Pada sebuah dapur di pinggiran pantai sisi barat Dorset, Inggris, seorang maestro gerak, biksu, terapis tari, desainer taman dan konsultan lembaga menggerakkan tubuh mereka dengan kesadaran dan intensitas tinggi. Di antara meja makan, perkakas dapur dan aneka makanan, gerak mereka sublim mencipta ritus. Mereka tengah mencoba untuk menciduk makna dapur sebagai jalan menuju nilai dan makna hadirnya kekuatan ketuhanan di dunia keseharian manusia.
Peristiwa dapur itu adalah bagian dari lokakarya (workshop) gerak yang dibimbing oleh Suprapto Suryodarmo, seorang maestro gerak dari Solo. Melalui seni gerak yang dinamainya Joged Amerta (Amerta Movement), Mbah Prapto—demikian ia kerap dipanggil—menyarankan pemaknaan akan dapur sebagai bukan cuma ruang untuk mengolah bakal isi perut. Dapur dan perut adalah ruang budaya dan ruang natural yang berelasi kuat dalam keseharian, ruang kedua dan ketiga untuk melanjutkan kehidupan setelah ruang rahim. Gerak sendiri adalah kesadaran hidup untuk mencapai nilai dan pemaknaan itu.
Selama 35 tahun, melalui serangkaian lokakarya dan pertunjukan, Mbah Prapto telah mengelanakan seni geraknya ke Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Saya berkesempatan mengikuti perjalanan lokakarya dan pertunjukannya di empat tempat di Inggris sejak Juni hingga akhir Juli lalu. Ini merupakan bagian perjalanan Mbah Prapto ke tujuh negara Eropa selama tiga bulan. Selama 35 tahun, tubuh gerak Mbah Prapto penuh dengan jejak-jejak kelana semacam ini, dan komunitas-komunitas praktisi ilmu geraknya pun terbentuk dengan kuat di banyak tempat di dunia.
Ritual Gerak
Di Inggris, lokakarya dimulai di desa kecil Westhay yang terletak di wilayah Jurassic Coast, sebuah situs warisan dunia yang memaparkan 185 tahun sejarah geologi dari masa Triassic, Jurassic dan Cretaceous. Dengan ide mengunduh spirit gerak evolusi yang berjejak di situs Jurassic Coast, lokakarya di sini memilih tajuk The Evolution of Art Creation. Mbah Prapto dengan sadar melibatkan ide-ide besar evolusi kehidupan dalam kerja geraknya. Di sini para partisipan melatih gerak sebagai kesadaran diri yang kecil di tengah proses gerak kehidupan kosmos yang agung.
Sebagai seorang melakoni warisan spiritual dan filsafat kuno Jawa, Mbah Prapto memasuki ide-ide besar itu melalui pendekatan ritual. Seni ritual adalah obsesi besarnya dalam mengejawantahkan konsep-konsep geraknya. Baginya, ritual adalah laku gerak meditatif manusia dalam mencapai keberadaan diri sebagai organisme alamiah dan ilahiah. Mbah Prapto menemukan referensi sempurna dari perwujudan idenya ini dalam peristiwa ruwatan. Karena itu, ia sering diidentikkan sebagai dukun atau shaman.
Pendekatan melalui laku ritual semakin kental terasa di tempat kedua: Avebury, situs lingkaran batu terbesar di dunia, lahir dari masa Neolitikum sekitar 2500 SM. Pemilihan situs ini sebagai tempat lokakarya sekaligus pertunjukan merupakan representasi dari kekaguman Mbah Prapto terhadap semangat leluhur orang Inggris dalam membangun ruang ritual. Baginya, batu-batu raksasa yang disusun melingkar dengan diameter sekitar 350 meter itu merupakan ekspresi rasa ketuhanan yang agung. Para partisipan yang sebagian besar adalah orang Inggris diajak kembali oleh Mbah Prapto untuk membangun rasa keberadaan leluhur dalam gerak hidup keseharian masa kini.
Bukan hanya bersentuhan dengan kekunoan, Mbah Prapto juga ingin mencipta kembali seni ritual di ruang dan masa kiwari. Ia tak mau terjebak pada repetisi bentuk dan atmosfer arkais seni ritual tradisi Nusantara. Di Stroud, kota kecil di barat daya Inggris yang denyut seni kontemporernya cukup kencang, lelaki gaek yang masih energik ini mengakhiri lokakarya dengan sebuah festival yang mengusung semangat ritual kontemporer. Di sana ia mementaskan Repairing not Repairing, sebuah seni ritual yang cukup jelas merefleksikan dimensi-dimensi penyembuhan dalam ruwatan, namun melalui kehadiran pecahan-pecahan cermin dan iringan gitar elektrik.
Arsitektur Gerak
Seni gerak Mbah Prapto juga memberi perhatian yang intens terhadap rumah. Selain merefleksikan kehidupan pribadinya, rumah bagi Mbah Prapto adalah muara bagi tubuh yang bergerak antara alam, masyarakat dan Tuhan. Mengunduh inspirasi dari ilmu arsitektur tradisional Bali, di mana rumah dibangun dengan spirit mengekspresikan keberadaan tubuh penghuninya, Mbah Prapto membangun konsepsi tubuh sebagai arsitektur yang bergerak. Kesadaran gerak adalah kesadaran tubuh sebagai arsitektur dalam waktu.
Dalam sesi terakhir lokakarya di Hereford, dengan tajuk Coming Home Bowing Mountain, Mbah Prapto mengajak partisipan pada kesadaran akan rumah sebagai ejawantah dari tubuh. Bertempat di Michaelchurch Court, sebuah rumah besar yang dibangun pada abad ke-16, latihan-latihan gerak diarahkan pada konsepsi arsitektur. Keberadaan gerak dibangun melalui prinsip dan filsafat arsitektur yang meruang dan mewaktu dengan mendayagunakan tubuh, cita, perasaan, niat dan benih sebagai awal mula keberadaan.
Latihan gerak Joged Amerta bukanlah diarahkan untuk menyadari gerak, sebagaimana pemahaman umumnya dalam seni pertunjukan. Bagi Mbah Prapto, keberadaan tubuh adalah keberadaan gerak, gerak yang bukan semata fisik, namun lebih pada gerak ide, gerak yang berbicara. Gerak sudah sejak mula dimiliki oleh tubuh, sehingga latihan bertujuan membangkitkannya sebagai kesadaran. Momen-momen membangkitkan inilah yang jadi salah satu kunci dalam latihan gerak Mbah Prapto.
Dalam pergaulan seni pertunjukan di Indonesia, seni gerak Mbah Prapto cenderung tidak—atau belum—diterima sebagai seni. Banyak yang kesulitan mendefinisikan tentang apa yang dilakoni lelaki kelahiran 1945 ini. Pun seorang Matthew Isaac Cohen yang menganggapnya berdiri dengan satu kaki di dunia seni dan kaki lainnya di dunia mistisisme—suatu definisi yang tak tepat betul. Di luar negeri, terutama Eropa, ilmu gerak Mbah Prapto diterima dengan baik di wilayah performance, somatic movement, seni improvisasi, dance theraphy, bahkan shamanisme. Dalam bukunya Composing while Dancing (2010), Melinda Buckwalter, seorang editor Contact Quarterly, mencatat Suprapto Suryodarmo sebagai salah satu penemu metode improvisasi gerak bersama 25 tokoh lainnya dari berbagai belahan dunia.
Inggris – Jogja, Juli – Agustus 2018
Ibed Surgana Yuga
Catatan:
Tulisan ini dimuat di Solopos, Sabtu Pon, 15 September 2018, hal. 4
Peristiwa dapur itu adalah bagian dari lokakarya (workshop) gerak yang dibimbing oleh Suprapto Suryodarmo, seorang maestro gerak dari Solo. Melalui seni gerak yang dinamainya Joged Amerta (Amerta Movement), Mbah Prapto—demikian ia kerap dipanggil—menyarankan pemaknaan akan dapur sebagai bukan cuma ruang untuk mengolah bakal isi perut. Dapur dan perut adalah ruang budaya dan ruang natural yang berelasi kuat dalam keseharian, ruang kedua dan ketiga untuk melanjutkan kehidupan setelah ruang rahim. Gerak sendiri adalah kesadaran hidup untuk mencapai nilai dan pemaknaan itu.
Mbah Prapto dalam lokakarya seni gerak Amerta Movement di Avebury, situs lingkaran batu dari masa Neolitikum, Inggris | Foto: Ibed |
Selama 35 tahun, melalui serangkaian lokakarya dan pertunjukan, Mbah Prapto telah mengelanakan seni geraknya ke Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Saya berkesempatan mengikuti perjalanan lokakarya dan pertunjukannya di empat tempat di Inggris sejak Juni hingga akhir Juli lalu. Ini merupakan bagian perjalanan Mbah Prapto ke tujuh negara Eropa selama tiga bulan. Selama 35 tahun, tubuh gerak Mbah Prapto penuh dengan jejak-jejak kelana semacam ini, dan komunitas-komunitas praktisi ilmu geraknya pun terbentuk dengan kuat di banyak tempat di dunia.
Ritual Gerak
Di Inggris, lokakarya dimulai di desa kecil Westhay yang terletak di wilayah Jurassic Coast, sebuah situs warisan dunia yang memaparkan 185 tahun sejarah geologi dari masa Triassic, Jurassic dan Cretaceous. Dengan ide mengunduh spirit gerak evolusi yang berjejak di situs Jurassic Coast, lokakarya di sini memilih tajuk The Evolution of Art Creation. Mbah Prapto dengan sadar melibatkan ide-ide besar evolusi kehidupan dalam kerja geraknya. Di sini para partisipan melatih gerak sebagai kesadaran diri yang kecil di tengah proses gerak kehidupan kosmos yang agung.
Sebagai seorang melakoni warisan spiritual dan filsafat kuno Jawa, Mbah Prapto memasuki ide-ide besar itu melalui pendekatan ritual. Seni ritual adalah obsesi besarnya dalam mengejawantahkan konsep-konsep geraknya. Baginya, ritual adalah laku gerak meditatif manusia dalam mencapai keberadaan diri sebagai organisme alamiah dan ilahiah. Mbah Prapto menemukan referensi sempurna dari perwujudan idenya ini dalam peristiwa ruwatan. Karena itu, ia sering diidentikkan sebagai dukun atau shaman.
Pendekatan melalui laku ritual semakin kental terasa di tempat kedua: Avebury, situs lingkaran batu terbesar di dunia, lahir dari masa Neolitikum sekitar 2500 SM. Pemilihan situs ini sebagai tempat lokakarya sekaligus pertunjukan merupakan representasi dari kekaguman Mbah Prapto terhadap semangat leluhur orang Inggris dalam membangun ruang ritual. Baginya, batu-batu raksasa yang disusun melingkar dengan diameter sekitar 350 meter itu merupakan ekspresi rasa ketuhanan yang agung. Para partisipan yang sebagian besar adalah orang Inggris diajak kembali oleh Mbah Prapto untuk membangun rasa keberadaan leluhur dalam gerak hidup keseharian masa kini.
Bukan hanya bersentuhan dengan kekunoan, Mbah Prapto juga ingin mencipta kembali seni ritual di ruang dan masa kiwari. Ia tak mau terjebak pada repetisi bentuk dan atmosfer arkais seni ritual tradisi Nusantara. Di Stroud, kota kecil di barat daya Inggris yang denyut seni kontemporernya cukup kencang, lelaki gaek yang masih energik ini mengakhiri lokakarya dengan sebuah festival yang mengusung semangat ritual kontemporer. Di sana ia mementaskan Repairing not Repairing, sebuah seni ritual yang cukup jelas merefleksikan dimensi-dimensi penyembuhan dalam ruwatan, namun melalui kehadiran pecahan-pecahan cermin dan iringan gitar elektrik.
Arsitektur Gerak
Seni gerak Mbah Prapto juga memberi perhatian yang intens terhadap rumah. Selain merefleksikan kehidupan pribadinya, rumah bagi Mbah Prapto adalah muara bagi tubuh yang bergerak antara alam, masyarakat dan Tuhan. Mengunduh inspirasi dari ilmu arsitektur tradisional Bali, di mana rumah dibangun dengan spirit mengekspresikan keberadaan tubuh penghuninya, Mbah Prapto membangun konsepsi tubuh sebagai arsitektur yang bergerak. Kesadaran gerak adalah kesadaran tubuh sebagai arsitektur dalam waktu.
Dalam sesi terakhir lokakarya di Hereford, dengan tajuk Coming Home Bowing Mountain, Mbah Prapto mengajak partisipan pada kesadaran akan rumah sebagai ejawantah dari tubuh. Bertempat di Michaelchurch Court, sebuah rumah besar yang dibangun pada abad ke-16, latihan-latihan gerak diarahkan pada konsepsi arsitektur. Keberadaan gerak dibangun melalui prinsip dan filsafat arsitektur yang meruang dan mewaktu dengan mendayagunakan tubuh, cita, perasaan, niat dan benih sebagai awal mula keberadaan.
Latihan gerak Joged Amerta bukanlah diarahkan untuk menyadari gerak, sebagaimana pemahaman umumnya dalam seni pertunjukan. Bagi Mbah Prapto, keberadaan tubuh adalah keberadaan gerak, gerak yang bukan semata fisik, namun lebih pada gerak ide, gerak yang berbicara. Gerak sudah sejak mula dimiliki oleh tubuh, sehingga latihan bertujuan membangkitkannya sebagai kesadaran. Momen-momen membangkitkan inilah yang jadi salah satu kunci dalam latihan gerak Mbah Prapto.
Dalam pergaulan seni pertunjukan di Indonesia, seni gerak Mbah Prapto cenderung tidak—atau belum—diterima sebagai seni. Banyak yang kesulitan mendefinisikan tentang apa yang dilakoni lelaki kelahiran 1945 ini. Pun seorang Matthew Isaac Cohen yang menganggapnya berdiri dengan satu kaki di dunia seni dan kaki lainnya di dunia mistisisme—suatu definisi yang tak tepat betul. Di luar negeri, terutama Eropa, ilmu gerak Mbah Prapto diterima dengan baik di wilayah performance, somatic movement, seni improvisasi, dance theraphy, bahkan shamanisme. Dalam bukunya Composing while Dancing (2010), Melinda Buckwalter, seorang editor Contact Quarterly, mencatat Suprapto Suryodarmo sebagai salah satu penemu metode improvisasi gerak bersama 25 tokoh lainnya dari berbagai belahan dunia.
Inggris – Jogja, Juli – Agustus 2018
Ibed Surgana Yuga
Catatan:
Tulisan ini dimuat di Solopos, Sabtu Pon, 15 September 2018, hal. 4
Wrote by admin