Tradisi Kontemporer


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Kini saatnya Bali meng-cancel
pendikotomian tradisi dengan modern.

 
INI adalah wacana yang terlalu sering diulang. Tentang tradisi di masa mutakhir. Dan tulisan ini mengulangnya lagi. Tapi bagi saya tak mengapa. Wacana semacam ini memang memerlukan pengulangan demi pengulangan. Per-ingat-an demi per-ingat-an. Sebagaimana sebuah tradisi yang adalah bentukan dari pengulangan yang terus-menerus, hingga mendapat pengakuan secara komunal, mapan dan memiliki pakemnya tersendiri. Mudah-mudahan sebagaimana tradisi pula, pengulangan demi pengulangan wacana semacam ini menjadi terbiasa, lalu “dilupakan”, karena tanpa disadari telah dijalani.

Walaupun tradisi adalah masalah pelakonan, bukan wacana yang diverbalkan, namun bukan salah jika tradisi diterjemahkan ke dalam bahasa verbal. Sering kali para pelakon tradisi gagap dalam menjelaskan tradisinya, misal kepada generasi selanjutnya dari tradisi tersebut. Ini dapat dipahami sebab pelakonan adalah cara paling jitu dalam proses regenerasi tradisi.


Contoh kasus di atas saya temui ketika seorang gadis kelahiran Denpasar bercerita pada saya tentang orangtuanya yang tidak bisa menjelaskan apa makna dari banten yang dibuat dan di-atur-kannya saban hari. Barangkali karena pengaruh pendidikan yang selalu menuntut kejelasan (verbal!) tentang sesuatu, si gadis ingin tahu seperti apa tradisi yang akan diwariskan padanya. Sebelum memutuskan diri untuk menceburkan diri dalam tradisi itu, barangkali ia menanam kecurigaan jangan-jangan itu adalah tradisi yang keliru.

Apa yang dialami gadis itu bukan sesuatu yang aneh dalam konteks tradisi Bali di masa mutakhir. Sejarah telah membeberkan bukti bahwa tradisi Bali mencapai maknanya dalam pelakonan, bukan pemverbalan, sehingga sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan diri secara verbal. Pernyataan ini bukan menampik kenyataan bahwa sebagian dari tradisi Bali adalah tradisi lisan yang sangat dekat dengan verbalitas. Namun verbalitas dalam tradisi lisan merupakan bagian dari pelakonan, bukan verbalitas dalam hal menerjemahkan atau mewacanakan perihal tradisi itu sendiri.

Sistem transmisi tradisi kepada generasi selanjutnya dengan cara pelakonan akan mengantarkan generasi baru itu pada pemahaman demi pemahaman secara otomatis. Dengan kata lain, pelakonan akan dengan sendirinya memberikan penjelasan, menerjemahkan, memverbalkan tradisi itu sendiri kepada generasi baru.

Meng-“cancel” Tradisi vs Modern
Masalah yang selama ini disebut sebagai pelestarian tradisi atau pewarisan tradisi yang sering mengkhawatirkan banyak pihak sebenarnya adalah masalah yang di atas disebut sebagai transmisi tradisi. Dalam konteks mutakhir, ketika masalah transmisi tradisi ini megalami ketersendatan, walaupun di sisi lain generasi demi generasi baru terus lahir, maka sering kali modernitaslah yang dituduh sebagai biang keladi dari terganggunya proses transmisi tersebut. Tidak terkecuali di Bali. Berbagai konflik dan polemik yang terjadi dan berkatian dengan tradisi juga selalu memunculkan pemikiran yang mengkonfrontasikan tradisi dengan modern. Hal ini kemudian menimbulkan sikap yang mendikotomikan tradisi dengan modern. Keduanya ditaruh pada dua kutub yang berbeda dan berlawanan.

Pemikiran semacam itu mesti ditinjau ulang. Walaupun ada kebenaran semacam itu, namun perlu dilihat dulu lebih jauh ke belakang, di mana modernitas belum terlalu kuat mempengaruhi kehidupan Bali. Dari cara penilikan seperti ini akan terlihat bahwa sebenarnya, tanpa dikonfrontasikan dengan modernitas sekalipun, tradisi telah melahirkan berbagai konflik dan polemik yang serupa. Tradisi memiliki potensi konflik dan mampu meledakkan konflik itu tanpa adanya gesekan elemen di luar tradisi itu sendiri.

Kini saatnya Bali untuk sejenak meng-cancel pendikotomian tradisi dengan modern. Tradisi mesti mutakhir mesti dilihat sebagai sebuah kebudayaan kontemporer yang menghidupi dan dihidupi oleh manusia Bali mutakhir. Dengan kata lain, segala elemen yang selama ini diklaim sebagai pengaruh luar mesti dipandang sebagai bagian dari tradisi itu sendiri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memposisikan “pengaruh luar” itu sebagai bagian dari laju proses pembentukan tradisi Bali. Saatnya mereka diposisikan bukan sebagai “orang luar” atau malah foreigner yang mesti selalu dicurigai atau dikonfrontasikan dengan pribumi.

Tradisi yang Selalu Baru
Di Bali saat ini memang tengah berlangsung gejala fundamentalisme yang cenderung kolot. Sering kali gejala ini muncul tanpa dasar yang jelas dan terlihat tidak memiliki sikap yang reflektif terhadap sejarah. Misalnya, melihat kecenderungan perkembangan pakaian sembahyang ke pura yang mengalami banyak modifikasi sesuai dengan perkembangan mode global, ada beberapa pihak yang menyarankan agar pakaian yang telah dimodifikasi itu jangan dipakai untuk ke pura. Manusia Hindu Bali agar kembali pada pakaian ke pura yang “semula”, yang belum termodifikasi.

Pakaian ke pura macam apa yang dimaksud sebagai “yang belum termodifikasi”? Apakah pakaian ke pura semacam ini pernah ada?

Saran seperti di atas merupakan proyeksi dari sebuah pandangan yang tidak reflektif pada sejarah masa lalu pembentukan tradisi Bali. Ini menunjukkan bahwa Bali seakan menampik segala macam pengaruh budaya, dan dengan sombong berikrar bahwa tradisi Bali adalah suatu bentuk kebudayaan yang asli, tanpa polesan dari kebudayaan lain mana pun.

Sejarah telah menunjukkan bahwa Bali merupakan sulaman dari benang-benang budaya yang multikultural. Yang nyata saja bisa kita lihat di dalamnya terdapat benang-benang dari Cina, India, bahkan Timur Tengah. Dan sekarang adalah Barat (modern). Jika kita sepakat bahwa tradisi Bali adalah kebudayaan Bali sebelum mendapat pengaruh modern, maka menolak pengaruh modern sebagai elemen pembentuk dalam proses pertumbuhan tradisi Bali adalah mementahkan kesepakatan itu sendiri. Maka Bali tumbuh dari kemunafikan demi kemunafikan.

Orang yang berpandangan demikian seakan tidak bisa menerima keniscayaan zaman yang mengatakan bahwa tidak ada tradisi yang tidak berubah. Tradisi itu selalu diperbaharui, sebab sebuah tradisi yang unggul adalah tradisi yang mampu mengaktualisasikan kehidupan manusia-manusianya di tengah pergerakan zaman. Tradisi adalah sesuatu yang selalu kontemporer. 


Jogja, Januari 2009

Share:

1 komentar