Nyepi, Tahun Baru, Gerhana Matahari

Nyepi Isaka 1938, setelah melewatkan momen gerhana matahari, karena bangun kesiangan, saya membaca sebuah esai Driyarkara tentang manusia dan waktu, ditulis pada tahun baru 1954. Ini Nyepi, dan saya membaca buku. Bagi saya, membaca adalah sebuah kerja, sebuah perbuatan membangun hidup, sebagaimana juga orang lain pergi ke kantor untuk menyokong hidupnya. Berarti dengan membaca buku, saya telah melanggar amati karya, satu dari empat pantangan dari pemuliaan Nyepi. Dan buku ini adalah karya seorang pendeta Katolik, bukan Weda atau karya-karya para kawi Hindu. Dan saya membaca sambil merokok, ah, saya melanggar satu lagi pantangan: amati geni. Dan saya menulis catatan ini, bih, untuk kedua kalinya saya melanggar amati karya. Dan sebelum membaca buku, saya telah pergi mengayuh sepeda sejarak satu kilometer pergi-pulang, membeli makanan. Saya telah melanggar amati lelungan. Dan saya juga nyaris main sebuah game favorit saya di laptop, walaupun batal, namun secara niat saya telah melanggar amati lelanguan. Duh, mudah-mudahan saya bisa memaafkan diri saya sendiri....

Baiklah, di tengah kegagalan saya memuliakan Nyepi, dengan kepala yang sudah seminggu lebih pusing dan nyut-nyutan, saya kembali diingatkan oleh Driyarkara tentang hakikat manusia yang haus akan kebahagiaan dan khawatir akan ancaman. Harus diakui bahwa kita semua – manusia yang menganggap diri paling mulia di antara makhluk lain – memiliki cita-cita dasar yang sama: bahagia. Dan keberadaan manusia adalah kesadaran untuk mencapai kebahagiaan sekaligus kesadaran kemungkinan tak-bahagia. Ada yang mengancam cita-cita manusia untuk bahagia, dan ancaman itu mengarahkan pada tak-bahagia. Manusia, kita semua, khawatir pada hal ini.


Ilustrasi: Tika, kalender tradisional Bali | Foto: Ibed


Manusia dalam keberadaannya membutuhkan momen-momen khusus untuk menyadari keberadaannya itu. Manusia tak bisa selalu melakukan refleksi atas keberadaannya, sebab manusia selalu bergerak, menjadi, berubah. Dibutuhkan momen tertentu untuk “berhenti”, berefleksi, menyelami kesadaran akan keberadaan. Momen-momen umum yang biasa digunakan manusia untuk itu misalnya, tahun baru, hari raya, momen setelah keterpurukan, saat sembahyang, dan lainnya. 

Nyepi: Sebuah Tahun Baru

Tahun baru. Ini adalah momen dimulainya lagi hitungan satu setelah hitungan 365 selesai kemarinnya. Ini masa ketika bumi kembali pada titik di mana ia memulai perjalanannya untuk mengelilingi (lagi) matahari. Manusia punya kesadaran ini? Ya, lewat perhitungan astronomi. Namun tidak dalam kesadaran keseharian, di mana manusia berpijak di bumi. Dalam kesadaran keseharian, manusia terlalu kecil, terlalu terbatas untuk menyadari pengalaman perputaran bumi mengelilingi matahari. Manusia hanya sanggup menyadari pengalaman perputaran bumi pada sumbunya – ini pun dengan patokan pergerakan semu matahari. 

Dengan bantuan perhitungan astronomi, manusia diberikan pengetahuan untuk menyadari pengalaman kembalinya bumi ke titik semula, setelah hitungan ke-365, untuk memulai lagi perjalannya menghitung 365 nomor selanjutnya. (Bumi ini mirip Sisyphus ya? Mendorong batu ke puncak gunung, lalu menggelindingkannya lagi ke bawah, untuk kemudian mendorongnya lagi ke puncak.) Dengan bantuan sebuah sistem yang dibuat manusia, yang kita kenal sebagai kalender Masehi, (sebagian besar) manusia seluruh bumi punya kesepakatan akan tahun baru (Masehi). Kita sepakat dengan perayaan untuk tahun baru. Kita sepakat akan kegembiraan, teriakan, hura-hura, haru-biru, di malam menjelang 1 Januari. Kemudian narasi dimuatkan ke dalam momen ini, yang lambat laun juga disepakati dan diamini bersama, dan narasi ini bernama harapan akan kehidupan yang lebih baik di tahun (hitungan!) yang baru. Harapan akan kebahagiaan – sambil memperhitungkan berbagai ancaman di depan atau berbagai kekeliruan (ancaman yang telah menjelma) di belakang. 


Nyepi adalah juga tahun baru. Sistemnya dibuat oleh peradaban yang berbeda dengan Masehi. Sistem ini dikenal sebagai kalender Isaka (atau Çaka) yang memulai tanggal satu pada satu fase setelah bulan mati, saat bulan bersinar segaris lengkung tipis. Tahun barunya jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh, bukan bulan pertama. Menjelang tahun baru Isaka juga dirayakan dengan kemeriahan ritual dan duniawi pada hari terakhir bulan kesembilan. Di Bali, misalnya, perayaan itu dilakukan dengan Tawur Agung Kasanga yang dilanjutkan kemeriahan ogoh-ogoh pada malam harinya. Ini adalah kemeriahan dan kemuliaan ritual sekaligus hura-hura duniawi. Hmmm..., hura-hura duniawi? Ya, harus diakui bahwa ritual dan pawai ogoh-ogoh adalah juga sebentuk kontestasi kuasa dan gengsi yang duniawi. Dan bias hura-hura yang lebih kecil juga sering menyertai, seperti pesta alkohol dan judi. 


Nyepi sebagai tahun baru dirayakan (dimuliakan!) dengan “berhenti”, refleksi, semadi, semacam momen menyejajarkan kedua kaki, menarik napas panjang, setelah berjalan sekian juta langkah tanpa henti di tahun sebelumnya, bersiap untuk kemudian menghitung langkah kesatu lagi. Di sini rutinitas langkah, pengalaman keseharian yang kecil, coba diarahkan pada kesadaran yang lebih besar: pengalaman kosmos. Kesadaran dan pengalaman dalam refleksi ini, seterbatas apa pun manusia bisa mencapainya, dilakukan dengan menghentikan sejenak langkah yang duniawi: mencari makan, kesenangan, ledakan emosi, juga ambisi kuasa. 


Nyepi dan Gerhana Matahari: Sebuah “Kebetulan” yang Tepat

Kali ini Nyepi “kebetulan” ber-tepat-an dengan gerhana matahari total di beberapa daerah di Indonesia. Secara “kebetulan” bulan – yang hendak memancarkan cahaya segaris lengkung tipisnya ke bumi – berada di antara bumi dan matahari, dan ketiganya membuat satu garis lurus. Ini tanggal satu spesial yang dibuat oleh pergerakan kosmos – yang sebenarnya merupakan peristiwa semesta biasa. Tahun baru Isaka yang ditandai dengan peristiwa pembentukan garis lurus antara tiga titik pusat dari tiga benda angkasa yang kita jadikan patokan untuk menyusun sistem waktu, kalender. Itu saja. 

Apa yang membuatnya spesial? Sederhana saja, karena ini jarang terjadi. Manusia selalu tertarik pada hal-hal langka, unik, aneh. Satu usia manusia belum tentu bisa mengalami gerhana matahari total. Kesadaran keseharian manusia hanya bisa mengalaminya dari siang yang tiba-tiba menjadi gelap sesaat, dan jika matahari dipandang, ia tertutup lingkaran hitam. Dengan bantuan perhitungan astronomi, manusia diperluas kesadarannya, bahwa ini adalah peristiwa semesta biasa, suatu titik logis sebagai konsekuensi dari pergerakan benda-benda angkasa. Kesadaran yang dibantu perhitungan astronomi modern ini kemudian melenyapkan narasi (kesadaran) lama tentang matahari yang ditelan oleh kala atau naga atau beruang. Narasi lama ini kemudian menjadi mitos bagi manusia modern yang meluaskan kesadarannya lewat astronomi. 


Kesadaran Manusia dan Penciptaan Narasi

Tapi kita baiknya tidak lupa bahwa narasi lama yang kini kita sebut sebagai mitos gerhana itu juga lahir dari kesadaran manusia, nenek moyang kita. Sama dengan kita sekarang, kesadaran nenek moyang kita mencoba mengalami peristiwa semesta dan juga mengaitkannya dengan kehausan akan bahagia dan kekhawatiran akan ancaman. Dari keinsafan ini kita mafhum bahwa manusia tidak sedang mengelilingi lingkaran yang lain dari waktu ke waktu, abad ke abad, peradaban ke peradaban. Kita tetap mengelilingi lingkaran yang itu-itu saja, berulang-ulang, hanya saja dengan kesadaran yang berubah, dan juga narasi yang berbeda. 

Kini, di dunia yang kita sebut modern ini, kita juga menciptakan narasi terhadap peristiwa semesta yang bernama gerhana dan tahun baru. Kemeriahan pesta di malam menjelang 1 Januari adalah narasi yang diciptakan dunia modern Barat, lalu disepakati dan bahkan menjadi kesadaran bagi (hampir) semua manusia di belahan dunia mana pun. Begitu pula dengan fenomena gerhana matahari total kali ini. Dengan kesadaran sebagai fenomena semesta yang langka, kita – dengan bantuan media informasi yang nirbatas – juga menciptakan narasi baru tentang gerhana matahari. Kita lihat bagaimana kemeriahan yang membuncah untuk menyambutnya. Ini adalah semacam narasi baru yang kita (manusia modern) ciptakan di tengah kesadaran kita akan gerhana. Dan bisa jadi di masa depan yang jauh, manusia dengan kesadaran yang diperluas lagi akan menganggap narasi kita ini sebagai mitos belaka. 


Betapa kuatnya narasi-narasi yang dibuat kesadaran manusia. Dulu manusia menghadapi gerhana dengan ketakutan dan kekhawatiran, kini manusia menyambutnya dengan kemeriahan pesta yang meledak. Di masa depan yang jauh, apa lagi ya?


Jeblog, 9 Maret 2016


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar