Mabuk Seni di Dublin, Mabuk Bir di Temple Bar

Petugas imigrasi bandara internasional Dublin menanyai saya dengan raut wajah kaku dan nada suara introgatif. Saya keder. Apalagi bahasa Inggris saya jauh di bawah garis terbatas. Namun anehnya, setelah ia bertanya apa pekerjaan saya di Indonesia, dan saya menjawab bahwa saya seniman, kekakuan dan asosiasi superior itu berubah menjadi cair dan penuh penghargaan. Ketika memasuki Dublin, baru saya paham, betapa seni selalu dihargai dan dirayakan di ibukota Irlandia ini.

Sebagaimana sebagian kota-kota di Irlandia, Dublin adalah kota pelabuhan yang cukup besar. Memasukinya kita disambut koak burung-burung camar yang beterbangan di udara kota. Menjelajah kota Dublin sangatlah mudah. Berbagai fasilitas transportasi, mulai dari bus, luas, atau persewaan sepeda, dengan mudah kita temui. Hanya dengan € 6, bus bertingkat yang nyaman, dengan sopir yang ramah, siap mengantar kita keliling Dublin. Namun menjelajah dengan berjalan kaki tetap yang teristimewa.


Poet Corner di tepi Liffey River | Foto: Ibed

Menyusuri Tepian Liffey River
Berjalan kaki menyusuri jalan di tepian Liffey River dan mengunjungi Temple Bar adalah pilihan yang jitu. Liffey River adalah sungai yang membelah Dublin dan bermuara di Dublin Port. Rata-rata dalam jarak tempuh lima menit dengan berjalan kaki, kita bisa menemui dua jembatan untuk menyeberangi sungai. Beberapa jembatan dinamai untuk mengenang, mengabadikan dan menghormati seniman-seniman besar Irlandia, seperti James Joyce Bridge, Seán O’Casey Foot Bridge atau Samuel Beckett Bridge.

Ha’Penny Bridge yang masuk dalam jajaran jembatan tertua di Liffey River, merupakan jembatan khusus pejalan kaki yang namanya merupakan kependekan dari half a penny. Dahulu, untuk menyeberang jembatan besi yang dibangun pada 1816 ini dikenakan dari tarif setengah penny (sen), namun mulai digratiskan sejak 1919. Gambar jembatan ini menjadi ilustrasi sampul cetakan terbaru novel Ulysses, karya masterpiece James Joyce, sastrawan terkemuka Irlandia. Pada sebuah toko buku di pinggir Liffey River, novel setebal 682 halaman edisi Wordsworth Editions ini bisa diperoleh hanya dengan € 2.99.

Sekitar 20 menit berjalan kaki ke arah timur dari Ha’Penny Bridge, kita sampai di Samuel Beckett Bridge yang berarsitektur cantik. Siapa yang tak tahu Samuel Beckett, sastrawan besar kelahiran Irlandia yang terkenal dengan karya-karya drama absurdnya. Tepat di sebelah barat Samuel Beckett Bridge adalah Seán O’Casey Foot Bridge. Seán O’Casey juga sastrawan Irlandia, yang salah satu karya dramanya, Juno and the Paycock, akan dipentaskan sepanjang September-November 2011 di Abbey Theatre.

Abbey Theatre merupakan company sekaligus gedung teater yang juga terletak di pinggir Liffey River, sekitar sepuluh menit berjalan kaki ke arah barat dari Seán O’Casey Foot Bridge. Sepanjang Juni sampai pertengahan Agustus ini Abbey Theatre menggelar pertunjukan teater Translations, karya sastrawan terkini Irlandia, Brain Friel. Teater bergaya realis yang menggunakan bahasa Irlandia dan Inggris ini bercerita tentang masa kolonial Inggris di Irlandia, di mana Inggris berusaha memusnahkan bahasa Irlandia dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Nama-nama tempat pun diganti dengan nama yang familiar dengan spelling Inggris. Sampai sekarang hanya terdapat segelintir generasi tua Irlandia yang bisa berbahasa Irlandia.

Hanya sekitar tiga menit berjalan kaki ke arah timur dari Abbey Theatre, masih di pinggir Liffey River, kita bisa sampai di depan Custom House, bangunan berarsitektur Gregorian dari tahun 1791 yang didesain oleh James Gandon. Berjalan 10 menit ke arah barat dari Custom House, kita bisa singgah menikmati anggur atau bir di Poet Corner, sebuah bar dengan dinding berwarna hijau yang dipenuhi petikan-petikan puisi karya penyair-penyair Irlandia, lengkap dengan foto-foto mereka.

“Kuil” di Tengah Bar
Hanya selemparan batu di sebelah selatan Ha’Penny Bridge, kita sampai di Temple Bar. Dahulu wilayah ini dirintis oleh Sir William Temple (1555-1627), seorang pendidik dan filsuf, dengan membangun rumah dan kebun. Pada 1656, anaknya, Sir John Temple, mereklamasi wilayah sekitar tempat tinggalnya sehingga memungkinkan untuk pengembangan pembangunan. Seluruh wilayah itulah yang kemudian dikenal sebagai Temple Bar, yang kini terbentang dari Westmoreland Street sampai Fishamble Street, dengan jalanan sempit yang dilapisi lempeng-lempeng batu hitam yang menyejukkan.

Temple Bar adalah tempat melancong yang tak pernah sepi dalam 24 jam, dan memiliki karakter yang berbeda antara siang dan malam harinya. Pada siang hari Temple Bar adalah tempat di mana seni dirayakan, mulai dari seniman-seniman jalanan yang mempertunjukkan musik atau street theatre secara profesional, hingga pameran-pameran seni rupa di galeri-galeri berkelas, termasuk Temple Bar Gallery & Studios yang terkenal. Ada pula Temple Bar Book Market, pasar buku bekas yang kecil dan tidak banyak menjual buku. Namun di sana kita dengan mudah memperoleh buku-buku karya penulis-penulis terkemuka Irlandia dan Eropa dengan harga yang lebih murah dari harga seporsi sarapan pagi.

Malam hari Temple Bar berubah menjadi wilayah gemerlapan pesta dengan keriuhan musik, tawa dan teriakan dari bar-bar yang berjajar sepanjang jalan. Hiburan dalam bar pun bervariasi, mulai pertunjukan musik dan tari tradisional Irlandia, gitar dan biola klasik, hingga stand up comedy dan story telling. Di jalanan Temple Bar seorang pemuda berjalan dalam keadaan mabuk, dan mengajak tos setiap orang yang dilewatinya. Ada sebuah joke bahwa seseorang belum sah menjadi Irish (orang Irlandia) kalau belum pernah mabuk. Seorang teman Irish saya, William, seorang pembuat film dokumenter, berseloroh dengan mengartikan Temple Bar sebagai sebuah kuil di tengah bar. Lalu saya menambahkan, yang dipuja di kuil itu pasti “Dewa Bir”! Hahaha....

Jogja, Juli 2011


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar