Sutradara

Teater. Kata ini kita adopsi dari Barat. Juga konsep, gaya dan bentuknya adalah anak kandung kebudayaan modern. Dengan menyebut teater bagi sejenis seni pertunjukan kita, sadar atau tidak kita mengakuinya sebagai pengaruh Barat, modern. Namun, kita coba menjadikannya anak kebudayaan kita. Sebelumnya kita tidak pernah memakainya untuk menyebut bentuk seni ini. Kita hanya menamai ketoprak, lenong, ludruk, arja, mamanda, dan sebagainya, atau paling banter sandiwara. Sekarang semuanya adalah teater (tradisi). Sebelumnya, kala awal proses adopsi, kita sempat menamainya sandiwara—namun kemudian sebutan ini menjadi minor dan tidak populer. 

Sutradara. Jelas konsep di balik kata ini adalah anak angkat kita yang beribu kandung Barat, namun tidak katanya sendiri. Aneh juga, kenapa teater kita adopsi dari Barat, beserta bentuk, konsep dan gayanya, sedang kita tidak mengadopsi serta director? Kita memakai sutradara. Dari mana munculnya? Ranah pertunjukan tradisi? Saya agak ragu. Peran ini tidak ada dalam arja, mamanda, ketoprak, lenong, ludruk atau longser.


Ilustrasi: Paneil relief di Candi Sukuh | Foto: Ibed


Secara historis linguistik, kita mengadopsinya dari sutradhara: Sanskerta—ranah yang banyak mendasari tradisi sastra dan bahasa kita. Di ranah budaya ibu kandungnya, sutradhara adalah sebutan untuk seniman, pemahat dan—ini yang saya rasa paling penting—arsitek. Namun bagi saya tetap tersisa teka-teki: mengapa teater kita adopsi dari Barat dengan tidak menganak-angkat pula director? Saya juga tidak tahu, pada ranah apa kata sutradara pernah kita pakai sebelum digunakan dalam teater modern? Apa acuan para pendahulu teater modern kita menggunakan kata ini sebagai padanan director

Namun masalah ini tiba-tiba saya rasakan tidak begitu penting. Ujuk-ujuk saya menaruh harapan—dengan dasar dugaan—pada pemilihan kata sutradara ini. Saya suka karena di ranah ibu kandungnya ia punya makna arsitek. Lalu saya menduga, jangan-jangan bawah sadar pendahulu kita lebih memilih sutradara daripada director karena didasari oleh salah satu maknanya ini. Sutradara—sebagai arsitek—punya kualitas merancang dan membangun (meng-arsitek-i). Sedang director lebih pada kualitas mengatur, memimpin, mengarahkan, memerintah—sehingga kita hanya mengadopsinya untuk ranah kelembagaan. 


Konon, ketika masa kebudayaan Nusantara membangun candi-candi, sutradhara adalah orang yang menentukan dan memahat cerita menjadi relief-relief. Dari sini kita menemukan titik temunya dengan teater: selain arsitek untuk bangunan, sutradhara adalah juga arsitek untuk ranah cerita, meronce kisah, menganggit peristiwa. 


Harapan saya sederhana saja: sutradara bukanlah pemimpin, pengatur, pengarah, apalagi pemerintah. Ia lebih kompleks: perancang, pembangun, pencipta Ruang. 


Sewon, Agustus 2012 


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar