Belajar Pulang Dusun

Catatan Festival Dusun 2015*)

Luar biasa sekali pada sekitar dua dekade terakhir ini ruang kebudayaan kita di Indonesia disesaki dengan berbagai macam festival, mulai dari yang skala kampung, daerah, nasional, Asia, hingga yang mengklaim internasional. Agaknya festival merupakan gerakan budaya yang sedang populer, dan pemerintah daerah dan nasional juga relatif mendukungnya. Banyak festival telah menelurkan ide-ide kreatif dan jadi ajang kontestasi capaian-capaian kreatif manusia Indonesia. Beberapa festival juga berhasil mengukuhkan kembali ikatan sosial komunitas dan beranjak menjadi pranata “keyakinan” baru dalam memaknai kehidupan manusia. Di samping imbasnya terhadap dunia pelesiran, festival juga jadi lahan pertumbuhan kesadaran terhadap nilai-nilai “baru” dalam kehidupan personal dan sosial, baik berupa nilai yang diserap dari luar maupun reinkarnasi nilai lama.

Namun sayangnya beberapa festival masih sekadar jadi ajang kontestasi semata, tanpa mengagungkan nilai-nilai kolaborasi dan dialog. Beberapa festival malah cenderung jadi ajang kompetisi tidak sehat karena dibiarkan terhampar menjadi tempat  berbiaknya sentimen-sentimen negatif antarkomunitas atau golongan. Saya sering menghadiri atau menjadi penyaji beberapa festival di mana para penyajinya hanya datang untuk menggelar karyanya, lalu pergi setelahnya. Seakan tak ada perjumpaan, tak ada dialog, hanya komunikasi satu arah kepada publik – ini pun lebih dengan semangat mempertunjukkan, bukan berdialog. Mereka seakan cuma ingin memukau penonton, lalu pergi, sambil berharap menyisakan kekaguman di benak publik. Beberapa karya dalam festival yang mengatasnamakan kolaborasi pun masih ada yang mengukuhkan egoisme tanpa menggali kedalaman makna kolaborasi.


Anak-anak dan para pemuda Moding bersiap memasang instalasi baling-baling di Festival Dusun 2015 | Foto: Nanoq da Kansas
 
Belum lagi beberapa festival kini pengelolaannya diserahkan kepada event organizer yang tidak memiliki visi kebudayaan. Pengelola ini memanajemen festival sebagai barang dagangan, bukan sebagai aset kebudayaan yang memiliki makna lebih mendalam dari sekadar barang dagangan. Tata kelola semacam ini membiaskan visi festival dan mengesampingkan – bahkan menegasi – nilai-nilai kebudayaan.**)

Kecemasan terhadap euforia festival itulah yang menjadi salah satu dasar penyelenggaraan Festival Dusun 2015 di Dusun Moding Kaja, Desa Candikusuma, Jembrana, 4 – 10 Desember 2015 lalu. Dusun ini adalah tanah kelahiran seniman Nanoq da Kansas, orang yang menjadi tempat menumpahkan ide-ide kami dan merelakan dusun beserta rumahnya menjadi tempat eksperimen gelaran ini. Tahun ini adalah kali kedua Festival Dusun, dan sampai saat ini masih kami posisikan sebagai sebuah eksperimen untuk menemukan format yang lebih baik dan berguna buat dusun.


Festival Dusun: Festival tanpa Pesta

Festival Dusun merupakan sebuah media dialog tentang peradaban dusun melalui pertukaran dan pergelaran ide-ide kreatif. Tahun ini merupakan kali kedua Festival Dusun diselenggarakan dengan mengetengahkan berbagai bidang dan isu berkaitan dengan pengembangan peradaban dusun: pertanian, wirausaha, ekologi, musik, seni rupa, film, teater dan sastra. Program dalam festival ini terdiri dari workshop, diskusi, pameran dan pertunjukan.

Sejatinya Festival Dusun 2015 tidaklah pantas disebut festival. Ia lebih dekat dengan makna srawung dalam bahasa Jawa, sebuah ruang pertemuan penuh rasa kekerabatan, mengobrolkan sesuatu dengan santai, namun menjadi bagian yang integral dalam ruang sosial dan kultural. Festival Dusun sama sekali jauh dari gemebyar dan keramaian. Namun di dalamnya pertemuan dan dialog berlangsung intens dan penuh makna, baik melalui diskusi yang dirancang dengan format magesah (mengobrol santai) maupun dalam berbagai workshop dan pertunjukan. Dalam hal seni, Festival Dusun tidak mengutamakan capaian estetik, namun lebih pada pertukaran ide dan edukasi antara seniman dan masyarakat dusun. Di sini pula seniman dituntut untuk merumuskan kembali dunia keseniannya sehingga menemukan metode dan bentuk yang pas buat dusun.


Festival Dusun berawal dari ide Andika Ananda, Dwitra J. Ariana dan saya yang ingin membuat sebuah gelaran kesenian yang berbasis di dusun. Kami adalah orang yang lahir di dusun, lalu menimba ilmu kesenian di kota, dan ingin pulang ke dusun yang telah berubah. Dusun tak lagi sekadar kebun atau sawah. Dusun adalah juga toko modern dan smartphone yang berserak. Kami bukan anti terhadap perubahan dusun, namun kami tak ingin dusun jadi seperti kota yang sumpek dan kehilangan tegur sapa dengan tetangga. Di tengah perambahan tanah-tanah dusun oleh kaum kaya kota, kami ingin dusun berubah. Dusun mesti tetap jadi lahan pertanian, namun petani juga cakap mengakses internet dari dusun.


Melihat keadaan dan harapan yang demikian, kami berpikir bahwa kesenian an sich tak dapat menjawab atau menjadi jalan bagi masalah dusun yang berubah. Kami mesti berpikir dalam kerangka dusun sebagai sebuah ruang peradaban, bukan semata sekadar ruang berkesenian atau bercocok tanam. Dusun mesti dirumuskan sebagai ruang peradaban yang selalu berdialog ke dalam dan ke luar guna menentukan posisinya dalam kehidupan kontemporer. Dengan demikian, dusun mesti membentuk peradaban yang tak lepas dari nilai pertanian, ekologi, estetik, teknologi sipil dan teknologi informasi. Dusun mesti berdaya tanpa harus menjadi kota. Bagi para penggagasnya, Festival Dusun adalah sebuah wahana untuk belajar pulang ke dusun setelah kota mendera hampir seluruh bagian kehidupan.


Membentengi sekaligus Membuka Gerbang Dusun

Festival Dusun menggelar beberapa diskusi yang diformat santai sebagai magesah, peristiwa mengobrol gaya khas dusun. Bahkan bisa dikatakan bahwa diskusi merupakan isian utama festival ini, karena diskusilah yang lebih meudah mewadahi proses pertukaran ide dan dialog. Tak tanggung-tanggung, sesi magesah pertama langsung menyoal internet, dunia cyber yang kini telah merambah dusun. Menghadirkan narasumber Gus Long, seorang praktisi teknologi informasi, magesah ini mengetengahkan bagaimana memanfaatkan dunia internet secara positif untuk memberdayakan dusun. Gus Long memaparkan bagaimana generasi sekarang disebut sebagai Homo connectus yang tidak bisa lepas dari dunia maya. Magesah ini menarik karena dihadiri oleh para perangkat dusun, baik dinas maupun adat, yang menunjukkan antusiasmenya terhadap dunia teknologi informasi.

Andika Ananda yang baru datang dari Hokkaido, Jepang, juga membagi pengetahuan yang ia dapatkan di negeri sakura itu. Ia berbagi tentang paradigma usaha kecil dan menengah di Jepang yang merupakan salah satu penyangga kemajuan ekonomi Jepang. Menurut Andika, banyak hal yang dilakukan usaha kecil di Jepang telah dilakukan di dusun-dusun namun hal itu tidak disadari oleh orang dusun sendiri. Magesah ini terjadi sangat intim sehingga membuka berbagai kesadaran tentang peluang wirausaha di dusun apalagi dengan hadirnya beberapa kolega yang menggeluti dunia wirausaha ini.


Sesi magesah yang lain digawangi oleh DS Putra yang membuka dengan masalah alih fungsi lahan yang kini juga melanda dusun. DS Putra memberikan contoh yang sangat menarik tentang bagaimana dalam tradisi Hindu Bali ada ritual ngwaliang Betari Sri, yaitu upacara untuk membuka lahan bekas sawah yang dialihfungsikan menjadi karang rumah. Ini berarti bahwa dalam tradisi Hindu Bali alih fungsi lahan adalah hal yang biasa. Namun dusun mesti berhati-hati jangan sampai tradisi semacam ini dijadikan dalih legal untuk alih fungsi lahan di dusun. Tradisi memang bisa menjadi pedang bermata dua yang bisa melukai siapapun.


Dusun mesti membentengi diri dalam satu sisi, namun di sisi yang lain ia mesti membuka gerbangnya lebar-lebar untuk berbagai pengetahuan dan ilmu modern untuk pemberdayaan dusun. Di satu sisi dusun mesti sadar akan posisinya sebagai lumbung kehidupan pangan sehingga jangan sampai berubah menjadi kota, namun di sisi lain juga mesti bisa berpikir secara kota sehingga mampu membaca diri dan menyerap berbagai pengetahuan dan teknologi yang – celakanya – memang banyak berasal dari kota.


Narasi Ketakberdayaan Dusun dalam Film

Filemmaker  Dwitra J. Ariana mengajak para pemuda Moding untuk membuat film-film dokumenter pendek berdasarkan berbagai masalah yang ada di dusun. Dengan workshop singkat dan bekal handycam sederhana, mereka merumuskan berbagai masalah yang ada di Moding, lalu mencari beberapa narasumber untuk diwawancarai. Mereka menghasilkan dua film pendek yang sangat menarik yang menunjukkan ketakberdayaan dusun di satu sisi dan cebolnya daya tahan kebudayaan tradisi dusun akibat gempuran kebudayaan kota yang dibawa televisi atau teknologi informasi.

Film pertama mereka bercerita tentang pabrik pembuatan citak (bata) yang ada di Moding. Pabrik ini mengeduk tanah-tanah produktif di Moding untuk dijadikan batu bata. Menurut sang pemilik tanah, lahannya itu disewakan kepada pemilik pabrik karena alasan gagalnya pertanian kakao yang sebelumnya tumbuh subur di lahan itu. Kakao memang menjadi produk utama pertanian di Moding. Namun beberapa tahun terakhir pertanian kakao menjelang masa punahnya di Moding akibat serangan hama dan terlambatnya penanganan. Untuk terus mempertahankan hidup, lahan bekas kakao terpaksa dialihfungsikan menjadi lahan kayu-kayuan, dijual atau disewakan. Pemilik lahan sadar betul dengan dikeduknya tanah untuk bahan bata akan mengurangi kesuburan tanah. Namun hal itu tak bisa dihindari karena tak adanya pemasukan ekonomi dari lahan setelah musnahnya tanaman kakao.


Film kedua bercerita tentang sekaha gong di Moding. Walaupun menggambarkan bagaimana semangatnya generasi muda Moding menabuh gong, namun film ini secara tersirat sebenarnya menggambarkan ironi kebudayaan tradisi Moding yang dikenal sebagai tonggak sejarah kesenian musik Jegog di Jembrana. Kini Jegog terengah-engah di Moding, di rumahny sendiri. Hanya terhitung tiga sekaha Jegog saja yang tersisa. Ini pun sudah jarang beraktivitas karena jarangnya tanggapan. Banyak perangkat Jegog yang teronggok tak terawat, keropos dimakan cuaca dan rayap. Jegog bukan hanya kalah oleh kebudayaan modern kota, namun juga oleh kebudayaan tradsi Bali sendiri, seperti gong kebyar. Berbagai festival kesenian tradisi menggelar festival gong kebyar sehingga tanpa disadari mematikan tradisi musik lain yang khas di Bali. Di samping itu, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan anggaran juga tidak memiliki strategi kebudayaan yang kuat untuk mempertahankan berbagai bentuk kebudayaan tradisi yang khas dan unik. Pemerintah lebih mengikuti arus besar politik kebudayaan Bali yang digaungkan lewat PKB di Bali Selatan itu.


Seni Rupa Dusun

Namun Moding juga bersyukur memiliki seniman muda yang enerjik bernama Sastraning Danuraga. Ia adalah perupa muda yang telah melanglang hingga mancanegara. Pemuda kelahiran Moding yang berdomisili di Jogja dan sempat mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta ini pulang dusun dengan membawa konsep kesenian ekologis dan sangat khas dusun. Ia merespon bukit gundul yang merupakan bagian dari hektaran lahan yang telah menjadi milik pengusaha kota. Ia memasang banyak baling-baling berbahan kayu di sepanjang puncak bukit itu, menciptakan seni lanskap yang sangat indah dengan suara yang unik ketika diterpa angin dusun.

Baling-baling kayu itu ia garap bersama beberapa pemuda dusun selama beberapa hari. Karya ini sangat unik karena merupakan bentuk khas seni keseharian dusun, namun dilakukan oleh seorang seniman yang dilahirkan oleh pendidikan kota. Aga – panggilan sang perupa muda – tak mau berpelik-pelik dengan berbagai konsep kontemporer yang cenderung asing, namun ia berkarya dengan sangat sederhana dan tekun melalui konsep respon ruang yang jitu. Dusun memerlukan seniman semacam Aga yang mampu berpikir kontekstual dan memberdayakan ilmu keseniannya mengikuti ruang yang ia masuki. Melihat karya instalasi baling-baling kayunya berputar di sepanjang garis bukit pada senja hari, seperti mendengarkan rintihan dari tanah-tanah yang berpindah tangan ke kaum kaya kota.


Di samping itu Aga juga membuat workshop mencetak mainan dari tanah liat untuk anak-anak dusun. Workshop ini juga tak kalah menariknya karena memanfaatkan potensi tanah di Moding, digarap dengan sangat sederhana dan membangkitkan kembali ingatan terhadap mainan-mainan tradisional yang sebenarnya lebih mendidik dan ramah lingkungan dibanding mobil-mobilan plastik yang mahal dan mengancam kesehatan anak-anak. 


Worksop seni rupa juga diisi oleh Gadgad Organik yang mengajak anak-anak dusun untuk melukis dengan menggunakan pewarna yang bersumber dari berbagai bahan alam, seperi daun, akar dan kulit pohon. Workshop ini sangat menarik karena membawa kembali semangat ekologis dan hubungan tak terputus antara seni dengan alam yang sebelumnya menjadi spirit dari kesenian dusun. Ini juga sebuah ide yang penting bagi isu ekologi yang bisa dimulai pergerakannya dari dusun, wilayah yang setidaknya secara ekologis belum separah kota.


Teater di Belakang Rumah

Berbagai gelaran seperti pentas teater dalam Festival Dusun digelar di tempat-tempat yang sama sekali bukan panggung. Panitia menawarkan tegalan, sungai, halaman rumah, bale banjar dan sebagainya sebagai tempat pentas, tanpa adanya fasilitas pertunjukan yang biasa ditemui di panggung. Secara kebetulan, tiga dari empat pentas teater dalam festival ini memilih tegalan di belakang rumah Nanoq da Kansas sebagai tempat pentas. Sedang satu lagi memilih halaman dan teras rumah. Teater Solagrasia SMA 1 Negara membawakan cerpen Paradoks karya Putu Wijaya dengan menjadikan halaman dan teras rumah sebagai seting peristiwa dramatik. Segala potensi ruang dimanfaatkan dengan jitu dan alami untuk meruangkan cerita yang sebenarnya agak absurd namun juga verbal banal itu. Halaman ini juga setiap paginya digunakan sebagai tempat yoga selama lima hari sepanjang festival dengan instruktur Dewi Pradewi. Yoga ini juga menjadi peristiwa dialog dengan ruang dusun sekaligus sebuah peristiwa performatif yang menarik.

Teater Tebu Tuh dari Singaraja memilih ruang di sekitar menara tandon air dan sumur di dekat dapur untuk memanggungkan Suatu Kali Kali Mati yang bercerita tentang konspirasi penguasa dan pemodal mencaplok alam dan manusia Bali dengan industri raksasa pariwisata yang rakus itu. Ruang fisik yang menjadi sumber air bagi rumah di dusun itu dipinjam dengan baik untuk berbicara tentang kali-kali yang akhirnya mati karena sedotan industri pariwisata dan membunuh masyarakat lokal. Sedang kelompok Teater Darah Indonesia, gabungan seniman-seniman teater dari beberapa kota di Jawa Timur, menggelar Opera Kamar di depan pura keluarga (sanggah). Di sana mereka bercerita tentang banyak hal, mulai dari selingkuh para pejabat hingga kematian kesenian tradisional.


Teater Orok hadir dengan monolog Dua Cinta karya N. Riantiarno di antara dua pohon rambutan di belakang rumah. Monolog yang disutradari Curex ini sebenarnya berseting taman. Menariknya, walaupun di halaman rumah ada taman, namun Curex lebih memilih tegalan belakang rumah yang penuh belukar sebagai taman. Di samping itu, dari segi pemilihan waktu pentas, monolog ini juga agak spesial. Sang sutradara memilih senja, ketika sinar matahari berwarna oranye memberikan kesan yang menarik pada cerita yang penuh intrik cinta itu. Menunggu senja untuk memulai pertunjukan sudah menjadi peristiwa pertunjukan tersendiri bagi para penonton, pemain dan sang sutradara sendiri. Walaupun pentas ini tidak ditonton oleh banyak orang, namun sang sutradara tidak kecewa karena menurutnya ia ingin bereksperimen dengan garapan yang telah dipentaskannya beberapa kali ini. Semangat ini menjadi penting bagi teater karena tidak semata tergantung pada penonton, namun para seniman teater sendiri juga mesti melihat perkembangan garapannya sendiri dengan menjadi penonton dan membandingkan perkembangan garapannya mengikuti perubahan ruang dan waktu.


Pancaseming, Desember 2015


Ibed Surgana Yuga


Catatan:

*) Tulisan ini pernah dimuat bersambung di Bali Tribune, 14 Desember 2015 dan 21 Desember 2015 
**) Tiga paragraf awal tulisan ini juga menjadi pembuka tulisan Memaknai Festival sebagai Ruang Dialog, sebuah catatan dari Asian Performing Arts Festival (APAF), Tokyo, 2015. Memang, beberapa bagian konsep Festival Dusun 2015 juga terinspirasi konsep APAF.

Share:

0 komentar