Di Balik Topeng-topeng Bali


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Bukalah topengmu,
maka tak kubeli pariwisatamu.

Topeng-topeng itu menari, magis dan eksotis. Topeng-topeng itu mendekam di balik kain saput, misterius sekaligus sensasional. Topeng-topeng itu berdiam di tempat-tempat sakral. Topeng-topeng itu menghuni pasar. Topeng-topeng itu mengumbar lawakan di pentas seni rakyat. Topeng-topeng itu menjadi guide para wisatawan. Topeng-topeng itu menjual hiburan. Topeng-topeng itu bermain politik. Topeng-topeng itu menyicil prestise. Topeng-topeng itu berkonsolidasi. Topeng-topeng itu praktik intrik. Topeng-topeng itu membangun kuasa. Topeng-topeng itu adalah wajah Bali. Semua yang ada di Bali.

SUATU malam seorang pragina topeng menari di sebuah hotel, diiringi tabuh gong, ditonton para wisatawan. Ia benar-benar menyuguhkan sebuah pertunjukan yang memukau sekaligus menawar kehausan wisatawan akan hiburan.

Tapi ia tidak sedang “menari sendiri” di sana. Di hotel – dalam konteks konstruksi besar pariwisata Bali – itu ia tidak murni digerakkan oleh energi kreasi seni yang pada satu sisinya memang bertujuan untuk menyuguhkan tontonan yang menghibur lalu untuk mendapatkan sedikit upah peluh. Ia sebenarnya tengah digerakkan oleh tenaga-tenaga yang jauh lebih kompleks, demikian besar, ruwet dan kerap kontradiktif. Kekauatan yang salah satu ikonnya adalah hotel tempatnya menari.

Dalam situasi yang demikian, energi kreasi seni, beserta kompleksitas spirit dan teknisnya, yang semestinya menggerakkan seluruh tubuh sang pragina untuk menari, mengalami degradasi nilai dan kemudian makna. Bentuk tarian topeng, termasuk berbagai pernik yang terindera ketika sang pragina menari menjadi simbol kekuatan besar sebagai hasil kontruksi penuh kontradiksi dan politik dari pariwisata.

Dunia pariwisata adalah dunia perdagangan, bisnis ekonomi, juga politik dan lahan perebutan kuasa dan prestise. Uang adalah tujuan di sini. Sehingga semua yang mau ambil bagian harus mampu “beradaptasi” dengan tujuan itu, kalau mau menuai hasil. Dan sebagai sumber utama uang tentu saja adalah para pembeli, para pelancong. Pembeli hanya akan membeli sesuatu yang diinginkannya, yang dibutuhkannya, yang menarik konstruksi seleranya. Maka “adaptasi” dimaksud adalah suatu pelayanan terhadap segala sesuatu yang dikehendaki oleh pembeli. Ini adalah hukum industri jasa yang sudah jamak, saya kira.

Banyak yang mengklaim – termasuk saya, barangkali – bahwa “adaptasi” semacam itu secara tidak langsung adalah pengikisan atau pendegradasian atribut-atribut, nilai-nilai, makna-makna juga bentuk-bentuk yang sebelumnya menjadi identitas atau bahkan iman bagi sesuatu yang diperdagangkan dalam industri pariwisata, seperti kesenian misalnya. Hal ini juga menjadi sorotan sebuah forum yang menamakan dirinya Kongres Kebudayaan Bali I di Agung Room Inna The Grand Bali Beach, Sanur, 14-16 Juni 2008. “Kenyataan menunjukkan, perkembangan pariwisata lebih menawarkan kepentingan pariwisata daripada kepentingan kebudayaan Bali sehingga menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali. Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Demikian salah satu rekomendasi forum ini sebagaimana dilansir http://www.baliprov.go.id.

Benar saja ketika Putu Wijaya mensinyalir bahwa selama ini, sudah jatuh vonis, seakan-akan Bali hanya artis penghibur, bukan penyimak kehidupan. Menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan yang memerlukan sebuah tindakan dan perjuangan agar terbukti dan bisa di terima oleh orang Bali sendiri. Bahwa Bali bukan hanya “menari”, tetapi juga berpikir.

Kenyataan empirik tersebut memang menjadi konsekuensi logis dari konstruksi industri “pariwisata budaya” yang kini menjadi lumbung besar Bali. Masalahnya adalah, apakah para desainer konstruksi ini dahulu menyadari akan konsekuensi ini, sehingga telah menyiapkan konstruksi antisipasinya? Jangan-jangan tidak tersadari? Atau mengambil langkah untuk menafikannya karena orientasinya memang pariwisata doang, tanpa keinginan untuk memelihara iman dasar barang dagangannya?

Kebudayaan – dalam arti sempit – sebagai barang dagangan industri pariwisata Bali saat ini mejadi kekaburan yang patut diprihatinkan. Secara wadag barangkali ia masih tampak demikian, sebagaimana awalnya, anggun, eksotis, magis, sakral, seakan tak terjadi apa-apa terhadapnya, terhadap jiwanya yang menggerakkan wadagnya. Bahkan, dengan narasi kuat yang dikonstruksi untuk pembangunan citra, seakan-akan ia tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat yang positif.

Namun kita tidak tahu iman semacam apa yang ada di sebaliknya, bahkan untuk sajian-sajian seni pertunjukan yang ditujukan untuk ritual sekalipun, karena sekarang banyak yang ingin sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sajian pertunjukan ritual sekaligus dijual kepada para wisatawan.

Kebudayaan – sekali lagi, dalam arti sempit – yang saya simbolkan sebagai topeng – maksudnya topeng-topeng yang lahir dari ranah seni pertunjukan tradisi Bali – bukan lagi menjadi kebudayaan yang beriman terhadap kebudayaan itu sendiri. Ia telah memiliki iman yang demikian kompleks dan kontradiktif. Iman ini adalah kumpulan kekuatan yang berada di baliknya, sebut saja di antaranya adalah pebisnis pariwisata, pemerintah, broker, kapitalisme, globalisme dan sedikit iman awal kebudayaan. Kekuatan-kekuatan inilah yang mengkonstruksi citra yang menunjukkan seakan-akan kebudayaan Bali tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat dan positif.

Kekaburan kebudayaan Bali semacam inilah yang oleh Kongres Kebudayaan Bali I disebut “menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali”. Namun forum ini ternyata agak keliru ketika memberikan solusi bahwa, “Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Yang ditekankan forum ini adalah masyarakat, suatu subjek pemilik kebudayaan yang sebenarnya dalam kasus ini adalah “korban”. Dengan solusi yang demikian, masyarakat diberikan beban ganda: hidup sebagai “korban” dan mesti mengatasi status tersebut sendirian. Yang ditekankan bukannya kekuatan-kekuatan yang berada di balik topeng-topeng kebudayaan Bali kini, yang semestinya memiliki orientasi utama kepada kebudayaan, bukan kepada pariwisatanya.

Hal tersebut juga tampak dalam tujuan pengadaan forum, yaitu “mengembangkan dialog budaya secara lokal, nasional dan internasional untuk membangkitkan kembali kesadaran, empati, dan apresiasi para budayawan terhadap kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia dan dunia”. Bukankah dalam keadaan hidup kebudayaan Bali mutakhir, dalam konteksnya dengan industri “priwisata budaya”, yang perlu dimunculkan kesadaran, empati dan apresiasinya terhadap kebudayaan, adalah – kembali – kekuatan-kekuatan yang berada di balik topeng-topeng kebudayaan Bali kini?

Jogja, Agustus 2008

Share:

0 komentar