Diri dan Yang-di-luar-diri

Karena bermain di panggung adalah hidup, menjalani hidup, maka kesendirian itu tiada. Pun ketika memainkan monolog. Hidup tak pernah sendiri, tak pernah hanya diri, bahkan dalam apa yang disebut kesendirian. Selalu ada yang-di-luar-diri, entah itu cuma ketiadaan yang jadi pembanding kesendirian.

Karena hidup tak pernah sendiri, maka yang-di-luar-diri juga hidup. Apa pun. Bahkan sesuatu yang tak punya nyawa, bahkan sesuatu yang telah kehilangan nyawa. Jika yang-di-luar-diri menjadi pembanding bahwa diri sedang hidup, maka untuk memberinya makna, ia mesti dihidupkan, dijadikan subjek. Membiarkannya mati, atau justru membunuhnya, adalah memosisikannya sebagai objek. Diri adalah subjek. Dan yang-di-luar-diri mestinya juga subjek. Jika ada Diri, maka ada pula Yang-di-luar-diri. 


Ilustrasi: Pertunjukan Panji Amabar Pasir oleh Kalanari Theatre Movement | Foto: Pieter Andas

Tapi ego besar manusia adalah hasrat menjadikan diri sebagai subjek tunggal, sehingga semua yang-di-luar-diri adalah objek. Dari sinilah apa yang disebut kesendirian itu lahir. Ini naluri (baca: nafsu) kuasa purbawi yang sebenarnya adalah pedang bunuh diri.

Bermain di panggung adalah menyubjekkan diri dan yang-di-luar-diri sekaligus. Tubuh yang disandang diri, kostum yang membalut tubuh, penonton dalam kegelapan, lantai yang dipijak, set wings di tepi panggung, cahaya yang menerpa, bayangan yang menguntit tubuh, bulir keringat yang dimuntahkan pori kulit, semuanya mesti disubjekkan. Tak ada objek. Karena objek adalah mati. Jika yang-di-luar-diri mati, menjadi objek, maka diri juga mengobjek, mati.

Sebagaimana di Bali, pohon atau batu tertentu dibaluti kain dan diberi sesajen. Tak penting apakah ini penyembahan terhadap pohon atau batu, animisme, atau sebentuk rayuan pada kekuatan ilahiah yang ada di sebalik pohon atau batu. Ini adalah sebentuk cara penyubjekan pohon atau batu, menjadikannya hidup, sebagaimana manusia yang hidup. Manusia jadi bermakna, pun yang di luar manusia. Jika manusia ingin tetap hidup, maka manusia mesti membiarkan atau memberikan hidup bagi yang-di-luar-manusia.

Tapi tak cukup hanya subjek-subjek saja. Panggung dengan berjuta subjek adalah jagat hampa. Mesti ada peristiwa. Hidup, menjalani hidup, adalah predikat. Dan predikat adalah peristiwa. Dari mana predikat lahir? Dari dialog subjek dengan subjek lainnya, diri dengan yang-di-luar-diri. Lalu ruang dan waktu akan mewujud dengan sendirinya.

Sewon, Januari 2012


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar