Rokok Kretek, Seniman, Indonesia

Pemerintah melalui Undang-Undang 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 telah mengganti peringatan pada produk rokok yang sebelumnya berbunyi: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin,” menjadi peringatan tulisan dan gambar tentang kanker mulut, kanker paru dan bronkitis akut, kanker tenggorokan, merokok membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Tapi, para perokok seakan tak mempan oleh peringatan—yang memang tak berakibat pidana bila dilanggar—ini. Para perokok telah memposisikan barang “sumber penyakit”—barang patologis—satu ini sebagai kenikmatan, teman, pelarian, kebutuhan, atau bahkan inspirasi. Banyak dari mereka yang tidak bisa melakukan aktivitas tanpa rokok. Bahkan, sastrawan Indonesia sekaliber Pramoedya Ananta Toer mengaku tidak bisa menulis tanpa rokok kretek. Ia lebih baik kelaparan daripada tidak menghisap kretek.
 

Memang, banyak orang (di) Indonesia telah menjadikan rokok sebagai tradisi. Ketika mulai dikenalnya rokok kretek, yang merupakan campuran tembakau dengan cengkeh, ia secara perlahan menjadi sebuah “identitas” yang khas dan unik bagi Indonesia. Karena unsur dari “identitas” itu pula bangsa Indonesia berkali-kali dijajah oleh bangsa Barat. 


Ilustrasi: Sampul novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya; Roro Mendut salah satunya dikenal sebagai perempuan penjual rokok bekas hisapannya dengan harga mahal | Foto: Ibed

Sejak dahulu, rakyat Indonesia memang memiliki keakraban dengan cengkeh, juga rokok kretek. Minyak cengkeh sering digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit. Salah satu fenomena yang menjadi “sejarah penting” tentang cengkeh adalah ketika sekitar tahun 1880, di Kudus, seorang Haji Jamhari secara tak sengaja mencampur cengkeh dalam tembakau rokoknya untuk obat asma yang telah lama dideritanya. Dan anehnya, penyakit asmanya berangsur-angsur sembuh. Maka sejak itu, rokok kretek pun dipercaya sebagai produk kesehatan yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit.

Rokok Kretek sebagai Kreativitas
Jika kita menilik dengan teliti segala sikap serta perilaku budaya tradisi kita di Indonesia, hampir tidak ada yang tidak memiliki nilai seni. Dengan kata lain, orang-orang tradisional selalu mendasarkan sikap serta tindakannya dalam menghadapi kehidupan dengan rasa estetik, baik itu dalam penyikapannya terhadap hubungan manusia dengan alam sekitar, manusia dengan manusia lainnya, maupun hubungan vertikal dengan Yang Maha Pencipta.

Manusia Indonesia tradisional adalah manusia-manusia yang tidak pernah menyerah dengan keadaan. Mengapa demikian? Tengoklah bentangan sejarah kehidupan nenek moyang kita. Bagaimana mereka berjuang menghadapi hidup yang demikian kompleks dengan berbagai macam penyikapan budaya, mencipta berbagai produk budaya untuk menghadapi segala persoalan yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kreatif yang—sekali lagi, uniknya—selalu menciptakan suatu produk budaya baru yang sarat dengan nilai estetik.

Ketika misalnya seorang Haji Jamhari mengidap penyakit asma, ia berusaha mencari berbagai macam cara untuk mengobati penyakitnya itu. Ia kemudian menemukan suatu rempah-rempah yaitu cengkeh, yang sebelumnya memang digunakan untuk obat berbagai macam penyakit. Dengan kreativitas dan sikap bereksperimen, Haji Jamhari kemudian mencoba mencampur cengkeh pada lintingan tembakau yang tiap hari ia hisap asapanya. Ternyata eksperimennya berhasil dengan baik. Dengan kata lain, kreativitasnya menemukan suatu bentuk benda yang otentik, keotentikan Haji Jamhari. Karena setiap dihisap rokok campuran itu mengeluarkan bunyi kretek-kretek, ia kemudian menamai penemuannya itu dengan nama “kretek”.

Sejalan dengan berkembangnya pemikiran manusia, berbagai perkembangan, baik fisik maupun manajemen, terus dialami oleh rokok kretek. Perkembangan yang merupakan konsekuensi dari penemuan-penemuan baru atasnya itu, menjadi fenomena yang menguatkan eksistensi rokok kretek di mata rakyat Indonesia. Salah satu penemuan baru, yang juga merupakan sebuah seni yang lumayan sulit proses pencapaiannya, adalah seni melinting rokok kretek yang disebut ting we. Daya kreasi dan kualitas penguasaan ting we menjadi sebentuk persaingan antarpedangang dalam menarik para pelanggan. Pada posisi ini rokok kretek telah menguatkan dirinya dalam mengambil bagian pada ruang daya kreasi dan ekspresi manusia yang disebut sebagai seni.

Pada sisi yang lain, rokok kretek juga digunakan oleh seniman—terutama dari seni rupa—sebagai suatu media seni yang dapat mengungkap suatu makna tertentu. Pada 28 April–9 Mei 2005, di Galeri Nadi Jakarta, perupa Agus Suwage memamerkan sebuah karya instalasi berupa ribuan puntung rokok dalam sebuah boks kaca di atas sebuah becak. Karya yang merupakan respon atas puisi serta kepenyairan Chairil Anwar itu dengan gamblang menyajikan sisi kepenyairan Chairil serta sisi kebiasaannya yang gemar merokok.

Nilai dan Pengalaman Lain di Balik Nilai Patologis Rokok Kretek
Banyak nilai yang sebenarnya dapat kita temukan di balik nilai patologis rokok (kretek) sebagai suatu sumber penyakit yang mematikan. Melalui sisi estetik yang telah dijelaskan di atas, kita dapat menggali beberapa pengalaman yang memberikan gambaran bagaimana sebenarnya posisi rokok kretek dalam kehidupan orang Indonesia—tentu saja, sekali lagi, dengan mengesampingkan nilai kebahayaan yang dibawa rokok itu.

Pengalaman yang dialami oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang telah disinggung di awal tulisan ini memberi contoh gambaran kepada kita bagaimana sebenarnya rokok kretek memegang posisi yang sangat integral dalam proses kreatif seorang Pramoedya. Ini didukung oleh pernyataannya yang mengatakan ia tidak bisa menulis tanpa menghisap asap yang keluar dari bakaran tembakau bercampur cengkeh itu. Ini dapat menganalogikan bahwa, setidaknya tanpa rokok kretek kita barangkali tidak akan bisa menikmati karya-karya sastra berkualitas tinggi hasil guratan pena seorang Pramoedya.

Contoh lain misalnya adalah seorang Chairil, yang juga tak bisa melepaskan diri dari kepulan asap rokok kretek—kita tahu foto Chairil dengan pose menarik yang tengah menghisap rokok. Seorang Chairil juga tak bisa meninggalkan rokok ketika menuliskan karya-karyanya. Karya-karya Chairil dan rokok, secara implisit, sebenarnya menemui sebuah pertautan yang kuat. Dalam puisi Aku Chairil meneriakkan sebuah cita-cita besar: aku ingin hidup seribu tahun lagi. Namun, dalam kehidupan nyatanya, dalam kehidupan fisiknya, Chairil menemui ajal dalam usia yang sangat muda, 27 tahun. Dengan kebiasaannya merokok semasa hidupnya, kita dapat menebak bahwa penyebab kematiannya, selain penyakit kelamin, adalah penyakit yang dikarenakan racun nikotin rokok. Dengan kematiannya, Chairil tidak bisa mencapai cita-cita tingginya itu, rokok menjadi salah satu penyebab ketidakbisaannya mencapai cita-cita itu. Namun, karya-karya Chairil hidup terus-menerus, bahkan mungkin bisa melebihi seribu tahun. Chairil telah mencapai cita-citanya dalam karya-karyanya itu. Chairil “hidup” seribu tahun lebih. Maka, salah satu penyebab keduanya itu—kematian serta “kehidupan seribu tahun” Chairil—adalah rokok.

Rokok Kretek dalam Konteks Budaya Indonesia
Seorang Mark Hanusz pernah menulis buku tentang rokok kretek yang berjudul Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (resensinya sempat dimuat di Kolong Budaya, Agustus–Desember 2001, ditulis oleh Wikan Satriati). Mark Hanusz (yang saya baca lewat Wikan Satriati) menceritakan asal mula ditemukannya rokok kretek, juga kaitannya dengan kekayaan rempah-rempah Indonesia, termasuk di dalamnya cengkeh, yang telah memikat para pemburunya (orang Barat) untuk menduduki negeri-negeri penghasilnya, tentu saja dengan meninggalkan petaka penjajahan yang berkepanjangan. Mark Hanusz juga menulis, betapa rokok kretek di Indonesia telah menarik dunia industri untuk mulai melirik keberadaannya. Selain itu, rokok kretek adalah suasana khas Indonesia yang bisa disetarakan dengan batik, nasi goreng, atau wayang kulit.

Dengan demikian, Mark Hanusz telah memposisikan rokok kretek sebagai suatu tradisi, sebagai suatu produk budaya yang otentik Indonesia. Kita tahu, bahwa dalam dunia perokokan ketika menyebut rokok kretek, yang terbayang adalah bangsa Indonesia. Rokok kretek memang telah menjadi identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia. Jika diungkapkan lebih ekstrem lagi, rokok kretek adalah Indonesia.

Di Indonesia sendiri kita lihat betapa rokok kretek telah mengambil cukup banyak ruang dalam kehidupan rakyat Indonesia. Ruang-ruang seperti sistem mata pencaharian, kesenian, dan tradisi kehidupan sehari-hari, telah menjadi “mitra” rokok kretek di Indonesia, dalam meraih eksistensinya. Bahkan, ketika rokok kretek menjadi kebutuhan bagi para pekerja, ia telah menjadi “bahasa” yang mampu mengadakan “dialog” dengan nurani kerja para pekerja. Rokok kretek juga merupakan salah satu benda yang dapat mempersatukan ruang-ruang sosial yang selama ini di sekat oleh berbagai hierarki golongan sosial atau stratifikasi sosial. Rokok rokok kretek merupakan salah satu produk—dari secuil produk—yang mampu menembus batas strata sosial di masyarakat. Lihat saja ketika banyak orang, mulai dari rakyat jelata sampai para pembesar negara, menghisap rokok kretek. Asapnya yang mengeluarkan aroma khas tropis Indonesia itu mengepul di pasar, pangkalan becak, alun-alun, sawah, jalanan, rumah-rumah, pertunjukan seni, bahkan hingga ke gedung-gedung kantoran para birokrat.

Nah, dengan telah ditempatinya berbagai ruang kehidupan rakyat Indonesia oleh rokok kretek, maka ia merupakan suatu bentuk sistem gagasan, tindakan, juga hasil karya manusia (Indonesia), yang di dalamnya ada suatu proses pencapaian yang cukup panjang. Dengan kata lain, rokok kretek adalah suatu wujud kebudayaan bangsa Indonesia.

Rokok Kretek dalam Konteks Sejarah dan Politik Indonesia
Seorang Haji Agus Salim, dalam sebuah perundingan dengan Belanda di Den Haag, melakukan suatu aksi “kecil” yang sangat mempermalukan pihak penjajah, dengan rokok kretek. Di ruang perundingan yang berplang “dilarang merokok” itu Haji Agus Salim malah dengan bangga—dan sekaligus getir—menghisap sebuah lintingan rokok kretek. Seorang peserta perundingan dari pihak Belanda kemudian menegurnya, serta menuduhnya tidak sopan karena telah melanggar sopan-santun. Dengan berwibawa kemudian Haji Agus Salim menanggapi teguran itu, “Tidak sadarkah Tuan-tuan, bahwa benda kecil inilah yang telah menyebabkan Tuan-tuan mengungkung rakyat Indonesia dalam penderitaan yang berkepanjangan?”

Ya, cengkeh—sebagai salah satu rempah-rempah dan bahan baku rokok kretek—adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia telah menciptakan suatu kebanggan bagi suatu bangsa yang bernama Indonesia karena telah memberikan banyak berkah dan kasiat alamiahnya, di sisi lain ia menjadi salah satu sumber penderitaan selama 300 tahun lebih bagi bangsa Indonesia.

Dalam konteks politik Indonesia, rokok kretek juga adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia telah menyumbang sekian banyak rupiah ke kantong kas negara melalui pajak-pajaknya. Bahkan sebagian besar sumber pajak Indonesia berasal dari rokok. Bayangkan, hanya dengan pelimpahan saham PT. HM. Sampoerna ke perusahaan rokok Philips Morris (pembuat rokok Marlboro di Indonesia) pada kisaran 2005, negara mendapat bagian sebesar 10%. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dibangun oleh kepulan asapnya.

Namun di sisi lain, di tengah gencarnya pemerintah memunguti serta menikmati sekian banyak pajak rokok, pemerintah gencar pula memperingatkan berbagai bahaya rokok. Pemerintah juga gencar dengan kampanye anti-rokok. Bahkan, Pemda DKI telah memberlakukan undang-undang dilarang merokok di tempat umum.

Jogja, Juni 2005 – Juli 2014


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar