Politik Budaya Peribadahan
Oleh: Ibed Surgana Yuga
Ada yang tak beres
pada etika adopsi budaya
dalam politik budaya peribadahan Hindu di Bali.
"KOS di sini lumayan tenang. Enggak bising seperti tempat lain di Denpasar. Walaupun dekat masjid, tapi jarang ada suara azan," kata seorang teman menjelaskan suasana kos-kosannya di bilangan Dalung, Badung. Teman ini juga bilang kalau masjid itu tidak lagi mengumandangkan azan subuh semenjak ditegur oleh masyarakat desa karena dianggap mengganggu tidur. Satu malam saya sempat begadang di kos teman saya ini, benar saja tidak ada suara azan subuh dari masjid yang cukup besar itu.
Satu hari sebelumnya, sekitar jam enam sore, saya jalan kaki menyusuri salah satu ruas trotoar jalanan Denpasar, melewati balé banjar demi balé banjar, pura demi pura yang ada di pinggir jalan. Saya agak terperangah ketika telinga saya dihinggapi kumandang Puja Tri Sandya dari loud speaker yang terpasang di balé kulkul pada sebuah balé banjar. Sejak kapan mantra persembahyangan ini dikumandangkan dari balé banjar? Kemudian saya menerka, pasti hal ini terjadi pada jam-jam kapan persembahyangan Tri Sandya mesti dilakukan menurut ajaran agama Hindu Bali. Dari seorang teman yang sudah beberapa tahun tinggal di Denpasar saya kemudian tahu kalau hal ini sudah sejak lama berlangsung. Tiba-tiba saya teringat siaran TVRI Denpasar atau RRI Denpasar yang dulu sering saya simak, yang selalu menyiarkan Puja Tri Sandya pada jam enam pagi, dua belas siang dan enam sore.
Saya yang jarang ke Denpasar dan beberapa tahun terakhir lebih banyak hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Muslim di Jawa barangkali dengan agak gegabah menduga peristiwa kumandang Puja Tri Sandya dari balé banjar itu sebagai adopsi tradisi azan dari masjid pada kebudayaan Islam. Penggunaan loud speaker dalam tradisi Hindu Bali – tentunya setelah teknologi modern ini masuk ke dalam ranah budaya Bali – untuk penyebarluasan suatu informasi atau pertanda tertentu, sepanjang pengetahuan saya, biasanya terjadi dalam suatu upacara adat dan agama, baik di rumah-rumah, pura, balé desa atau balé banjar, yaitu untuk pengeras suara rekaman atau live karawitan, kakawin, pamangku atau pedanda yang memimpin upacara, serta pengumuman-pengumuman tertentu menyangkut pelaksanaan upacara tersebut. Belum pernah saya temui pemutaran rekaman suatu puja atau mantra tertentu sebagai suatu pengingat bagi umat untuk melaksanakan ibadah dimaksud dalam waktu hampir bersamaan – semacam Puja Tri Sandya. Kasus di sebuah balé banjar di Denpasar itu adalah yang pertama saya temui.
Syukurlah, ternyata pola pikir manusia Hindu Bali punya ruang yang cukup untuk menerima hasil pola pikir manusia dari ranah budaya lain, sehingga sistem budaya Hindu Bali membuka pintu-pintunya untuk "men-durus-kan" anasir-anasir budaya lain memasukinya. Sejarah kebudayaan Bali memang telah menunjukkan hal ini sejak zaman dahulu sehingga apa yang dinamakan "evolusi kebudayaan" Bali mungkin terjadi dan menghasilkan bentuk mutakhir seperti yang menghidupi dan dihidupi oleh orang Bali sekarang. Nasihat konvensional bilang: semasih kebudayaan luar itu baik dan cocok dengan budaya kita, adalah baik untuk mengadopsinya demi perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Suatu perubahan kebudayaan, sekecil apa pun ia, hampir tak bisa lepas dari yang namanya politik, baik dilakukan secara kolektif maupun individual. Inilah politik kebudayaan yang di dalamnya terkandung strategi, kebijakan, pertimbangan, perlawanan serta kepentingan terhadap suatu anasir kebudayaan tertentu yang nantinya bermuara pada suatu tujuan atau harapan tertentu yang bisa teralami oleh penggerak politik kebudayaan itu. Dengan demikian, politik kebudayaan tidak terlepas dari predikat serta praktik "bersih" dan juga "kotor" ukuran-ukuran kehidupan tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam dunia politik praktis.
Rekaman Puja Tri Sandya yang dipancarkan melalui loud speaker di beberapa balé banjar di Denpasar adalah sebuah bentuk perubahan kebudayaan. Jika dugaan saya benar, bahwa kasus ini merupakan adopsi tradisi azan dalam kebudayaan Muslim, serta melihat kecenderungan perjalanan pemikiran serta praktik kebudayaan Hindu Bali mutakhir, maka dapat dibaca politik kebudayaan yang beroperasi di baliknya.
Dari mana orang Hindu Bali mengenal tradisi azan kebudayaan Muslim? Televisi? Atau mobilitas orang Hindu Bali ke luar wilayah budaya Bali yang memiliki tradisi itu – Jawa misalnya? Keduanya bisa jadi. Namun yang lebih dulu pasti dari masyarakat Muslim Bali (nyama Slam) yang jauh sebelumnya sudah menjadi bagian dari konstelasi sosiokultural Bali.
Tujuan dari pemutaran Puja Tri Sandya ini agaknya juga tidak jauh dari tujuan azan dari masjid: mengingatkan umat akan suatu tempo untuk melakukan ibadah. Kebudayaan Hindu Bali tradisional, dalam hal menilik waktu untuk suatu ibadah tertentu, sebelumnya tidak menggunakan pengingat auditif semacam itu. Orang Hindu Bali tradisi mengidentifikasi waktu-waktu demikian, termasuk dewasa ayu dan sebagainya, melalui kalender Bali baik dalam arti sebenarnya maupun melalui tanda-tanda alam semesta. Sebelum fenomena Puja Tri Sandya ini, ranah budaya Hindu Bali telah banyak mengadopsi budaya luar, termasuk budaya Muslim, untuk melalukan suatu gerakan perubahan kebudayaan. Sebutlah di antaranya penggunaan seragam putih-putih untuk ke pura, hitam-hitam untuk upacara kematian, pesantian kilat, dharma wacana, bahkan ada beberapa umat Hindu yang sembahyang ke pura dengan membawa tikar kecil yang cukup untuk diduduki sendiri sebagaimana umat Muslim membawa sajadah.
Sekali lagi, nasihat konvensional bilang: semasih kebudayaan luar itu baik dan cocok dengan budaya kita, adalah baik untuk mengadopsinya demi perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Bahkan, peradaban tradisi Jepang yang demikian besar itu konon merupakan adopsi dari budaya Cina, dan orang Jepang mampu menghidupinya sehingga mencapai bentuknya yang sublim.
Namun, yang namanya politik kebudayaan tetap saja berjalan. Di satu sisi kehidupan mutakhir kebudayaan Hindu Bali ada sebuah wacana dan gerakan besar yang kelihatannya rada fundamentalis yang gencar men-sweeping berbagai individu-individu dari luar wilayah budaya Hindu Bali beserta anasir-anasir budaya yang dibawanya. Alasan-alasan yang melatarbelakangi gerakan ini adalah penertiban penduduk, termasuk di dalamnya identitas, yang konon untuk menjaga keamanan, keajegan budaya, serta berbagai pretensi yang lumayan kuat. Hal ini melahirkan sentimen kesukuan – bahkan SARA – dalam sikap serta pemikiran orang Hindu Bali terhadap orang luar Bali, terutama nak Jawa yang mayoritas Muslim.
Menilik kasus di atas ditambah ilustrasi yang membuka tulisan ini, dihadapkan dengan fenomena Puja Tri Sandya yang di-loud-speaker-kan di balé banjar, kita dapat membaca secuil karakter gerakan politik kebudayaan Bali mutakhir. Silakan pembaca sendiri yang memberi penilaian.
Jogja, Januari 2008
4 komentar
tulisan yang cukup bagus!saya pernah membaca dimedia mengenai kampanye CAGUB Bali waktu lalu, salah seorang CAGUB dalam materi kampanyenya menyinggung masalah SARA. "dahulu tanah pertanian kita diberkahi oleh Dewi Sri, tetapi sekarang malah ditempati atau dipakai oleh mBa' Sri (orang Jawa)" begitulah kira-kira ungkapan CAGUB tersebut, seolah-olah dia anti terhadap pendatang. saya tertarik dengan ungkapan anda mengenai fundamentalisme yang akan melahirkan konflik SARA dan saya rasa fundamentalisme itu tidak hanya menghantui orang bali saja tetapi hampir disebagian besar wilyah negara kita, mungkinkah fundamentalisme sengaja dilahirkan oleh agama? ataukah penganutnya yang salah mengartikan ajaran agama? [maaf saya g' bisa menjawabnya :)]. klik terlemah untuk mengadu masyarakat kita adalah SARA, sedikit saja memantik atau menyentuh sensitifitas SARA maka akan terjadi konflik yang cukup mengerikan. syukur saja dikampung saya (patas, gerokgak, buleleng, bali) ikatan kekeluargaan antara nyame bedelod (islam) dengan nyame bedaje (hindu) masih terjalin erat.
BalasHapusHhm, Bali memang luar biasa...
BalasHapusDi pulau ini keharmonisan dan kerukunan antar Agama benar2 terjaga dgn baik...
smoga ini bisa berlangsung selamanya...
Cukup menarik untuk dikaji, mungkin dapat dijadikan bahan perenungan. Minimal buat diri sendiri.
BalasHapusiya, idem dengan pendapat diatas, bisa jadi bahan perenungan.
BalasHapussaya percaya, menjadi mayoritas adalah sebuah 'keuntungan'
salam kenal, bli