Teks, Teks, Teks...

Secara selera saya pribadi tidak suka dengan sebagian besar lakon karya Putu Wijaya. Ketaksukaan ini tentu saja bukan kondisi permanen, namun lebih merupakan pengaruh fase kreativitas yang berkaitan dengan suatu bentuk (selera) artistik yang sedang saya (dan Seni Teku) gumuli. Sejak awal Seni Teku memanggungkan teks-teks yang saya tulis sendiri bersamaan dengan proses latihan, teks-teks yang lahir sebagai konsensus bersama para awak artistik Seni Teku

Namun ketika Seni Teku diundang Halim HD dan Hanindawan untuk tampil di Mimbar Teater Indonesia 2010, yang akan menggelar lakon-lakon karya Putu Wijaya, kami menyanggupinya. Kesanggupan ini terutama karena kami ingin ambil bagian dalam perhelatan yang menampilkan sekitar 33 grup dan pemonolog dari kota-kota di Indonesia itu. 


Pentas Awas di Mimbar Teater Indonesia, Solo, 2010 | Foto: Dok. Seni Teku

Setelah memilah-milih lakon-lakon karya Putu Wijaya yang berjubel itu, kami menjatuhkan pilihan pada Awas, lakon yang ditulis Putu pada 1977. Konon lakon ini diakui Putu sendiri sebagai yang paling jelek di antara lakon-lakon yang pernah ditulisnya. Kami memilihnya bukan karena kami merasa nyantol dengan lakon ini, namun lebih karena kemungkinan lakon ini, secara struktur dan karakter, bisa didekati dengan metode-metode proses penciptaan yang sedang kami getoli. Dengan kata lain, saya sebagai sutradara akan merombak lakon ini untuk menjadikannya lebih dekat dengan kami, menjadikan milik kami, sebagaimana teks-teks kami sebelumnya. Dengan lugu kemudian saya mengontak Putu, meminta izin untuk merombak lakon ini. Lewat e-mail, ia marah menanggapi permintaan saya:


SALAM,
1. Kalau ingin merombak, ingin berekspresi sendiri, sebaiknya tak perlu memementaskan AWAS. Bikin saja judul baru dan biarkan AWAS sebagai pemberi inspirasi saja. Kau tidak akan kehilangan dirimu, dengan mementaskan naskah orang lain, kalau kau memang sudah mengenal dan menemukan dirimu. Naskah itu ada isi dan ada bentuk. Di Indonesia memang seringkali keduanya dilabrak, karena banyak sutradara sebenarnya ingin menciptakan isi dan bentuknya sendiri.
2.Saya baru 2 kali melihat kelompok yang mementaskan naskah saya dengan bagus. Pertama Teater Ibukota di Jakarta yang mementaskan ADUH (1974/75). Dia hanya memakai sekitar 6 pemain, tetapi struktur, pesan bahkan ruang dan kemungkinan visual di naskah itu keluar dengan bagus. (Saya memainkannya dengan 15 orang). Kemudian sebuah pertunjukan di Bandung yang juga memainkan ADUH, pemainnya perempuan semua, jumlahnya tak ada 10. Pementasannya cerdas, dinamis, atraktif, tetapi saya masih melihat Aduh saya di dalamnya.
2.Saya sangat hormat pada interpretasi, karena itu menunjukkan usaha pencarian dan penciptaan. Tetapi interpretasi sangat berbeda dengan manipulasi. Almarhum Umar Machdam dari Bogor, pernah mementaskan naskah saya yang berjudul Sandiwara. naskah itu dirombak sedemikian rupa menjadi ekspressi homo seksual. Saya sama sekali tidak merasa perlu melarang atau mengeritik, saya anggap pementasan itu adalah pementasan Umar Machdam dengan karyanya sendiri.
3.Novel TELEGRAM difilmkan oleh Slamet Raharjo. Skenario saya sudah di acc oleh produser Prancis (Telegram sudah diterjemahkan ke bahasa Prancis, itu sebabnya mereka minta SLamet memfilmkan novel itu). Tapi Henry Chamber Loir kemudian menyuruh saya membaca shooting script yang akan dipakai shooting oleh Slamet. Saya lihat jiwanya bukan lagi TELEGRAM saya tapi TELEGRAM SLamet. Lalu saya berdiskusi dengan Slamet. Akhirnya saya anjurkan pada Slamet, tidak usah mencantumkan nama saya dan menganggap itu adalah karyanya sendiri. Sampai sekarang saya tidak kepingin menonton film itu.
4.Jadi apa pun yang akan kau lakukan, saya tidak akan memberikan komentar. Tapi karena kebetulan kau beritahu, saya hanya ingin ulang yang di awal itu: kenapa tidak bikin naskah sendiri saja. Atau sebelum pementasan nanti, jelaskan kamu sebenarnya hanya memakai AWAS sebagai batu loncatan, karena sepenuhnya adalah dirimu/karyamu.
5. Saya percaya kreativitasmu.
Selamat berjuang!
pw

Namun kami tetap nekat memanggungkan Awas, yang kami rebut menjadi milik kami, tanpa konfirmasi lagi ke Putu Wijaya. Sebagai penanda, kami beri subjudul “Sapa Wani-wanine Ngising ning Kene” pada garapan kami. Yang terjadi kemudian, tentang bagaimana kami perlahan mencintai teks Awas rombakan saya, adalah sangat sederhana: witing tresna jalaran saka kulina! Sebuah metode baru bagi kami, saya rasa.

Putu datang dan menyaksikan pertunjukan kami. Setelah pertunjukan ia mendatangi kami, memberikan sedikit saran, sedikit pujian, sedikit harapan, dan sedikit klarifikasi terhadap pernyataannya di e-mail. Ia kemudian tidak mempermasalahkan apa yang kami—terutama saya—lakukan terhadap teks Awas-nya. Ia pun mengaku pernah melakukan yang serupa terhadap naskah yang ditulis oleh orang lain.

Keserempakan Teks
Dalam banyak bagian, saya melihat teks lakon Awas sangat verbal. Di samping ungkapan-ungkapannya yang heroik-bombastis, dialog-dialog yang lahir dari setiap tokoh sering sangat cerewet, menghamburkan banyak kata. Alhasil, dalam beberapa bagian, lakon ini menyentuh titik klise. Dalam pembacaan saya, bentuk dan gaya penulisan lakon ini adalah manifestasi dari suatu fase kreativitas Putu Wijaya yang merefleksikan gaya dan bentuk (selera) artistiknya dalam satu masa tertentu. Jejak dari fase ini masih bisa dibaca dalam karya-karya mutakhirnya, terutama pada cerpen.

Yang pertama sekali saya lakukan dalam merombak teks lakon ini adalah meminimalkan sebisa mungkin kecerewetan dialog-dialog tokohnya, dan dalam beberapa bagian kecil juga kecerewetan alurnya. Saya membaca, berbagai dialog yang tercipta lebih mirip dengan muntahan kata-kata yang diucapkan dalam kondisi hampir trance oleh para orator pengunjuk rasa. Prinsip saya, jika konsep tentang suatu peristiwa dapat digambarkan dengan kehadiran visual atau bunyi, mengapa mesti berkata-kata?

Prinsip tersebut rupanya dengan telak terbaca oleh Afrizal Malna. Dalam obrolan setelah pertunjukan, ia menyatakan bahwa kami adalah “generasi visual”, bukan lagi “generasi naratif” sebagaimana pendahulu kami dalam sebuah fase sejarah teater modern Indonesia. Dan barangkali masa ketika Putu menulis lakon Awas termasuk dalam fase “generasi naratif” ini. Menurut saya, Putu sendiri kemudian menjadi bagian dari “generasi visual”, setidaknya ditunjukkan oleh karya-karya mutakhir Teater Mandiri yang di antaranya mengolah berbagai citraan yang dimunculkan oleh eksplorasi media layar putih yang besar.

Berkatian dengan wacana ini, Nanang Arizona yang sering kami daulat sebagai dramaturg beberapa garapan Seni Teku kerap melontarkan satu pertanyaan yang lumayan menohok tentang pertunjukan-pertunjukan kami, “Pertunjukan kalian itu narasi atau sensasi?” Kami sering dibuat berpikir panjang oleh pertanyaan ini. Jika pertunjukan kami adalah sensasi, berarti kami menganggap narasi sebagai unsur yang tidak penting dan patut disingkirkan. Lalu jika demikian, pertunjukan kami tanpa narasi dong? Ah, tidak. Kami masih menjalankan narasi. Kami masih butuh cerita. Ya walaupun cerita itu tidak naratif dalam pengertian umum yang agak stereotip itu. Tapi, apa sih yang dimaksud dengan narasi?

Sampai saat ini saya masih memegang keyakinan bahwa pertunjukan teater dimulai dari teks. Intinya adalah teks. Dan teks tidak tunggal. Teks begitu banyak berhamburan di setiap lekuk suatu struktur yang siap menciptakan teater. Teater dimulai dari semacam keserempakan teks. Teks dari narasi (cerita atau naskah lakon), teks dari bunyi, teks dari visual, teks dari tempat pertunjukan, teks dari kedirian masing-masing awak artistik, teks dari penonton, teks dari manajemen pertunjukan, bahkan teks dari hal-hal teknis pertunjukan. Jika pertunjukan teater hanya berangkat dari teks lakon (narasi) sebagai teks tunggal, sorry itu mustahil bagi kami.


Teks Lakon, Teks Tempat Pertunjukan dan Teks-teks Lainnya
Dalam Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata (2010), Afrizal Malna mencatat, dengan menggunakan halaman terbuka sebagai tempat pertunjukan, Awas oleh Seni Teku sudah menghasilkan bahasa ruangnya sendiri. Berbagai layer yang ada pada halaman terbuka sudah bisa memberikan struktur pertunjukan. Menurutnya, kami tidak melangsungkan pembacaan dan negosiasi pada teks, namun justru pada konteks di mana teks ditempatkan. Teks ditaklukkan melalui konteks. Pertunjukan menjalankan bahasa visual terlebih dahulu, dan tidak ada pengaruh signifikan jika teks dilepaskan darinya. Saya perlu memberi catatan di sini bahwa agaknya yang disebut sebagai “teks” oleh Afrizal adalah sempit hanya pada teks lakon.
 

Jadi bagi Afrizal, pertunjukan kami bisa berjalan tanpa naskah lakon Awas. Ini mengingatkan kembali pada e-mail Putu Wijaya yang sebelumnya kami abaikan, yang menyarankan agar kami tidak usah mementaskan Awas, dan hanya menjadikannya sebagai inspirasi saja. Analisis Afrizal seakan memberikan pembenaran bahwa, dengan berbagai strategi penciptaan yang telah kami lakukan, kami tidak mementaskan lakon Awas karya Putu, melainkan memainkan struktur pertunjukan yang dilahirkan oleh pembacaan dan negosiasi terhadap konteks (sebagai teks baru yang kami ciptakan).

Salah satu hal yang disebut sebagai konteks oleh Afrizal adalah tempat pertunjukan, suatu ruang yang bagi kami bukan hanya tempat bagi kreator untuk mendedahkan teks (naskah lakon) kepada penonton, namun ia adalah teks yang lain lagi. Tempat pertunjukan adalah ruang yang berisi teks, yang tidak bisa diingkari begitu saja dengan penerapan konvensi-konvensi pemanggungan, yang tidak bisa hanya dijejali dengan teks pertunjukan yang telah dirancang sebelum memasuki ruang ini.

Seni Teku memang tengah getol mengakrabi ruang-ruang yang melingkupi peristiwa teater. Kami tengah mencoba untuk kembali kepada ruang, sang sumber teks. Namun sebagaimana teks, ruang yang melingkupi teater tidak tunggal. Selain ruang sebagai tempat pertunjukan, bisa disebutkan di sini, misalnya ruang-ruang dalam skala makro seperti ruang sosial, ruang budaya, ruang geografis, ruang ekonomi, bahkan ruang politik. Teater hidup dalam ruang di mana manusia hidup. Teater tidak bisa mengingkari ruang-ruang di mana manusia meringkukkan dirinya.

Ruang sebagai tempat pertunjukan Awas garapan kami adalah sebuah ruang terbuka yang telah terbentuk sedemikian rupa, yang secara fisik saja, ketika kami masuki, telah mengandung teks-teks yang berjalinan kuat, bahkan bisa lebih kuat dari teks pertunjukan yang telah kami rancang sebelumnya. Ada teks dari undak-undakan tanah dan beton, ada teks dari rawa-rawa berumput tinggi, ada teks dari jajaran semak-semak bambu, ada teks dari suara kendaraan yang lewat pada jalan kecil di sebelahnya, ada teks dari basah yang ditinggalkan hujan, ada teks dari licinnya tanah becek, ada teks dari ketidakmungkinan menaruh perangkat sound system di alam terbuka karena khawatir kehujanan.

Apakah teks-teks yang kompleks itu harus kami lawan? Misalnya, apakah kami harus menutup jalan kecil itu sehingga tidak ada suara kendaran yang mengganggu pertunjukan? Jika iya, mengapa teater harus melakukannya? Apakah pertunjukan teater lebih penting daripada mobilitas sosial masyarakat di sekitar tempat pertunjukan? Ah, tidak. Teater bukan konvoi mobil-mobil pejabat yang memaksa pemakai jalan umum untuk minggir.

Tidak. Kami lebih memilih untuk mengakrabi ruang-ruang itu, dengan membiarkannya berjalan sebagaimana biasa, membiarkannya membocorkan teks-teks mereka ke dalam pertunjukan kami sehingga menjadi penyumbang teks bagi bangunan besar teks pertunjukan kami. Jika kami meyakini teater sebagai suatu peristiwa langsung, kami tidak akan terganggu oleh kejadian-kejadian tak terduga yang muncul di tengah perjalanan peristiwanya.

Begitu pula dengan peran ruang-ruang lainnya. Dalam ruang manajemen produksi, misalnya, jika dana yang dikelola tidak cukup untuk membeli kain untuk properti bendera, dan lalu diganti dengan kertas yang kemudian sobek di tengah pertunjukan, bukankah manajemen produksi turut menyumbangkan teks ke dalam bangunan besar teks pertunjukan? Jika seorang fotografer di tengah-tengah pertunjukan tiba-tiba memotret dengan menggunakan lampu blitz, dan sempat menimbulkan impresi apa pun sepersekian detik dalam diri penonton atau bahkan pemain, bukankah si fotografer juga punya andil membangun teks pertunjukan?

Teks, teks, teks....

Jogja, Agustus 2011

Ibed Surgana Yuga


Catatan:

  • Pertunjukan Awas (Sapa Wani-wanine Ngising ning Kene) digelar dalam Mimbar Teater Indonesia II di ruang terbuka Teater Bong, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, 9 Oktober 2010.
  • E-mail dari Putu Wijaya dikutip sebagaimana aslinya. Kesalahan ketik dan sebagainya sengaja dipertahankan.

Share:

0 komentar