Tertawa dan Menangis Cap Agustusan

Tulisan di bawah ini saya buat pada kisaran Agustus 2006. Sekarang, menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-69, saya membacanya lagi, dan saya kira cukup baik untuk menengoknya lagi dan merenungkannya.

* * *

Barangkali Anda, sebagaimana saya, juga sempat menyaksikan tayangan berita di televisi tentang sebuah acara perayaan tujuhbelasan (HUT Proklamasi Kemerdekaan RI) beberapa hari lalu (2006) di Jember. Masyarakat di sana tumpah-ruah di alun-alun guna mengikuti atau sekadar menonton sebuah acara unik: lomba tertawa. Di daerah lain (saya tidak terlalu memperhatikan di daerah mana), dalam rangka perayaan yang sama, ada yang menggelar lomba menangis. Konon, lomba tertawa di Jember itu, di samping untuk memeriahkan perayaan tujuhbelasan, juga sebagai bentuk “perlawanan” terhadap nasib kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, yang menurut mereka selalu tidak menentu.
 

Ilustrasi: Seorang warga transmigran Jawa di Kalimantan Barat menyiapkan perayaan Hari Kemerdekaan | Foto: Ibed

Kenapa harus tertawa? Dan buat apa menangis? Disadari ataupun tidak, tawa adalah salah satu bentuk ekspresi dari keadaan emosi tertentu. Begitu pula dengan tangis. Barangkali, kedua bentuk ekspresi emosional ini adalah jajaran ekspresi tingkat pertama yang dilahirkan oleh manusia-manusia pertama zaman dulu, sehingga keduanya bisa disebut sebagai ekspresi primitif manusia, bahkan binatang. Keduanya terus lekat dalam sejarah peradaban manusia, sebagaimana hidup dan mati, hingga kita warisi saat ini. Bahkan, sebentuk tawa atau tangis adalah cerminan dari kematangan budaya seorang manusia. Dengan kata lain, dengan kita melihat bagaimana seseorang tertawa atau menangis, kita sebenarnya bisa membaca corak budaya macam apa yang dilakoni orang itu untuk mengarungi hidupnya sebagai manusia. Maka, tawa adalah simbol budaya, bahkan peradaban hidup seseorang.

Namun, bukan soal tawa dan peradaban itu yang ingin saya bicarakan di sini. Kasus lomba tertawa dan menangis di atas begitu menarik bagi saya, bukan karena ia unik dan menghibur; namun karena muatan simbolik yang dikandungnya, sesuai dengan konteks permasalahan yang menjadi objek tertawaan. Tentu saja muatan yang saya maksud akan tepat jika benar lomba tertawa di Jember itu dijadikan suatu bentuk “perlawanan”, penyikapan, pengekspresian, atau tanggapan terhadap kehidupan masyarakat di sana (yang barangkali tidak jauh beda dengan masyarakat di tempat lain di Indonesia). Begitu pula dengan lomba menangis itu.

Sekarang, taruhlah misalnya kedua acara itu diselenggarakan guna menanggapi permasalahan yang sama, yaitu nasib kehidupan masyarakat, rakyat Indonesia umumnya (baca: kita!). Maka secara langsung maupun tidak, para peserta lomba itu tengah menertawai atau menangisi dirinya sendiri, kehidupannya sendiri (baca: kehidupan kita!) yang tidak menentu di masa 61 tahun kemerdekaan negara ini (dan sekarang, 2014: 69 tahun). Hidup yang seringkali digempur oleh berbagai realitas janggal yang berseliweran dengan nyata di urat nadi kita. Ironisnya, kejanggalan-kejanggalan itu banyak lahir dari ekses kebijakan para pengayom dan pelayan masyarakat, yaitu pemerintah. Kita seakan sedang menonton sebuah pertunjukan drama tragikomedi, yang dengan mudah membuat kita tertawa terbahak-bahak, dan dengan mudah membuat kita tersedu dalam selang waktu yang tak seberapa. Kita terbahak karena ia memang lucu; dan karena ia ironis sekaligus tragis, kita pun menangis. Tawa dan tangis itu terjadi dalam ketiba-tibaan, seakan keduanya tak memiliki jarak sedikit pun.

Bayangkanlah seperti kita melihat seekor binatang yang memiliki karakter lucu sekaligus menyedihkan. Binatang itulah kehidupan kita. Dan kita berjalan di dalamnya. Dalam ambang tangis dan tawa. Dalam harga BBM yang dinaikkan, padahal pada harga lama saja banyak rakyat yang tak sanggup beli. Dalam standar nilai ujian nasional yang dinaikkan, padahal gedung sekolah saja atapnya sudah ambrol. Dalam lumpur yang meluap…

Menertawai atau menangisi diri sendiri, dalam kedalaman maknanya, adalah laku dan sikap yang reflektif, dan bisa jadi: kontemplatif.

Jembrana, 2006 - Jogja, 2014


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar