Pemimpi(n)

Saya tiba-tiba tergerak untuk menulis tentang kisaran gemuruh “pesta demokrasi” pemilu di Indonesia. Latah dan gagap, barangkali. Tapi biarlah. Toh saya juga bagian dari rakyat, yang sering kali nanti hanya mendapat remah-remah pesta itu.
 

Siapa pun yang terpilih harus diterima sebagai keniscayaan bahwa dialah pilihan “rakyat”. Ya, “rakyat”! Bukan rakyat! Bukan pula Rakyat (dengan “R”)! Karena apa yang disebut “rakyat” atau “pemilih” dalam pesta ini bukanlah sesuatu yang an sich. Bukan pula rakyat sebagaimana yang dimaksud jargon vox Populi vox Dei. Ia adalah topeng yang barangkali cuma penampakan maya semata, yang di belakangnya berjubel kepentingan-kepentingan yang saling mempengaruhi, saling silang, tarik ulur, chaos. Dengan demikian “rakyat” adalah inang yang telah kehilangan keinangannya karena terkontaminasi parasit-parasit, namun masih banyak yang mengakui bahkan mengamini bahwa ia tetaplah inang, bahkan Inang. 


Ilustrasi: Sosok Oedipus sebagaimana digambarlan Jean-Auguste-Dominique Ingres | Foto:wikipedia.org

Maka ketika hari H pesta berlangsung, di mana “rakyat” akan menentukan pilihannya, termasuk menentukan untuk tidak memilih salah satu dari sekian calon, sikap “rakyat” sangat ditentukan oleh pertarungan kepentingan-kepentingan di balik dirinya. Mengingat pertarungan itu terus berlangsung, yang menang tadi bisa kalah kemudian dan begitu seterusnya, maka momenlah yang menentukan sikap “rakyat” untuk memilih dan tidak memilih yang mana. Momen itu mungkin hanya dalam hitungan menit. Di sinilah seorang calon pemimpin harus memberlakukan strategi pemengaruhan yang bisa mengena saat hari H.

“Pesta Demokrasi”, Pesta Para Pemimpi
“Pesta demokrasi”, seperti pemilihan bupati, pada dasarnya adalah suatu proses pewujudan mimpi. Mimpi untuk menjadi pemimpin dan mimpi memiliki pemimpin yang benar-benar mampu memimpin. Ini “ideal”-nya. Namun kondisi mutakhir menunjukkan “ketidakidealan”. Kita tahu ini. Namun keakutan yang sedemikian rupa dan kompleks sering mengantar kita pada ketidaksadaran akannya.

Mimpi bukan sekadar masa depan yang dibayangkan. Mimpi adalah konstruksi yang sebenarnya demikian riil jika yang memimpikan mau dengan jujur mengakuinya. Mimpi juga tidak pernah bisa jauh dari kepentingan-kepentingan, minimal kepentingan akan mimpi itu sendiri. Karena memang kepentinganlah yang menjadi salah satu syarat untuk bisa memimpikan mimpi. Mimpi juga bisa demikian terpaut dengan masa lalu dan sekarang, dan sebaliknya bisa hadir dengan hentakan keras untuk menolak hantu masa lalu, bahkan yang sekarang—di mana mimpi sedang dipijakkan.

Maka jika seorang kandidat pemimpin memimpikan kondisi saat ia menjadi pemimpin nanti, tentu saja kepentingan-kepentingan tidak bisa dilepaskan dari konstruksi mimpinya. Entah itu kepentingan dalam tataran pribadi maupun komual.

Sebuah pidato Presiden Lincoln tentang alasan mengapa Amerika Serikat harus berdiri adalah bahwa Amerika Serikat adalah sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama. Mimpi Lincoln yang berefleksi pada masa lalu ini, bahkan lebih jauh pada sejarah kemanusiaan, kemudian menjadi salah satu alasan perang melawan sejumlah kekuatan separatis di beberapa negara bagian Amerika Serikat.

Barangkali ketika itu Lincoln tidak menemukan jalan lain selain perlawanan dengan perang (kekerasan), sehingga mimpinya sebagai pemimpin yang dalam konteks ini merupakan mimpi naluri kemanusiaan komunal, harus diwujudkan dengan melancarkan kekerasan terhadap manusia lainnya. Ada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan yang lebih mulia barangkali di sini, ketika manusia harus dijejali dengan kekerasan demi kemanusiaan (yang lain).

Namun kemanusiaan adalah semacam tujuan akhir dari mimpi. Jika penggapaian mimpi harus mengorbankan beberapa sisi darinya, mimpi itu harus mewujud untuk kemanusiaan itu sendiri pada sisi lainnya yang lebih luas.

Kemenangan sebagai “Kekalahan yang Lain”
Dalam sekian panjang narasi sejarah manusia, hampir selalu ada korban untuk menggapai mimpi, sebagaimana hampir selalu ada kalah untuk mencapai menang. Dan kemenangan pun bukan akhir dari narasi, bukan the end of story. Mimpi pun bukan akhir dari tidur. Selalu ada kisah lanjutan dari kemenangan, dari mimpi yang telah digenggam, yang sering bukan menjadi kisah kemenangan terus-menerus, bukan mimpi indah yang berkepanjangan, namun semacam “titik balik” dari kemenangan atau mimpi indah itu sendiri. Ia adalah semacam “kekalahan yang lain”. Ada pula yang berupa bayang-bayang hitam masa lalu, yang sebelumnya—barangkali dalam proses pencapaian mimpi—dengan sengaja atau tidak ditenggelamkan, yang muncul kembali dengan diam-diam tapi pasti di tengah-tengah sorak-sorai kemenangan, di tengah ketenangan dan senyum manis mimpi indah.

Begitulah Oedipus, seorang tokoh dalam mitologi Yunani, ketika di tengah ketenangannya menduduki takhta Kerajaan Thebes ia menerima kenyataan bahwa ia telah membunuh ayahnya, Raja Thebes sebelumnya, dan menikahi ibunya, Jocasta, yang menjadi permaisurinya. Jika Oedipus adalah tipe pemimpin yang menafikan begitu saja masa lalunya, atau manusia yang berkhianat terhadap sejarah kemanusiaannya, maka tentu saja ia akan mungkir dari tuduhan tersebut dan melanjutkan pendudukan terhadap takhtanya. Mungkin ia akan menolak ramalan nasibnya, takdir yang telah ditetapkan dewa semenjak kelahirannya, dan mencari apologi serta berbagai pembenaran yang kemudian dimahfumkan kepada rakyatnya, sehingga ia dapat dengan leluasa lagi memerintah Thebes tanpa ancaman dari mana pun, bahkan dari para dewa.

Tapi Oedipus tidak memilih itu. Ia memilih mencungkil kedua bola matanya. Turun takhta. Lalu mengasingkan diri bersama kebutaannya di Kolonus hingga wafat.


Ibed Surgana Yuga

Share:

0 komentar