Improvisasi

Permainan yang mapan di atas panggung adalah permainan yang telah jadi improvisasi. Di sinilah permainan (baca: kehidupan di atas panggung) mencapai puncaknya. Improvisasi adalah kulminasi. Bukan awalan. Bukan pula sekadar pengembangan. Apalagi cuma taktik untuk menyamarkan kecelakaan. Ia juga bukan sekadar teknik atau metode pelatihan. Improvisasi adalah aksi itu sendiri. Ia melebihi aksi yang telah dibentuk dari serangkaian latihan dan penghapalan yang taktis-pragmatis-politis. Improvisasi adalah hidup. Di sini makna improvisasi yang paling dalam berada. 

Berimprovisasi adalah menjalani kehidupan sebenarnya yang terjadi (bukan tersaji) di atas panggung. Ia lebih murni, lebih hidup, lebih “bersahaja”, dibandingkan dengan permainan yang ditata, yang dikoreografi, yang sering kali artifisial, penuh intrik dan politik. Improvisasi memboyong wilayah sadar, bawah sadar dan tak sadar sekaligus, secara serentak dan terus-menerus. Sedang permainan yang ditata sering hanya melibatkan wilayah sadar belaka, sadar bermain. 


Ilustrasi: Sebuah latihan improvisasi Kalanari Theatre Movement | Foto: Dok. Kalanari

Teater adalah permainan “here and now” di atas panggung. Secuil peristiwa kehidupan dibingkai, lalu digiring ke atas panggung. Realisme adalah salah satu aliran yang gencar menyarankan konsep “here and now” ini. Seluruh peristiwa adalah yang baru pertama kali terjadi. Bukan suatu yang telah diketahui sebelumnya atau sekadar repetisi demi repetisi dalam latihan sehingga menemukan kualitas tertingginya dalam pementasan.

Maka, “here and now” adalah improvisasi itu sendiri. Peristiwa yang baru kita hadapi pertama kali dan memerlukan tindakan improvisasi dari kompleksitas diri kita sebagai manusia. Manusia hidup yang telah terlatih tentu saja. Di sinilah makna penting latihan teater mesti diletakkan: melatih diri untuk hidup.

Here and now” yang ditawarkan realisme sebenarnya betapa dalam. Ia mengarahkan kita pada keyakinan bahwa teater adalah kehidupan itu sendiri, yang real, yang dialami oleh manusia dalam tempat dan waktu sebenarnya, bukan rekaan lakon. Namun sayang, realisme akhirnya hanya menciptakan ilusi. Ilusi realitas. Ia terancang di atas panggung, dengan usaha keras untuk menutupi kebocoran-kebocoran agar tak tampak sebagai sesuatu yang “palsu”. Dan sayangnya lagi, ia terjadi (tepatnya: tersaji) dengan jarak yang begitu panjang dengan penonton, realitas yang benar-benar.

Sewon, Januari 2012 – Agustus 2013


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar