahun, seringkali ada perhelatan upacara yang menghadirkan pergelaran wayang kulit pada malam harinya. Dari segala umur, masyarakat sekitar—bahkan dari kampung-kampung nan jauh—datang ke tempat pergelaran. Jangan harap mereka semua akan menjadi penonton. Dan jangan harap pula yang jadi penonton adalah benar-benar menonton. Yang jadi penonton paling banter 75%. Yang lainnya datang untuk berdagang, menggelar arena judi kecil-kecilan (seperti bola adil, kocokan (dadu), dll.), menjadi petaruh, sekadar membeli nasi lawar barak atau jagung rebus, yang remaja mencoba adu nasib asmara dalam mencari pasangan, lalu tentu saja ada yang datang untuk menjadi dalang wayang, penabuh, dan kru wayang lainnya, serta masih banyak lagi warna kegiatan lain, yang notabene menjadi satu-kesatuan (melibatkan diri) dalam sebuah peristiwa yang bernama pergelaran wayang kulit.
Setelah dalang mengakhiri lakonnya, tentu saja semuanya bubar, menuju kembali ke ruang dan waktu mereka masing-masing, menjalani dinamika-dinamika masa depan—baik dalam skala besar maupu kecil. Apa yang mereka dapatkan? Kita dapat menerkanya dari kegiatan yang mereka lakukan saat pergelaran wayang itu. Penonton yang benar-benar menonton tentu akan membawa bekal suatu cerita lakon, suatu pesan dan kesan yang disampaikan lakon; yang sekadar menonton paling hanya membawa banyolan yang disampaikan oleh para punakawan, atau gempalan-gempalan (peristiwa nyata atau isu-isu—biasanya yang konyol—yang berdedar pada masyarakat sekitar yang dijadikan guyonan dalam lakon wayang) yang kemudian dijadikan bahan ejekan atau guyonan; para pedagang akan membawa secuil laba atau dagangan yang tersisa; para petaruh dan belandang (pemilik, bos) judi kecil-kecilan membawa kemenangan atau kekalahan; para remaja pencari pasangan akan membawa hati yang berbunga asmara atau kekecewaan emosional yang menyayat hati; dan masih banyak lagi.
Nah, dalam dinamika itulah keterlibatan itu terjadi, sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan. Mereka membawa hasil pengalaman mereka ke ruang dan waktu di depan, sesuai dengan sisi keterlibatan yang mereka pilih dan lakukan.
Peristiwa pergelaran wayang kulit adalah suatu teater—bukan saja karena terminologi keilmuan seni yang memposisikan wayang sebagai bagian dari seni teater. Ia adalah peristiwa yang penuh dinamika dan keterlibatan massa di dalamnya, suatu peristiwa kolektivitas yang menjadi bagian dari kompleks kehidupan dan membawa pengaruh—atau paling tidak memberi warna—pada pola pikir dan sikap (juga laku) kehidupan manusia yang terlibat di dalamnya dalam menapaki ruang dan waktu di masa depan. Inilah suatu peristiwa teater!
Bukankah demikian juga dengan peristiwa pemilu?
Pemilu adalah juga peristiwa kolektif, yang melibatkan seluruh manusia yang berada di dalam suatu ruang dan waktu dalam konteks negara, baik secara langsung atau tidak—walaupun secara konsep perhelatan ini memakai pemilihan langsung. Seluruh manusia? Termasuk yang tak memegang hak pilih? Ya, seperti yang disinggung di atas, pemilu memegang peran yang cukup besar dalam pembentukan ruang dan waktu di masa depan. Dan masa depan adalah milik semua manusia di dalam masa itu. Inilah makna dalam kolektivitas pemilu yang harus digali lebih mendalam. Di sini pula keterlibatan harus disikapi agar makna pengalaman (keterlibatan) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan masa depan bisa sesuai dengan tuntutan massa, ruang, dan waktu.
Penyikapan yang kemudian menghasilkan keputusan dari segi mana keterlibatan harus dijalankan dalam pemilu, tentu saja sangat menentukan kualitas makna itu. Siapa yang berkuasa mengambil putusan keterlibatan itu? Tentu saja diri sendiri. Individu yang ada dalam ruang dan waktu itu. Bagaimana kuasa mengambil keputusan itu harus dijalankan agar bisa merangkul makna yang tepat? Ya tentu saja harus membaca dulu seperti apa tuntutan massa, ruang, dan waktu yang ada. Dengan dasar itu, bagaimana pula proyeksi yang tepat untuk mengisi ruang dan waktu di depan.
Pengambilan sikap dari sisi mana keterlibatan dalam pemilu harus dilakukan, memiliki implikasi besar dalam menentukan di sisi mana masa depan akan dijalani. Apakah Anda ada pada sisi Rama, Bima, Yudhistira, Anoman, Sakuni, Duryadhana, dalang, asisten dalang, penonton yang baik (yang mampu melakukan komunikasi dengan lakon yang ditontonnya), sekadar penonton (apang ngenah ramé gén—hanya untuk meramaikan), pengadu taktik dalam judi kecil-kecilan, pembeli yang “kénkén ja ditu, né penting basang waké betek—terserah, yang penting perutku kenyang”, atau cuma berdiam diri saja di dalam kamar—tak peduli dengan riuh suara gamelan, suara dalang, teriak penonton (riuh kampanye, perdebatan tentang bakal calon, intrik politik, pencekalan, dll.).
Eh, ngomong-ngomong, bukankah dengan dinamika-dinamika itu kolektivitas tercipta dan mencapai maknanya? Nah....
Jogja, 2005
Ibed Surgana Yuga
0 komentar