Arsitektur Tubuh-Suara
“Hak é!” Tubuh kuda kepang itu meliuk, menggeliat, melonjak, mengentak. “Hok ya!” Tubuh kuda kepang menciptakan peristiwa, tanpa “pretensi cerita”. “Hak é!” Tubuh kuda kepang meletupkan impresi dalam tubuh penonton. “Hok ya!” Penonton menangkap peristiwa tubuh kuda kepang, merangkai sendiri cerita dalam peristiwa itu, lalu menyusun narasi sendiri, narasi dari pengalaman tubuh penonton. “Hak é! Hok ya!” Namun kuda kepang tetap tubuh dan suara. (Sebuah pengalaman menonton pertunjukan jaranan atau kuda kepang atau jathilan atau ebleg.)
Ilustrasi | Foto: Ibed |
“Cak! Cak-cak-cak....” Formasi tubuh-tubuh telanjang dada bersuara. “Cuk! Cuk-cuk-cuk....” Arsitektur suara dan arsitektur tubuh luluh dalam arsitektur pura atau arsitektur alam sawah. “Cik! Cik-cik-cik....” Kadang narasi “Penculikan Sita” atau “Pertarungan Subali-Sugriwa” menyelinap. “Cak!” Tapi tubuh tetap cik. Tubuh masih cuk. Tubuh adalah cak. (Pengalaman tentang peristiwa teater Kecak, Bali.)
Hegemoni Budaya Narasi
Ketika bayi, tubuh kita adalah tubuh suara. Kita berkomunikasi dengan suara. Kita menunjukkan Ada kita lewat suara. Tangis pertama, ketika tubuh kita berpindah dari jagat rahim ke jagat luar, adalah suara pertama tentang Ada kita, bukti pertama eksistensi dalam peradaban. Namun bersamaan dengan itu, dunia luar menyergap tubuh, dengan lamat namun pasti kebudayaan memerangkap kita, perlahan mengubah tubuh suara menjadi tubuh narasi.
Sejarah kebudayaan kita pun demikian. Awalnya alam semata berbicara lewat gerak dan suara, dan di dalamnya manusia juga bergerak dan bersuara, menyelaraskan diri dengan alam. Lalu gerak dan suara alam dianggap sebagai pertanda sesuatu di luar gerak dan suara itu—baik sesuatu yang imanen maupun transenden. Lalu dimitoskan. Lalu mitos dinarasikan. Lalu muncul agama, dengan narasi-narasi agungnya. Lalu narasi-narasi budaya modern—bahkan televisi yang audiovisual itu pun sangat naratif sekarang. Narasi telah menghegemoni sekian lini. Bahkan siklus alamiah kita sebagai manusia sering dihambat oleh narasi kebudayaan. Contoh kecil, misalnya, narasi budaya kesopanan dan kesantunan melarang kita untuk kentut di depan umum. Suara kentut yang alamiah (dan sangat disarankan secara medis) itu menjadi haram ketika berhadapan dengan narasi tentang norma.
Di dunia komunikasi, di samping gerak, suara adalah bahasa paling purba. Lalu kebudayaan mengkonversi suara menjadi huruf, suatu proses transliterasi. Lalu huruf menjadi kata (simbol suatu ucapan yang memiliki makna di sebaliknya). Lalu kata menjadi kalimat. Lalu kalimat menjadi wacana, menjadi narasi. Suara kemudian hanya alat untuk berkomunikasi. Suara tidak diposisikan sebagai komunikasi itu sendiri.
Namun (agak) beruntung, dalam hegemoni budaya naratif yang tumpuk-undung dan berebut ruang itu, kita masih punya sisa-sisa “budaya suara”, suatu bentuk kebudayaan yang tak dimaknai lewat narasi atau sebagai simbol suatu narasi tertentu. Ia mandiri sebagai suara yang juga bermakna sebagai suara itu sendiri—sebagaimana Sutadji Calzoum Bachri dalam sajak-sajaknya membebaskan kata dari makna, mengembalikan kata kepada mantra. Dalam beberapa pertunjukan tradisi seperti diilustrasikan dalam pembuka tulisan ini, kita masih menemukan adanya unsur suara yang mandiri, yang tidak naratif, yang tidak dibebani makna di sebaliknya, walaupun ia cuma menyelip di antara unsur utama pertunjukan: narasi.
Di alam masih kita temui suara burung, katak mencipta orkestra di musim hujan, nyaring suara serangga meningkahi gemerisik dedaun, lenguh kerbau (yang ditambat tali oleh tuntutan budaya konsumsi kita), gemericik air, riuh pusaran angin, dan “suara senyap alam”. Semua menunggu kita, insan artistik sekaligus homo ludens, untuk “bermain-main”, menyambut mereka untuk berkomunikasi. Dunia anak-anak—harus kita akui—lebih lihai bermain-main dengan suara alam: ciblonan di sungai atau sendang, membuat mainan suara dari pelepah pisang atau pepaya atau jerami, menabuh batu-batu kali, dan sebagainya.
Mengembalikan Tubuh ke Suara
Kata sutradara yang di dunia teater modern Indonesia kita padankan dengan kata Inggris director, kita adopsi dari kata Sanskerta sutradhara, yang berarti arsitek, seniman, pemahat. Dalam konteks pembangunan arsitektur candi, sutradhara adalah orang yang menentukan dan memahat cerita menjadi relief-relief candi. Barangkali kita mengadopsi kata itu karena ia memiliki kualitas merancang dan membangun (meng-arsitek-i) dalam lingkup kerja artistik. Walaupun teater modern adalah pengaruh Barat, kita tidak memilih untuk mengadopsi kata director yang lebih punya kualitas mengatur, memimpin, memerintah, dalam konteks kerja organisasi.
Tubuh adalah suatu arsitektur yang memiliki gerak dan suara. Pertunjukan teater adalah peristiwa dialog antara tubuh sebagai arsitektur jagad alit dengan alam sebagai arsitektur jagad ageng. Dialog tercipta melalui suara tubuh dan suara alam—juga gerak tubuh dan gerak alam. Dalam kecenderungan pertunjukan teater kekinian, posisi alam sebagai arsitektur jagad ageng sering diganti dengan panggung (yang dimaknai sekadar sebagai tempat pertunjukan, sehingga hubungan suara dengan arsitektur semata mewujud dalam urusan akustik gedung pertunjukan) dan penonton (yang berjarak pula, sehingga jarang terjadi dialog). Lalu unsur suara pun hanya digunakan sebagai media penyampaian narasi atau penyampaian irama (melalui musik).
Dunia seni pertunjukan kita sekarang, terutama teater dan tari, telah dihegemoni sedemikian rupa oleh narasi. Pertunjukan teater, yang pada dasarnya merupakan peristiwa, kini berjejal dengan narasi-narasi yang biasanya dilahirkan oleh naskah lakon. Unsur suara (kata yang diucapkan) hanya menjadi media penyampaian narasi. Bahkan pertunjukan tari, yang jelas-jelas adalah pertunjukan tubuh, kian tidak percaya dengan kemandirian tubuh dalam bergerak, sehingga pertunjukan sering menjadi kenes dengan penjejalan berbagai narasi di sebalik gerak tubuh.
Bagaimana jika pertunjukan teater “dikembalikan” kepada peristiwa suara (dan gerak) yang mandiri, tanpa beban narasi? Peristiwa teater “dikembalikan” sebagai suatu arsitektur tubuh-suara (tubuh-suara manusia, tubuh-suara alam) yang bergerak oleh waktu, tanpa berpretensi menyampaikan cerita yang naratif. Kerja berteater “dikembalikan” sebagai kerja berdialognya manusia (aktor, sutradara dan pekerja artistik lainnya) dengan alam (yang di dalamnya juga terdapat manusia lainnya, dan Tuhan).
Jogja, Juli 2012
Ibed Surgana Yuga
0 komentar