Jadilah Manusia, Jangan Seniman!

Seniman itu manusia atau bukan? Izinkan saya untuk sementara menganggap (kebanyakan) seniman adalah politikus. Yang disebut karya seni adalah hasil kerja yang politis. Seni merupakan suatu ladang yang lapisan permukaan tanahnya adalah politik, sedang lapisan kebudayaannya jauh di kedalaman, tertimbun lapisan demi lapisan lainnya. 

Kadang seni dipandang semata adalah karya. Maka kerja dalam seni pun terjebak dalam kerja membuat karya—sebanyak-banyaknya, agar mendapat pengakuan setinggi-tingginya. Seniman—eh, politikus—bekerja dengan menggarap lapisan permukaan tanah ladang, menanam benih di sana, dengan berbagai strategi utak-atik-intrik, didukung sedikit keberuntungan cuaca, lalu tumbuhlah “pohon kuasa” sebagai hasil jerih payahnya. Dan disokong oleh mental massa yang banal, maka yang di permukaan itu lebih mudah terlihat, lebih gampang “eksis”. Ia pun diakui sebagai seniman dengan bukti pohon menjulang sebagai masterpiece-nya, namun dengan akar yang jarang menyentuh lapisan tanah kebudayaan.


Ilustrasi: Mbah Prapto dalam sebuah latihan di Candi Plaosan | Foto: Ibed


Anggapan saya ini menyembul ketika terlibat latihan-latihan Mbah Prapto. Sering ia mengingatkan tentang keikhlasan diri menjadi manusia (di semesta). Peringatannya mengeduk kesadaran saya untuk mengakui bahwa saya berlatih dengan memposisikan diri sebagai seniman. Seniman adalah manusia yang telah “dikotori” berbagai anasir politik artistik yang “berindah-indah” agar tampak bagus di mata-selera penonton (baca: selera massa yang sering banal itu). 

Mbah Prapto menyarankan untuk menanggalkan baju kesenimanan kita yang penuh pernik pretensi, dan sebisa mungkin menjadi manusia “telanjang” di semesta. Malah bila perlu menjadi binatang atau tetumbuhan. Manusia “telanjang”, binatang, tetumbuhan lebih jujur pada dirinya sendiri dan dengan ikhlas berdialog dengan semesta, tanpa pretensi politik-artistik. 


Untuk mencapai apa yang kita sebut “seni”, kita mesti melatih diri, mengeduk diri sehingga ikhlas menjadi manusia (atau anjing atau rerumput). Ya, berlatih. Ada yang lupa bahwa seni adalah berlatih, sebagaimana hidup. Ada yang lupa bahwa seni juga adalah jelek, sebagaimana hidup yang ada untung ada buntung. Dari sini, jika berbicara tentang teater, maka yang terpenting dari teater adalah latihan. Bukan latihan untuk pentas, namun latihan menjadi manusia. Sedang pentas hanyalah politik! 


Tapi ternyata, betapa hidup (dan seni, juga teater) demikian cerdik memerangkap kita dalam jebakan politik tak terhindarkan. Karena bertapa sendiri di tengah hutan belantara yang tak terjamah manusia pun, kita tak bisa menghindar dari politik. Apakah semesta juga politis? 


Sial! 


Sewon, April-Juli 2012 


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar