Kintir: Sekumpulan Lakon Teater
(Semacam Pengantar)
Lakon-lakon teater dalam buku ini, yang terdiri dari dua lakon monolog atau monoplay dan tiga lakon full play, saya kumpulkan dengan sama sekali tidak mempertimbangkan segi kelayakan (kualitas) terbit, maupun kelayakannya sebagai lakon teater. Tujuan utama saya menerbitkan (tepatnya: mengumpulkan) lakon-lakon teater ini menjadi sebuah buku lebih didasari oleh keinginan untuk menghimpunnya menjadi sebuah dokumentasi karya yang lebih rapi, disertai sedikit niat untuk berbagi kepada insan dan publik teater yang tak seberapa itu. Kelima lakon ini saya kumpulkan sedemikian rupa, dengan sedikit penyusunan menurut tahun penulisannya, yang saya harapkan bisa menjadi tolak ukur perkembangan kepenulisan lakon saya, baik secara kualitas, ide, gaya, bentuk dan juga kecenderungan selera. Saya juga tidak terlalu berharap akan ada orang yang membelinya. Siapa yang mau beli buku kumpulan naskah lakon?
Cover Kintir | Foto: Ibed |
Khusus untuk lakon-lakon yang pernah dipentaskan Seni Teku, saya melakukan beberapa perubahan kecil dari versi aslinya (versi pertunjukan Seni Teku). Ini saya lakukan karena beberapa lakon yang dipentaskan Seni Teku saya tulis dengan kebutuhan atau konteks yang sangat spesifik, terutama dalam hubungannya dengan konsep pertunjukan Seni Teku, yang jika dituliskan sebagaimana versi pertunjukannya, ia akan mengalami sedikit kemelencengan konteks. Perubahan yang saya lakukan bertujuan untuk sedikit meng-umum-kan konteks lakon, sehingga ia bisa hidup lebih mandiri sebagai lakon (tertulis) yang tidak mesti dikaitkan dengan pertunjukan yang pernah melahirkannya.
Lakon monolog Nama-nama yang Anonim, yang menurut saya paling jelek dibandingkan keempat lakon lainnya, saya tulis untuk kebutuhan pertunjukan produksi pertama Seni Teku. Lakon ini saya sutradarai sendiri dan dimainkan oleh Pranorca Reindra (ketika itu masih memakai nama Asahan Sabit) di Negara, Bali, pada April 2005. Perjalanannya sebagai lakon dalam Seni Teku sangatlah singkat, hanya dipentaskan sekali saja.
Lelaki Tua dan Kisah Purnama, yang juga lakon monolog, merupakan satu-satunya lakon yang belum pernah dipertunjukkan kepada publik, baik sebagai pertunjukan utuh maupun dramatic reading. Lakon ini saya tulis untuk memenuhi keinginan saya menulis saat tengah gandrung-gandrungnya terhadap karya-karya Gabriel García Márquez.
Salah satu lakon yang memiliki sejarah panjang dalam dunia kepenulisan dan penyutradaraan saya adalah Rare Angon. Awalnya ia berupa sebuah cerpen yang ditulis ketika saya mulai tertarik dengan dunia folklor. Wujudnya sebagai lakon dipertunjukkan pertama kali sebagai produksi kedua Seni Teku, dengan judul Dongeng (yang Tak Pernah Diceritakan) Rare Angon dan Lubangkuri [sebuah prolog], di Malang, Jombang, Negara, Singaraja dan Denpasar, pada Februari 2006. Versi kedua lakon ini berjudul Dongeng (yang Tak Pernah Diceritakan) Rare Angon dan Lubangkuri [1], dipertunjukkan sebagai produksi ketiga Seni Teku di Riau dan Jambi, Februari 2007. Versi selanjutnya dipertunjukkan pada Juni 2008 di Yogyakarta, untuk kepentingan tugas akhir saya di Jurusan Teater, ISI Yogyakarta, dengan judul Rare Angon Sabitan. Versi yang termuat dalam buku ini adalah versi terakhir yang belum pernah dipertunjukkan, namun secara struktur masih sangat dekat dengan versi Rare Angon Sabitan. Versi terakhir ini dinobatkan sebagai pemenang 5 terbaik dalam Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional I Federasi Teater Indonesia 2008.
Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) juga mengalami perjalanan yang cukup panjang, terutama dari segi pertunjukannya. Ia telah dipertunjukkan dalam empat kali produksi Seni Teku di Yogyakarta, Solo, Indramayu, Bandung, Jakarta dan Surabaya, 2009-2010. Secara versi penulisan ia tidak terlalu banyak mengalami perubahan, kecuali dalam bagian-bagian improvisasi. Lakon ini sebenarnya ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Namun dalam versi buku ini, dialog berbahasa Jawa diubah ke dalam bahasa Indonesia, yang tentu saja mengurangi beberapa segi nilai kebahasaan (terutama ethnopoetica) dan konteks sosiokultural. Tujuan pengubahan ini sangat sederhana (mungkin agak klise), yaitu untuk menjangkau publik yang lebih luas.
Satu-satunya lakon bergaya realis yang pernah saya tulis sampai saat ini adalah Keok. Lakon ini saya tulis ketika terlibat dalam program Forum Penulis Naskah Lakon di Yogyakarta, 2010, dan sempat dibacakan dalam Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2010 di Yogyakarta, serta event yang sama di Bandung pada 2011. Keok juga termuat dalam antologi lakon realis Perbuatan Serong (Yogyakarta: Omahsore, 2011), bersama beberapa lakon karya para penulis yang terlibat dalam forum tersebut.
Lakon-lakon yang pernah dipentaskan Seni Teku, terutama Rare Angon dan Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai), ditulis sejalan dengan proses penggarapan pertunjukannya. Beberapa bagian dalam lakon merupakan hasil eksplorasi aktor dalam latihan, sehingga dalam bagian-bagian tersebut saya hanyalah sekadar penulis yang menuliskan hasil eksplorasi aktor menjadi sebentuk lakon. Untuk itu saya berterima kasih pada teman-teman Seni Teku, di antaranya Pranorca Reindra, Marya Yulita Sari, Joe DN, Lintang Radittya, Miftakul Efendi, Ade Puraindra, Agus Salim Bureg, Andika Ananda, Nanang Arizona, Mochalmad Jibna, Febrian Eko Mulyono, Dina Triastuti, Riski P. Sari, Tita Dian Wulansari, A. Satrio Pringgodani, serta teman-teman lain yang pernah membantu dan terlibat dalam berbagai program Seni Teku.
Saya juga berterima kasih pada beberapa alamat penempaan kepenulisan saya, seperti Komunitas Rumahlebah dan Raudal Tanjung Banua, dan terutama pada Nanoq da Kansas beserta Bali Eksperimental Teater dan Komunitas Kertas Budaya. Serta tentu saja pada alamat-alamat lain yang dengan sengaja atau tidak memberikan andil terhadap dunia kepenulisan saya.
Sewon, Oktober 2011
Ibed Surgana Yuga
0 komentar