Menjadi Hindu Bali?


Oleh: Ibed Surgana Yuga 

Mengapa Hindu Jawa,
Kaharingan, Tengger, Gunung Kidul
harus di-Hindu-Bali-kan?

MALAM purnama. Pertama kali memasuki gerbang sebuah pura di bilangan Jogja, alunan gamelan disertai tembang Jawa menyambut – walau cuma dari kaset. Kondisi emosi serta pikiran saya jadi berubah. Ini benar-benar tidak seperti yang biasa saya temui pada pura-pura di Bali. Saya memasuki atmosfer sembahyang yang berbeda, yang baru. Dan hebatnya, suasana berbeda itu tetap tidak kehilangan spirit serta stimulan untuk khusyuk dalam proses berhubungan dengan Hyang. Sembahyang di sana, saya benar-benar merasa sedang di Jawa.


Namun, entah karena apa, dengan tiba-tiba alunan itu berubah menjadi gong Bali. Saya tersentak. Terganggu. Kekhusyukan saya ambyar. Alunan gong Bali dari kaset itu tidak mengantar saya untuk sampai pada perasaan sedang sembahyang di sebuah pura di Bali, tidak pula di Jawa. Saya seperti sedang memasuki sebuah ruang yang sangat sulit untuk diidentifikasi. Saya lupa dengan sembahyang saya.


Kemudian saya menduga-duga kalau penggantian kaset dilakukan karena banyak rombongan orang Bali yang masuk ke pura itu untuk sembahyang. Sebelumnya, yang saya lihat di sana kebanyakan adalah orang-orang Hindu Jawa. Saya mengenalinya dari pakaian yang mereka kenakan, seperti surjan dan blangkon.

Adakah dugaan saya benar? Mudah-mudahan tidak, demikian pemikiran saya waktu itu. Namun setelah bersembahyang di beberapa pura lain di Jogja, saya menemukan indikasi hal yang serupa. Misalnya, hampir semua wasi (semacam pamangku) yang saya temui berpakaian layaknya pamangku di Bali. Padahal mereka semua orang Jawa – dan saya melihat masih banyak orang Hindu Jawa yang sembahyang dengan mengenakan pakaian seperti surjan serta blangkon. Beberapa dari wasi yang sempat saya ajak bincang-bincang mengaku telah pernah mengikuti semacam penataran (saya lupa apa istilahnya) bagi para pamangku yang diselenggarakan PHDI atau lembaga yang mengurusi bidang keagamaan lainnya.

Lama-lama saya dikejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang begitu mengganggu. Kenapa orang Hindu Jawa kini banyak yang menggunakan udeng putih, baju putih serta kamben makancut kalau sembahyang ke pura? Kok orang Hindu Jawa juga membuat sesajen yang sama dengan yang dibuat orang Hindu Bali? Sejak kapan pura-pura di Jawa – terutama yang secara turun-temurun di-sungsung oleh orang Hindu Jawa – dibangun dengan pola arsitektur hingga detail motif hiasan yang sama dengan pura-pura di Bali?

Jangan-jangan ada semacam aturan tidak resmi yang mengatakan bahwa pola arsitektur pura harus sebagaimana pura-pura di Bali; bahwa tata cara berbusana orang sembahyang di pura harus seperti yang dilakukan orang Hindu Bali; bahwa sesajen yang dihaturkan di pura harus sebagaimana yang dihaturkan oleh orang Hindu Bali. Jangan-jangan pula ada suatu gerakan besar yang tengah gencar melakukan penyeragaman budaya Hindu di Indonesia!

Kalau kecurigaan saya benar, ternyata pola represi terhadap agama yang dilakukan oleh Orde Baru masih tumbuh subur dalam pemikiran orang-orang di balik gerakan itu. Orang Tengger dan Kaharingan tiba-tiba tercatat sebagai orang beragama Hindu di KTP mereka, demi sebuah doktrin bahwa hanya ada agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha saja di Indonesia, serta "membunuh" aliran-aliran kepercayaan yang "tidak menyembah satu Tuhan".

Seorang dosen saya pernah melakukan penelitian tentang budaya orang-orang Tengger. Dengan pola pendekatan tertentu yang dilakukannya, ia memperoleh sebuah data yang cukup mengejutkan melalui wawancara dengan seorang tetua adat. Ketika ditanya soal sistem kepercayaannya, tetua adat ini mengaku bahwa sebenarnya orang Tengger tidak beragama Hindu. Dengan tekanan tertentu pada nada bicaranya ia bilang bahwa agama orang Tengger adalah Budha Jawa Sunyata, "agama Jawa yang sebenarnya".

Kasus-kasus represi terhadap sistem kepercayaan vertikal tentu saja membunuh ekspresi serta idiom budaya lokal yang beragam. Saya bayangkan orang-orang yang direpresi itu betapa tidak nyaman menjalani pola budaya baru yang diterapkan terhadapnya, yang jauh dari naluri kultural yang pernah menghidupinya. Barangkali mereka harus mempercayai sesuatu yang tidak mereka percayai.

Namun adakah demikian halnya dengan orang Hindu Jawa yang "di-Hindu-Bali-kan" itu? Atau jangan-jangan ini bukan bentuk represi, namun mereka "meng-Hindu-Bali-kan" diri? Saya amati sepertinya mereka enjoy-enjoy saja menjalaninya. Jangan-jangan ada gengsi tersendiri ketika mereka sembahyang dengan mengenakan pakaian layaknya orang Hindu Bali. Atau ada perasaan tertentu sebagai sesama pemeluk Hindu, dalam hubungan dengan minoritasnya Hindu di Indonesia. Memang, ketika perasaan menjadi minoritas itu ada, pertemuan dengan sesama minoritas memunculkan spirit tersendiri, semacam perasaan "senasib".

Sampai saat ini, masih ada semacam stereotip yang memandang bahwa jika berbicara tentang agama dan budaya Hindu di Indonesia, yang dirujuk adalah Bali; bukan Tengger, Kaharingan, Gunung Kidul atau yang lainnya. Bali pun yang dirujuk adalah Bali yang kini lebih banyak mewarisi agama dan budaya Majapahit; bukan Tenganan, Trunyan, Tigawasa atau lainnya.

Pandangan stereotip demikian sedikit banyak bisa mempengaruhi sikap orang Hindu Bali sendiri, sehingga dapat memunculkan pandangan atau "spirit" tersendiri yang elitis dalam diri mereka. Pandangan bahwa hanya orang Hindu Bali-lah gambaran ideal tentang profil orang Hindu di Indonesia bisa saja muncul. Ekstemnya: pokoknya Hindu itu Bali, bukan yang lain.

Ketika Hindu Bali menjadi referensi utama suatu sistem kepercayaan beberapa agama Hindu – atau yang "di-Hindu-kan" – di luar Bali, ada semacam penolakan terhadap keberagaman kultur yang menghidupi Hindu. Hindu Bali memegang hegemoni serta menjadi satu kebenaran tunggal.

Kalau demikian, betapa semuanya akan menjadi seragam. Saya teringat ketika Orde Baru menasionalkan kebudayaan Jawa, seperti kebaya dan tumpeng. Tiba-tiba ibu-ibu seluruh Indonesia menghadiri acara resmi dengan menggunakan kebaya. Tiba-tiba banyak syukuran yang dilakukan dengan pemotongan tumpeng.

Lama-lama, kita tak punya cara pandang lain.

Jogja, November 2007

Share:

4 komentar

  1. soal polarisasi Hindu Bali dg Hindu Jawa seharusnya sudah tuntas dibahas, tp nyatanya persoalan ini terjadi perulangan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. aq lebih tertarik unutk mendiskusikan kaum Hindu urban, yaitu generasi Hindu hasil kawin campur dan ga punya akar tradisi yg kuat dan menuntut penyederhanaan ritual, lebih menekankan pada jnana.
    btw, pas di pura sempat mendapati buletin gratisan?

    BalasHapus
  2. trims atas komentarnya igen. yap, ini memang masalah lama, tapi bukan berarti sdh tuntas. ingatan selalu diperlukan. agama adalah masalah paling pribadi. kebijakan agama adalah kebijakan pribadi. imanlah yg bergerak. saya hanya membaca fenomena. masalah buletin, saya tidak dapat.

    BalasHapus
  3. Om Swastyastu
    Pertama - tama sy nyatakan bahwa sy sangat mendukung artikel semacam ini, lebih tepat semua artikel yg mengkritisi kenyataan Hindu yg ada di Indonesia ini. Melalui koment sy ini juga sy nyatakan bahwa sy adalah salah satu orang Hindu yg menginginkan Hindu itu lahir bukan karena tekanan atau paksaan. Karena menurut paham sy, Agama adalah ajaran untuk mengenal Tuhan, Adat atau Budaya adalah kebiasaan setempat, Hindu itu Dharma, Dharma itu elastis bukan kaku harus ini atau itu. Jadi kalau ada tekanan kepada umat untuk ini atau itu tentang Hindu, pelakunya sy yakin bukan orang yg Paham Hindu, paling banter pelakunya baru ber KTP hindu. Agama adalah murni tidak bisa dicampur dengan budaya, tapi budaya bisa menjadi pendukung pelaksanaan agama. Agama yg Universal adalah agama yg tidak pernah membawa adat atau budaya kemanapun ia pergi, bahkan ia akan luluh pada adat atau budaya yg ia tempati. Sekian. Om Santhi - santhi - santhi Om

    BalasHapus
  4. Om swastiastu
    Klo mnrut sya sbaikny kta mngikuti adat istiadat kta msing2 krna sy prnh bca d artikel bhwa dlm kitab weda dituturkan bahwa Tuhan kta tdk kbrtan dgn cara menyembahnya yg brbda2 asalkan sma2 memuja Tuhan yg esa. Sekian dan trims
    Om santhi santhi santhi om

    BalasHapus