tag:blogger.com,1999:blog-86458550717372668642024-03-06T06:44:52.824+08:00KalalakonCatatan-catatan Ibed Surgana YugaUnknownnoreply@blogger.comBlogger49125tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-35616780982853946902018-09-11T19:06:00.000+08:002018-09-15T22:49:15.877+08:00Suprapto Suryodarmo: Lelaki Bertubuh Gerak<span style="font-family: inherit;">Pada sebuah dapur di pinggiran pantai sisi barat Dorset, Inggris, seorang maestro gerak, biksu, terapis tari, desainer taman dan konsultan lembaga menggerakkan tubuh mereka dengan kesadaran dan intensitas tinggi. Di antara meja makan, perkakas dapur dan aneka makanan, gerak mereka sublim mencipta ritus. Mereka tengah mencoba untuk menciduk makna dapur sebagai jalan menuju nilai dan makna hadirnya kekuatan ketuhanan di dunia keseharian manusia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Peristiwa dapur itu adalah bagian dari lokakarya (<i>workshop</i>) gerak yang dibimbing oleh Suprapto Suryodarmo, seorang maestro gerak dari Solo. Melalui seni gerak yang dinamainya Joged Amerta (Amerta Movement), Mbah Prapto—demikian ia kerap dipanggil—menyarankan pemaknaan akan dapur sebagai bukan cuma ruang untuk mengolah bakal isi perut. Dapur dan perut adalah ruang budaya dan ruang natural yang berelasi kuat dalam keseharian, ruang kedua dan ketiga untuk melanjutkan kehidupan setelah ruang rahim. Gerak sendiri adalah kesadaran hidup untuk mencapai nilai dan pemaknaan itu. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY0QkdJPMRovjc6KUh7W031M8bCYNRIEi3h0TTdm1nQloDHmgn3W81BiqdrhzSymrUT5Dp6LOLNNQhhfDLNg2Z-TMZsRJsIzoTdRJPRfMNmdmJhQBmss0ffbgpsCg0JSPEGkw0jthcD8Ga/s1600/DSC04002+png.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="525" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY0QkdJPMRovjc6KUh7W031M8bCYNRIEi3h0TTdm1nQloDHmgn3W81BiqdrhzSymrUT5Dp6LOLNNQhhfDLNg2Z-TMZsRJsIzoTdRJPRfMNmdmJhQBmss0ffbgpsCg0JSPEGkw0jthcD8Ga/s1600/DSC04002+png.png" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Mbah Prapto dalam lokakarya seni gerak Amerta Movement di Avebury, situs lingkaran batu dari masa Neolitikum, Inggris | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Selama 35 tahun, melalui serangkaian lokakarya dan pertunjukan, Mbah Prapto telah mengelanakan seni geraknya ke Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Saya berkesempatan mengikuti perjalanan lokakarya dan pertunjukannya di empat tempat di Inggris sejak Juni hingga akhir Juli lalu. Ini merupakan bagian perjalanan Mbah Prapto ke tujuh negara Eropa selama tiga bulan. Selama 35 tahun, tubuh gerak Mbah Prapto penuh dengan jejak-jejak kelana semacam ini, dan komunitas-komunitas praktisi ilmu geraknya pun terbentuk dengan kuat di banyak tempat di dunia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Ritual Gerak </b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Di Inggris, lokakarya dimulai di desa kecil Westhay yang terletak di wilayah Jurassic Coast, sebuah situs warisan dunia yang memaparkan 185 tahun sejarah geologi dari masa Triassic, Jurassic dan Cretaceous. Dengan ide mengunduh spirit gerak evolusi yang berjejak di situs Jurassic Coast, lokakarya di sini memilih tajuk The Evolution of Art Creation. Mbah Prapto dengan sadar melibatkan ide-ide besar evolusi kehidupan dalam kerja geraknya. Di sini para partisipan melatih gerak sebagai kesadaran diri yang kecil di tengah proses gerak kehidupan kosmos yang agung. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Sebagai seorang melakoni warisan spiritual dan filsafat kuno Jawa, Mbah Prapto memasuki ide-ide besar itu melalui pendekatan ritual. Seni ritual adalah obsesi besarnya dalam mengejawantahkan konsep-konsep geraknya. Baginya, ritual adalah laku gerak meditatif manusia dalam mencapai keberadaan diri sebagai organisme alamiah dan ilahiah. Mbah Prapto menemukan referensi sempurna dari perwujudan idenya ini dalam peristiwa ruwatan. Karena itu, ia sering diidentikkan sebagai dukun atau shaman. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Pendekatan melalui laku ritual semakin kental terasa di tempat kedua: Avebury, situs lingkaran batu terbesar di dunia, lahir dari masa Neolitikum sekitar 2500 SM. Pemilihan situs ini sebagai tempat lokakarya sekaligus pertunjukan merupakan representasi dari kekaguman Mbah Prapto terhadap semangat leluhur orang Inggris dalam membangun ruang ritual. Baginya, batu-batu raksasa yang disusun melingkar dengan diameter sekitar 350 meter itu merupakan ekspresi rasa ketuhanan yang agung. Para partisipan yang sebagian besar adalah orang Inggris diajak kembali oleh Mbah Prapto untuk membangun rasa keberadaan leluhur dalam gerak hidup keseharian masa kini. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Bukan hanya bersentuhan dengan kekunoan, Mbah Prapto juga ingin mencipta kembali seni ritual di ruang dan masa kiwari. Ia tak mau terjebak pada repetisi bentuk dan atmosfer arkais seni ritual tradisi Nusantara. Di Stroud, kota kecil di barat daya Inggris yang denyut seni kontemporernya cukup kencang, lelaki gaek yang masih energik ini mengakhiri lokakarya dengan sebuah festival yang mengusung semangat ritual kontemporer. Di sana ia mementaskan <i>Repairing not Repairing</i>, sebuah seni ritual yang cukup jelas merefleksikan dimensi-dimensi penyembuhan dalam ruwatan, namun melalui kehadiran pecahan-pecahan cermin dan iringan gitar elektrik. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Arsitektur Gerak </b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Seni gerak Mbah Prapto juga memberi perhatian yang intens terhadap rumah. Selain merefleksikan kehidupan pribadinya, rumah bagi Mbah Prapto adalah muara bagi tubuh yang bergerak antara alam, masyarakat dan Tuhan. Mengunduh inspirasi dari ilmu arsitektur tradisional Bali, di mana rumah dibangun dengan spirit mengekspresikan keberadaan tubuh penghuninya, Mbah Prapto membangun konsepsi tubuh sebagai arsitektur yang bergerak. Kesadaran gerak adalah kesadaran tubuh sebagai arsitektur dalam waktu. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dalam sesi terakhir lokakarya di Hereford, dengan tajuk Coming Home Bowing Mountain, Mbah Prapto mengajak partisipan pada kesadaran akan rumah sebagai ejawantah dari tubuh. Bertempat di Michaelchurch Court, sebuah rumah besar yang dibangun pada abad ke-16, latihan-latihan gerak diarahkan pada konsepsi arsitektur. Keberadaan gerak dibangun melalui prinsip dan filsafat arsitektur yang meruang dan mewaktu dengan mendayagunakan tubuh, cita, perasaan, niat dan benih sebagai awal mula keberadaan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Latihan gerak Joged Amerta bukanlah diarahkan untuk menyadari gerak, sebagaimana pemahaman umumnya dalam seni pertunjukan. Bagi Mbah Prapto, keberadaan tubuh adalah keberadaan gerak, gerak yang bukan semata fisik, namun lebih pada gerak ide, gerak yang berbicara. Gerak sudah sejak mula dimiliki oleh tubuh, sehingga latihan bertujuan membangkitkannya sebagai kesadaran. Momen-momen membangkitkan inilah yang jadi salah satu kunci dalam latihan gerak Mbah Prapto. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dalam pergaulan seni pertunjukan di Indonesia, seni gerak Mbah Prapto cenderung tidak—atau belum—diterima sebagai seni. Banyak yang kesulitan mendefinisikan tentang apa yang dilakoni lelaki kelahiran 1945 ini. Pun seorang Matthew Isaac Cohen yang menganggapnya berdiri dengan satu kaki di dunia seni dan kaki lainnya di dunia mistisisme—suatu definisi yang tak tepat betul. Di luar negeri, terutama Eropa, ilmu gerak Mbah Prapto diterima dengan baik di wilayah <i>performance</i>, <i>somatic movement</i>, seni improvisasi, <i>dance theraphy</i>, bahkan <i>shamanisme</i>. Dalam bukunya <i>Composing while Dancing</i> (2010), Melinda Buckwalter, seorang editor <i>Contact Quarterly</i>, mencatat Suprapto Suryodarmo sebagai salah satu penemu metode improvisasi gerak bersama 25 tokoh lainnya dari berbagai belahan dunia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>Inggris – Jogja, Juli – Agustus 2018</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i><b><br /></b></i></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Ibed Surgana Yuga </b></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: inherit;"><i><b>Catatan: </b></i></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Tulisan ini dimuat di <i>Solopos</i>, Sabtu Pon, 15 September 2018, hal. 4</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-60259168773749182102017-03-24T15:25:00.000+08:002017-03-25T00:52:22.708+08:00Merayakan Nyepi di Google<span style="font-family: inherit;">Mari merayakan dan memaknai Nyepi di Google, rumah bagi banyak orang, rumah kita yang baru. Google adalah ranah di mana segala narasi hidup kontemporer kita muarakan, tempat segala ketidaktahukan kita tanyakan, kita kembalikan, kita awalkan. Mesti diakui, Google telah bergerak menjadi “<i>kawitan</i>” baru bagi kita.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Mari kita mulai merayakan dan memaknai Nyepi di Google ini dengan memasukkan kata kunci “sejarah nyepi” di kotak persegi panjang yang kosong dan ajaib itu. <i>Enter</i>, lalu buka salah satu hasil penelusuran, kita akan menemukan narasi ini: Konflik antarsuku yang berkepanjangan di India, perebutan kuasa, terbentuknya kelompok-kelompok kepercayaan keagamaan yang berbeda, krisis sosial yang mengguncang. Lalu semua diakhiri oleh kemenangan Suku Saka, di bawah kuasa Raja Kaniskha I, yang dinobatkan pada <i>pinanggal kapisan</i> Caitramasa 1 Saka (tahun 78 M). Kuasa Raja Kaniskha I membawa sebuah tatanan baru ke arah kebersamaan, kedamaian, toleransi, kerukunan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUMbQL0FqASrFv8vh2e29fMQ1cEXgQKRRvMZS0NZAqWaKwySlw6Og_VlRBT8gKzOeBFTA1qqvlSc0iq9EQhY7kg_2Hakq-yCtHfHMtRqGZILgEiX14Dkj3N9vskM5qggbqujMHNt9eTMz6/s1600/nyepi+di+google+shadow.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUMbQL0FqASrFv8vh2e29fMQ1cEXgQKRRvMZS0NZAqWaKwySlw6Og_VlRBT8gKzOeBFTA1qqvlSc0iq9EQhY7kg_2Hakq-yCtHfHMtRqGZILgEiX14Dkj3N9vskM5qggbqujMHNt9eTMz6/s1600/nyepi+di+google+shadow.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: google.com</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Jika narasi di atas benar adanya, maka selain sebuah monumen kebangkitan ke arah tatanan baru yang damai, Nyepi sebagai perayaan tahun baru Saka adalah juga prasasti bagi sebentuk kekuasaan baru. Ia yang kita rayakan sebagai momen untuk <i>mulat sarira</i>, punya dimensi perebutan hegemoni di belakangnya. Ia yang kita maknai filsafat, memiliki jejak politik. Saya teringat sebuah pemeo yang entah kapan dan di mana saya pernah membacanya: “Bahkan bertapa sendiri di hutan rimba pun, manusia tidak bisa bebas dari politik.”</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Membaca narasi tentang asal usul penanggalan Saka di atas, saya teringat sejarah Pura Samuan Tiga. Ada keserupaan narasi antara keduanya. Pura yang terletak di wilayah yang diduga sebagai pusat pemerintahan Bali Kuna ini adalah sebuah situs musyawarah, di mana konsepsi Tri Murti di Bali bertonggak. Inilah situs dialog antar-yang-berbeda, namun bukan medan perang seperti yang melatarbelakangi tatanan baru yang dikomandoi Kaniskha I. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>Pasamuan agung</i> yang dipimpin Mpu Kuturan di Pura Samuan Tiga dilatarbelakangi oleh riak-riak konflik antarsekte—yang jumlahnya dianggap terlalu banyak—di Bali ketika itu. Musyawarah besar ini kemudian melahirkan konsepsi anyar, semacam orde baru, yang kita gunakan hingga kini di Bali: Kahyangan Tiga. Tatanan baru ini artinya meleburkan seluruh sekte, dan mengarahkannya untuk mengutamakan tiga dewa. Ada narasi penyeragaman di sini. Ada pemerian tentang penyamaan, bukan memelihara yang berbeda. Dengan bahasa yang lebih diplomatis: yang dipilih untuk meredam ledakan konflik antarsekte adalah pengerucutan dari banyak sekte (artinya, masing-masing memuja dewa utama) menjadi aliran tunggal dengan tiga dewa utama. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Untuk menuju tatanan damai, tentu rapat besar di Pura Samuan Tiga tidak lepas dari narasi kuasa politis. Penyeragaman adalah sebuah strategi politis. Konon ketika itu pemegang kendali Bali adalah Gunapriyadharmapatni dan Udayana, yang mengangkat Mpu Kuturan sebagai senapati sekaligus ketua dewan penasihat kerajaan yang membawahkan para senapati dan pendeta istana lainnya. Konon pula sebelumnya, ketika masih di Jawa, Mpu Kuturan adalah seorang kepala pemerintahan di Girah. Dalam tubuh Mpu Kuturan bukan hanya ada kualitas <i>kapandhitan</i>, namun juga dimensi seorang politikus. Bahkan seorang politikus ulung, sebab dialah arsitek musyawarah agung itu. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Aji Saka</b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Kembali ke “sejarah nyepi” menurut Google. Setelah narasi tentang Kaniskha I, Google memberikan kita saran sosok yang berkali-kali disebut: Aji Saka. Konon, ia adalah seorang <i>pandhita </i>yang tiba di Jawa pada tahun 456 M untuk menyosialisasikan sistem kalender Saka, termasuk perayaan pergantian tahunnya, yang kini kita kenal sebagai Nyepi. Jika mengikuti angka tahun kisah ini, maka umat Hindu di Jawa baru mulai mengetahui penanggalan Saka saat sistem itu sendiri telah berumur 378 tahun. Pada sosok Aji Saka ini, kita menemukan jembatan antara peradaban sistem waktu nun jauh di India dengan yang kita pakai hingga saat ini di Bali. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Siapa sih Aji Saka ini? Tampaknya, dialah pahlawan utama yang membuat kita bisa merayakan Nyepi hingga hari ini di Bali. Mari kita masukkan <i>keyword </i>“aji saka” ke dalam kotak ajaib Google. <i>Enter</i>, buka hasil teratas, kita diberi pemerian tafsiran ini: Aji Saka berasal dari Jambudwipa (India), seorang keturunan Suku Saka. Ia jadi simbol kedatangan <i>dharma </i>(ajaran Hindu dan Budha) ke Tanah Jawa, dan karena namanya Saka (bahasa Jawa: pangkal), ia ditafsir sebagai tonggak peradaban dan tatanan baru di Tanah Jawa yang sebelumnya dikuasai raja raksasa yang zalim. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Pada sosok Aji Saka, kita bertemu lagi dengan narasi tentang tatanan anyar, ketenteraman baru, peradaban mulia, paralel dengan narasi tentang Raja Kaniskha I dan Mpu Kuturan. Dan Aji Saka juga tak lepas dari dimensi politik. Setelah mengalahkan Dewata Cengkar, sang raja raksasa zalim, ia kemudian mengambil alih tampuk kuasa atas Tanah Jawa (Medang Kemulan). Kuasa mesti diraih untuk menyebarkan suatu tatanan baru. Kekuasaan baru hampir selalu identik dengan tatanan baru. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Yang menarik, Aji Saka juga dianggap sebagai asal-muasal carakan, sistem aksara yang dipakai hingga kini di Jawa, Sunda dan Bali. Aji Saka, sebagai tonggak peradaban, membawa aksara sebagai simbol peradaban. Dari sini kita menemukan simpul pemaknaan sastra sebagai sebagai simbol luhur dan <i>core </i>dari suatu peradaban. Konon, carakan adalah prasasti yang ditulis Aji Saka untuk menghormati kesetiaan dua abdinya yang gugur karena pertarungan keduanya, yang konfliknya berpangkal pada kesalahpahaman atas tugas yang diberikan Aji Saka sendiri terhadap keduanya. Tonggak aksara, sastra, sebagai pangkal peradaban, di sini dinarasikan sebagai sebuah penghormatan, pemuliaan. Namun kita tahu, ketika sastra masuk ranah politik, ia menjadi silat lidah, lidah yang lebih tajam dari silet. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Prasasti yang ditulisnya itu berbunyi: <i>ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga</i>. Inilah carakan atau 20 aksara Jawa, yang jika diuntai akan menjadi kalimat, “<i>Hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga</i>.” Artinya, “Ada (dua) utusan (yang) punya perselisihan, sama-sama tangguh, (dan) inilah mayat (mereka).” Anehnya, di Bali kini kita hanya mengenal carakan yang berjumlah 18. Aksara <i>dha </i>dan <i>tha </i>tidak ada dalam carakan Bali (namun masuk dalam kategori khusus). Saya sering berseloroh tentang hal ini: mungkin keduanya tenggelam di Selat Bali saat diangkut dari Jawa. Pada dasarnya yang terjadi adalah bahwa, tidak sebagaimana bahasa Jawa, bahasa Bali tidak membedakan ucapan antara <i>da </i>dan <i>dha</i>, serta <i>ta </i>dan <i>tha</i>. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Aji Saka, Syaikh Subakir dan Nabi Ishaq</b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Mari lihat-lihat lagi penelusuran Google tentang Aji Saka. Ada nama Jaka Linglung di sana, varian lain dari legenda Aji Saka di Jawa. Abaikan hasil penelusuran Aji Saka sebagai nama kereta kelas ekonomi. Yang menarik bagi saya, Google menyajikan hubungan Aji Saka dengan Syaikh Subakir dan Nabi Ishaq. Ini tiba-tiba saja mengingatkan saya pada narasi tentang Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Lalu memori saya terbawa kepada narasi protes terhadap sinetron <i>Angling Dharma</i> pada 2002 dan 2011. Memang, rumah Google yang penuh <i>hyperlink </i>itu bisa menyinggahkan memori kita ke mana-mana. Tinggal <i>click </i>saja, maka kita bisa keluyuran. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Oke, mari <i>click </i>satu tautan tentang Aji Saka dan Syaikh Subakir. Narasi yang kita temukan adalah pemerian tentang nama Aji Saka yang tidak lain adalah gelar dari Syaikh Subakir, spesialis ekologi Islam kelahiran Persia yang dulu berdakwah di sekitar Magelang. Lalu tentang hubungan Aji Saka dengan Nabi Ishaq, narasi yang disajikan Google menguraikan tentang Aji Saka yang ditafsirkan sebagai Haji Saka, yang merupakan keturunan Nabi Ishaq. Saya tidak paham dan tak punya pengetahuan tentang narasi-narasi ini, dan terlalu sensitif jika dibahas berpanjang-panjang. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Namun saya membaca Jawa sebagai ranah yang menarik justru karena banyaknya narasi yang tumpang tindih semacam itu. Narasi-narasi seperti di atas hampir lumrah di Jawa. Tentang asal usul wayang Jawa, misalnya, Sunan Kalijaga yang dipercaya sebagai pembaharu wayang Jawa diceritakan sebagai pangkal penafsiran Kalimasada (pusaka sakti yang dipegang Yudistira) sebagai “kalimat Syahadat”. Kisah pertemuan Yudistira dengan Sunan Kalijaga termaktub dalam Serat Centhini, di mana Yudistira menjelang ajalnya menyerahkan Kalimasada kepada Sunan Kalijaga, dan sang sunan lalu memakamkan jenazah Yudistira secara Islam. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya membaca narasi-narasi yang demikian paralel dengan narasi tentang kedatangan suatu tatanan baru, peradaban baru, yang niscaya membawa (atau dibawa oleh) kekuasaan baru, kekuatan politik baru. Kuasa baru selalu mencoba membuat narasi-narasi agung untuk ditanamkan kepada rakyat, atau merebut narasi-narasi yang telah tertanam mendalam di benak rakyat dan kemudian mengkonstruksinya sebagai bagian integral dari tatanan baru yang dibawanya. Kita mesti menyadari bahwa dengan cara-cara demikianlah dinamika sejarah peradaban kita di bumi ini berjalan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Nyepi di Bali</b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Oke, lewat Google saya jadi keluyuran dan melantur ke mana-mana. Kepala saya terlalu disetir oleh silang sengkarut <i>hyperlink</i>. Saya ingin mengakhirinya. Saya kosongkan kotak ajaib Google, lalu ingin kembali ke topik Nyepi dengan memasukkan kata kunci “nyepi di bali”. Wow! Saya menemukan hasil fantastis: berbagai tawaran paket wisata di hotel-hotel saat Nyepi di Bali! Rupanya hasil saya mengulik sisi politis yang melekat pada sejarah Nyepi kalah pamor dibanding narasi tentang dimensi ekonomis di balik Nyepi bagi para penguasa kapital! <i>So</i>, mari merayakan (wisata) Nyepi di Bali....</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Oke, Google, <i>tunjukin </i>promosi paket wisata Nyepi murah di Bali....</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>Jeblog, Maret 2017 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Ibed Surgana Yuga </b></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-44110914079719422822017-02-06T19:41:00.000+08:002017-02-07T01:02:32.681+08:00Tan, Pram, Upin, Ipin<span style="font-family: inherit;">Chinatown Night Market di Petaling Street beringsut tutup. Tinggal beberapa pedagang yang masih enggan membereskan dagangannya, barangkali berharap ada pembeli yang datang kemalaman seperti saya. Dari seorang pedagang Bangladesh, saya membeli dua kaos oblong anak-anak. Seorang teman keturunan China membantu tawar-menawar. Jurusnya agak klasik, tapi masih manjur: ia cerita pada si pedagang bahwa ia pernah ke Bangladesh, sambil menyebut beberapa daerah di Bangladesh. Lumayan, ceritanya membuat wajah si pedagang sedikit sumringah, emosi primordialnya mendadak menyemai rasa persahabatan, lalu masing-masing kaos terdiskon 2,5 ringgit. Ini kaos tipikal suvenir dunia perlancongan, oleh-oleh untuk keponakan saya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">“<i>Ni kaos beli ka Kuala Lumpo</i>,” canda saya pada keponakan saya saat memberikannya. Ia baru beranjak ke empat tahun. Belum sekolah. Orangtua dan kakek-neneknya mengajarinya bahasa Bali halus. Dari teman sepermainannya, ia mengetahui bahasa Bali kasar. Sedang dari Upin dan Ipin, ia belajar bahasa Malaysia. Belum ada yang mengajarinya bahasa Indonesia. “Mudah-mudahan ia tak bercita-cita jadi TKI,” seloroh saya.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwAS2UjDwbv_hvdzvpHH97IXX4p4jgapVOKwJ0uTeTgiHkEoorOSa8ObCTU5YEFPXE_43Usu2iW_4IoDS8T934D1afZT2JfLfDNxETfKSeFbP398QriLReg4naAEm5LwqD1Y67SjU1B0ah/s1600/DSCN1440+fggg+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwAS2UjDwbv_hvdzvpHH97IXX4p4jgapVOKwJ0uTeTgiHkEoorOSa8ObCTU5YEFPXE_43Usu2iW_4IoDS8T934D1afZT2JfLfDNxETfKSeFbP398QriLReg4naAEm5LwqD1Y67SjU1B0ah/s1600/DSCN1440+fggg+copy.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Subuh</i>, kumpulan tiga cerpen Pramoedya yang diterbitkan Wira Karya, Selangor, 1994 | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya gembira dengan pilihan orangtua dan kakek-neneknya mengajarkan bahasa Bali halus. Bahasa lumrah atau kasar akan dipelajarinya secara sosial lewat kawan-kawannya. Dan bahasa Indonesia akan ia peroleh di dunia sekolah. Dulu, kakek-neneknya belajar bahasa Bali halus dari sekolah. Kini bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Bahasa Bali (halus) seakan kehilangan konteksnya dengan kian memudarnya feodalisme pergaulan sosial. Orang Bali kian menampakkan kegagalannya mengontekstualisasikan bahasa Bali (halus) dalam dunia sekuler. Pada keponakan, saya punya harapan akan perbendaharaan bahasa yang beragam. Kekayaan idiom bahasa adalah modal budaya yang baik untuknya ke depan. Kepicikan sering muncul dari pengetahuan idiom dan praktik budaya yang tunggal. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Jika demikian, mestinya saya juga senang ketika keponakan saya mulai fasih mengucapkan “<i>banyaknye</i>” atau “<i>tak pun</i>” yang ia tirukan dari kawan idolanya yang berasal dari pedesaan Malaysia sana: Upin dan Ipin. Setelah ruang belajar bahasa Bali (halus)-nya di sekolah direbut oleh bahasa Indonesia di zaman bapaknya, kini dengan gembira ia membagi daya belajar bahasa di otaknya dengan bahasa Malaysia. Indonesia dan Malaysia sama-sama mengolonisasi ruang ungkap bahasa verbalnya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tentu sebagai anak kecil keponakan saya akan segera tak berkawan lagi dengan Upin dan Ipin. Dan kolonisasi bahasa Malaysia berakhir, walau saya tak tahu mungkin akan tersisa di bawah sadarnya. Namun, dalam kasus ini saya menganggap hebat industri film Malaysia yang berhasil mencokolkan Upin dan Ipin demikian lama di layar kaca Indonesia. Kedua sosok gundul mungil ini serupa tuyul yang lihai dan leluasa memasuki ruang paling privat anak-anak Indonesia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Untung saja dua “tuyul” ini tak berbuat onar dalam kamar imajinasi dan didaktik anak-anak. Film serial animasi ini relatif ideal untuk dunia anak: disukai dan mendidik. Yang diobrak-abriknya justru dunia film anak Indonesia, yang—setelah ditinggalkan si Unyil—gagal melahirkan sosok teman belajar buat anak-anak. Ruang heroisme anak di televisi Indonesia kini direbut oleh narasi tentang anak lembek yang mendadak jadi ksatria tangkas oleh sekeping biskuit, sebugkus sereal, atau sebatang es krim. Heroisme instan yang dipenetrasi lewat ruang privat, mengabaikan makna proses atau perjuangan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Untunglah ada Upin dan Ipin: dua sosok yang memberitahu anak Indonesia tentang betapa sulitnya perjuangan hanya untuk memakan sebuah rambutan, bahwa menjadi hero tak semudah iklan di televisi. Di sini sekali lagi kita mesti mengakui kehebatan Malaysia. Sebagai negara tetangga serumpun, selintas saya melihat Malaysia lebih terbuka terhadap pengetahuan dan produk budaya negara tetangga maupun Barat. Lihatlah beberapa kasus “pengklaiman” produk budaya tradisi Indonesia oleh Malaysia. Selain gerakan masyarakat Indonesia yang terlalu membabi buta menanggapinya, kita jarang membacanya sebagai karakter politik kebudayaan Malaysia yang terbuka. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Membandingkan kondisi kenyamanan berada di jalanan Jakarta dan Kuala Lumpur kini, kita tahu siapa yang lebih punya strategi jitu dalam mengelola sebuah kota untuk manusia. Malaysia tak segan belajar dari anaknya yang telah lama sukses besar membangun rumah sendiri: Singapura. Kini beberapa kota di Indonesia berkiblat ke Singapura—dan Kuala Lumpur—dalam hal menata kota, termasuk menata gaya hidup kaum menengah ke atasnya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dan tak terhindarkan beberapa dari kita, orang Indonesia, sering membandingkan Indonesia dan Malaysia dari sejarah keterjajahan, dan memilih masa lalu yang lebih baik dijajah Inggris daripada Belanda. Kelas menengah kota di Indonesia membayangkan kenikmatan menjadi bagian dari Singapura atau Kuala Lumpur. Dan imajinasi ini bukan tak mungkin muncul dari bawah sadar: membayangkan nikmatnya dijajah!</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">“Celaka”-nya, di sebuah toko buku di Petaling Jaya, kita melihat sejarah Indonesia dirawat di sana, beserta pengetahuan-pengetahuannya. Memasuki toko buku yang tak besar itu, yang langsung mencolok mata adalah poster-poster ukuran besar potret Tan Malaka, Chairil, Pramoedya, di samping juga poster-poster tokoh revolusi dunia, seperti Che, dan para panutan Melayu. Semuanya melekat di tembok tinggi, di atas rak-rak buku. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Hampir semua terbitan terbaru buku-buku Pram oleh Lentera Dipantara bisa ditemukan di sana, di samping buku-buku keluaran Buku Obor dan Komunitas Bambu. Pengetahuan-pengetahuan berbau kiri di Indonesia memapankan diri di rak-rak toko buku itu. Wajah-wajah besar Tan Malaka dan Pramoedya mendominasi. <i>Dalih Pembunuhan Massal</i>-nya John Roosa, terbitan Hasta Mitra, yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada 2009, bisa dimasukkan ke tas Anda dengan menyerahkan RM 28. Memoar Ben Anderson, <i>A Life Beyond Boundaries</i>, yang terjemahan Indonesia-nya terbit sebagai <i>Hidup di Luar Tempurung</i>, tersedia tanpa mesti diterjemahkan dari bahasa Inggris—budaya berbahasa Inggris lebih subur di Malaysia ketimbang Indonesia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya mengunjungi toko buku itu setelah menemukan tak kurang dari lima novel Pram, dan catatan <i>Nyanyi Sunyi Seorang Bisu</i>, di rak perpustakaan seorang arsitek terkemuka Malaysia. Tahulah saya kemudian, ketika Orde Baru melarang buku-buku Pram, karya-karya Pram malah banyak diterbitkan di Malaysia, lewat perantara Joesoef Isak, editor karya-karya Pram—hampir tanpa mengalami penyesuaian bahasa, sebagaimana beberapa novel Indonesia kini yang mesti diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Wira Karya—penerbit yang berpusat di Selangor, dan kini telah bangkrut—adalah penerbit banyak karya Pram di Malaysia. Di toko buku itu, saya masih menemukan beberapa eksemplar <i>Subuh</i>, kumpulan tiga cerpen Pram yang dirilis Wira Karya pada 1994. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tan Malaka juga menempati posisi mapan di toko buku itu. Saya jarang sekali membaca tentang tokoh kiri Indonesia yang satu ini. Tapi mengapa ia diterima sebagai entitas pengetahuan di Malaysia, saya mafhum. Ketika hidupnya, masa jelajah diri dan pergerakannya, Tan punya persentuhan yang tak jarang dengan Malaysia. Beberapa ada yang mengklaim bahwa pembentukan ASEAN adalah pencurian Orde Baru terhadap ide Tan tentang Aslia: penggabungan Australia dan Asia Tenggara sebagai calon raksasa Asia. Tan yang Minang tentu saja tak terlepaskan dari persentuhan dengan Malaysia. Bahkan hingga kini, Minang sebagai bagian dari Melayu tetap saling kunjung dengan Malaysia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Betapa sering kita mendengar bahwa apa yang kiri atau dicap subversif di Indonesia melarikan diri ke Malaysia. Dan tak jarang Malaysia memeliharanya sebagai semangat dan pengetahuan—juga strategi politik dan kapitalisme. Nada narasi serupa pula yang melingkupi berjubelnya TKI yang ditadah dengan senang hati oleh Malaysia. Dan termasuk juga menerima pelarian diri Abu Bakar Ba’asyir. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>Umah Solah, Januari 2017 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span><br />
<div>
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-6141647607308883812016-08-10T01:20:00.001+08:002016-08-10T01:20:13.473+08:00Donggala, Kota Berwajah Laut yang Dikikis Angin Darat<span style="font-family: inherit;">Donggala. Namanya puitis, dan aku mencium asin laut dan amis ikan. Seingatku, aku mengenalnya setahun lalu lewat serangkaian berita foto di sebuah koran nasional. Tembok-tembok tua yang seakan tak pernah berhenti berguguran, dikikis angin dan hawa laut yang ganas. Lalu konstruksi berkarat setengah silinder bak batang bambu raksasa yang dibelah dua lalu ditelengkupkan di atas tanah. “Gudang kopra dan sejarah kejayaan Donggala,” koran itu menulis. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Seminggu lalu, bersama dua orang Belanda, aku memasuki kota tua ini. Aku kehilangan mata angin. Setiap memasuki wilayah baru, identifikasi pertamaku selalu arah mata angin. Dan di Donggala aku kehilangan utara. Setelah bertanya, mencocokkan dengan Google Map, aku harus mulai membiasakan dan menanamkan ke kesadaranku bahwa laut Teluk Palu yang menghampar itu ada di utara. Dalam kesadaran tubuhku terhadap ruang di tempat tinggal, ruang rumahku di Bali dan Jogja selalu menempatkan laut di Selatan. Maka kesadaran tubuhku akan laut ada di Selatan. Di Donggala, aku harus memutar orientasi keruangan tubuhku seratus delapan puluh derajat. Memang, di utara Donggala masih ada gunung, sebagaimana orientasi keruangan rumahku. Tapi sebelum mencapai gunung dari Donggala, kita mesti menyeberangi hamparan teluk. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIKDXPcdKrYfcVHO57WHAm50fv3MGW8uWk3eHqMN9e7bOGZFqVPpPfGrUGDI2xxPANreidbhAhfY7TMKzceCQXf0v3ugZ8ZdB8Fru69guzhEbxsC6IbIIOiYAXIN8tOe1dvLO5rWRjdKyW/s1600/DSCN2709+copy.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bekas gudang kopra PKKD di dekat bekas Pelabuhan Perak di Donggala | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIKDXPcdKrYfcVHO57WHAm50fv3MGW8uWk3eHqMN9e7bOGZFqVPpPfGrUGDI2xxPANreidbhAhfY7TMKzceCQXf0v3ugZ8ZdB8Fru69guzhEbxsC6IbIIOiYAXIN8tOe1dvLO5rWRjdKyW/s1600/DSCN2709+copy.jpg" imageanchor="1"><span style="font-family: inherit;"></span></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Kota Donggala bak terbaring di dasar sebuah ceruk, dengan dinding bebukit yang lumayan terjal di satu sisi, dan seraut garis pantai barat Teluk Palu di sisi seberangnya. Menyusuri garis pantainya adalah perjalanan visual yang cukup variatif, mulai dari bukit hijau, daratan landai, muara sungai, rawa kecil berbakau, bukit kapur nan terjal, hingga pasir putih bersih di Tanjung Karang. Merunut garis pantai Donggala bukan sekadar jelajah kontur dan tekstur geografis, namun juga kembara historis dan sosiokultural. Pemandangan akan campur aduk antara rumah-rumah penduduk yang sebagian besar masih berbahan kayu, bekas gudang kopra masa kolonial dari seng penuh karat, dermaga pelabuhan baru, tonggak-tonggak kayu hitam bekas dermaga tua, gedung-gedung bertembok bekas kantor atau gudang masa kolonial, lalu bermacam bentuk serta ukuran kapal dan perahu. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Kota yang Berwajah di Laut </b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Donggala adalah kota pelabuhan warisan kolonial Belanda. Tentu tak sepenuhnya oleh Belanda, namun tatanannya kentara banyak mendapat sentuhan Belanda. Jalanannya seperti benang pakan dan lungsin yang saling silang, menciptakan begitu banyak perempatan. Jika kita melihat Donggala dari atas, kubayangkan ia seperti petak-petak ubin. Barangkali pola ini diciptakan Belanda guna mengakomodasi pergerakan barang dari pelabuhan ke gudang dan toko di pinggir pelabuhan. Toko dan gudang dan jalanan itulah yang menjadi Kota Donggala. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Sangat kentara kota ini dibangun dengan memposisikan pelabuhan sebagai gerbang masuknya. Orientasi mukanya ke pelabuhan. Wajah Donggala adalah laut. Bukan hanya karena tatanannya kita bisa menduga bahwa Donggala berwajah ke laut, namun juga karena fungsi-fungsi infrastruktur di dalamnya diciptakan untuk meneruskan fungsi pelabuhan niaga yang bertengger di wajahnya. Hampir semua bangunan warisan kolonial yang ada dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan transportasi dan keniagaan laut. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Wajah Donggala itu bernama Pelabuhan Perak, nama yang benar-benar tinggal nama, kenangan dan tonggak-tonggak kayu hitam tua bekas dermaga. Bekas dermaga ini segera saja mengingatkanku pada bekas dermaga kayu, di mana Titanic tertambat terakhir kalinya sebelum tenggelam, di Cobh, sebuah kota kecil dengan pelabuhan kapal pesiar berskala besar di Irlandia. Apa yang sangat mencolok mata di dekat bekas Pelabuhan Perak adalah tiga lajur bangunan yang dikenal masyarakat Donggala kini sebagai Gudang PKKD (Pusat Koperasi Kopra Donggala). Ini adalah bangunan yang fantastis. Terbangun dari struktur besi berdinding-atap seng dengan bentuk setengah silinder, seperti kubilang sebelumnya, seakan sebatang bambu raksasa yang dibelah dua kemudian ditelungkupkan begitu saja di pinggir pantai. Kusentuh lembaran seng berkarat yang jadi dinding-atapnya; luar biasa tebalnya. Pantas saja ia tahan dengan gempuran angin laut bergaram yang mengantar karat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Sebuah informasi yang kubaca mencatat gudang ini dibangun pada kisaran 1940-an sebagai infrastruktur dari Stichting Het Coprafonds, sebuah lembaga yang dibuat Belanda guna menjaga stabilitas harga kopra di tingkat petani. Gudang ini digunakan untuk menimbun kopra dari para petani. Memasuki salah satu bangunan ini, yang hanya tersisa sebagian saja akibat imbas bom Permesta pada 1958, aku masih mencium bau kopra, bau yang tak asing di masa kecilku. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: inherit;"><b>Wajah Laut yang Dikikis Angin Darat</b></span><br />
<span style="font-family: inherit;">Seorang teman mengajakku menengok bekas kantor Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), sebuah lembaga ekspedisi kargo laut Belanda. Bangunan yang tak kalah mengenaskan dengan Gudang PKKD ini masih menyisakan atap sirap aslinya. Di sini aku melihat bagaimana Belanda membangun kamar mandi di daerah tropis. Yang menarik bagiku adalah bagaimana konstruksi tembok yang mendindingi bangunan ini. Di dalam lapisan beton tembok, aku melihat bilah-bilah bambu yang ditata membujur seperti tirai bambu, lalu dianyam dengan besi-besi kecil seukuran tali sepatu yang melintang. Beberapa bagian tembok bangunan yang telah ambrol memperlihatkan bilah-bilah bambu itu masih utuh dan lumayan kuat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Aku merasa wajah Donggala kini tercermin dengan baik pada bangunan-bangunan tua yang terbengkalai itu. Menyusuri jalanannya yang panas, berdebu, sepi, diwarnai serakan sampah di mana-mana, dan kadang ditingkahi angin berbau garam, hampir tiap jengkal kita menemukan bangunan tua yang bobrok. Di jalanan, mobil, motor, becak, pejalan kaki dan kucing berjalan pada jalur yang sama. Saling berbagi, saling tahu diri jika hendak tabrakan, bergerak saling silang. Segera saja kesan muncul dalam benakku: ini kota yang telah lama ditinggalkan penghuninya, entah karena perang, penyakit mematikan, atau bencana ekonomi yang dahsyat, lalu beberapa penduduk baru memasukinya, mencoba membangun peradaban baru dari puing-puing. Tapi mereka belum sepenuhnya berhasil. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Masyarakat Donggala mulai merasakan perubahan ketika status pelabuhan utama yang ada di Donggala dipindahkan ke Pantoloan pada 1978. Kehidupan Donggala yang sebelumnya mengandalkan pelabuhan sebagai urat nadi berangsur tenggelam. Dermaga kehilangan kapal, gudang-gudang kehabisan barang, pedagang kehilangan pembeli yang sebelumnya mayoritas pekerja pelabuhan, toko-toko mati kesepian. Donggala jadi “kota pelabuhan” yang kehilangan pelabuhan. Wajahnya bukan sekadar bopeng, tapi hilang. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Lalu dicoba mengalihkan pandangan Donggala ke arah darat. Jalan yang menghubungkan Donggala dengan Palu diperlancar. Donggala belajar memunggungi laut yang berabad-abad jadi wajahnya. Donggala yang sebelumnya akrab dengan buaian angin laut seakan dipaksa untuk memusuhinya dan mencoba bersahabat dengan angin darat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tapi rupanya tak bisa. Atau belum bisa? Agaknya angin darat itu justru mengikis Donggala. Tubuh Donggala telah dibangun berabad-abad sebagai tubuh yang menghadap ke laut. Mencari makan dari laut. Segela infrastruktur sebagai tubuh Donggala dibangun sebagai insfrastruktur yang menyambung laut, bukan melebarkan darat. Jadi mafhumlah kita sekarang mengapa Donggala seakan tak mampu bangkit. Ya, karena ia bukan kota yang dibangun dari peradaban darat. Donggala adalah pelabuhan niaga laut. Donggala tanpa pelabuhan adalah Mesir Kuno tanpa Sungai Nil. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tapi, di tengah Donggala yang seakan porak poranda ini, aku melihat bukit hijau dan laut biru yang melingkupi Donggala itu masih memberi harapan....</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<i><span style="font-family: inherit;">Donggala, Agustus 2016 </span></i><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<b><span style="font-family: inherit;">Ibed Surgana Yuga</span></b><br />
<div>
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-82021131187888493182016-07-09T18:35:00.000+08:002016-07-09T18:35:00.231+08:00Nyepi “Salah”<span style="font-family: inherit;">Setelah menulis <i><a href="http://kalalakon.blogspot.co.id/2016/03/nyepi-tahun-baru-gerhana-matahari.html" target="_blank">Nyepi, Tahun Baru, Gerhana Matahari</a></i> saat Nyepi kemarin, dan mem-<i>posting</i>-nya saat Ngembak Geni di blog saya ini, saya <i>browsing </i>tentang Nyepi dan gerhana matahari. Saya tidak <i>browsing </i>saat Nyepi karena secara pribadi saya meniatkan <i>amati HP</i> dan <i>amati internet</i> selama Nyepi beberapa tahun terakhir (dan syukurlah selalu berhasil, namun justru <i>catur brata panyepen</i> yang banyak gagal, hehehe...). Agak terkejut juga saya (dan merasa bodoh – karena baru mengetahui) ketika membaca bahwa gerhana bulan selalu terjadi saat purnama, dan gerhana matahari selalu jatuh saat bulan baru atau mati (<i>tilem</i>). Maka Nyepi yang merupakan <i>pinanggal apisan sasih Kadasa </i>(tanggal satu bulan kesepuluh) mestinya jatuh pada 10 Maret, sehari setelah gerhana matahari total, bukan berbarengan. Saya telusuri via Google dan Twitter, hanya menemukan dua orang yang “meributkan”-nya – salah satunya Mpu Jaya Prema Ananda. Di luar itu, sepertinya tidak ada gejolak di Bali tentang hal ini. Entah kalau di Facebook – karena saya lelaki tak ber-<i>pesbuk</i>. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dengan demikian, beberapa bagian tulisan renungan saya terhadap Nyepi kemarin dengan sendirinya keliru, terutama pada bagian yang menautkan Nyepi yang “kebetulan” bertepatan dengan gerhana matahari. Namun dapat “dibenarkan” juga argumen saya tentang “kebetulan” yang tepat itu. Kebetulan para penyusun kalender Bali kontemporer “salah” menentukan jatuhnya <i>tilem</i>, sehingga kebetulan gerhana matahari (yang seharusnya <i>tilem</i>) bertepatan dengan Nyepi. Konon, keliru menentukan <i>purnama </i>dan <i>tilem </i>di Bali masa lalu adalah hal yang biasa terjadi. Hal ini mengingat fase bulan tidak bisa dihitung dengan satuan hari matahari. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjllBC279v3GtMicHSJe2SS59rbGG-WJ4I6a9PfwIKq2tED57jwqZLDN2bcUazYKDhWZZcadQLsmZCiHbB2c3Wu6YphK4WE6isHBHgti3perBciRpDbpqV-lwR6-vlNElMqZkm2cNZt6Dwx/s1600/DSCN9589+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjllBC279v3GtMicHSJe2SS59rbGG-WJ4I6a9PfwIKq2tED57jwqZLDN2bcUazYKDhWZZcadQLsmZCiHbB2c3Wu6YphK4WE6isHBHgti3perBciRpDbpqV-lwR6-vlNElMqZkm2cNZt6Dwx/s1600/DSCN9589+copy.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kalender Bali yang disusun oleh Ketut Bangbang Gde Rawi dan putra-putranya menunjukkan Nyepi Isaka 1938 jatuh pada 9 Maret 2016 | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Catatan saya setelah Nyepi hanya sampai pada dua paragraf di atas, diputus oleh berbagai kesibukan dan kemalasan. Ketika menjelang Lebaran, Juli 2016, membaca berita tentang penentuan <i>hilal </i>yang dilakukan pemerintah untuk menentukan jatuhnya Idulfitri, saya teringat kembali pada catatan saya yang <i>nungkak </i>ini. Ada baiknya saya lanjutkan karena ini bisa jadi sebuah introspeksi yang baik dalam konteks keberlanjutan tradisi dan perkembangan teknologi. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<b><span style="font-family: inherit;">Kebenaran Semesta</span></b><br />
<span style="font-family: inherit;">Para leluhur kita menyusun kalender sebagai pedoman tindakan kontekstual dalam ruang kehidupan. Waktu dibaca dari gerak semesta, mulai dari gerak besar seperti bulan dan matahari, sampai gerak kecil seperti musim bunga atau buah tertentu. Maka sering kali gerak pada kejadian alam tertentu dibaca sebagai tanda yang baik atau buruk untuk melakukan sesuatu. Misal, ketika musim ilalang berbunga, maka adalah waktu yang baik untuk mulai menanam benih jagung. Dengan demikian, waktu dari tanda kebenaran semesta diusahakan untuk dibaca setepat mungkin agar dapat melakukan tindakan yang diyakini pula tepat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Maka ketika Nyepi pada Maret tahun ini jatuh pada gerhana matahari, tepat pada <i>tilem</i>, itu berarti telah terjadi kemelencengan perhitungan yang dilakukan para ahli penyusuan kalender Bali. Saya tidak tahu persis bagaimana metode penghitungan fase bulan yang diberlakukan oleh penyusun kalender Bali; berhubungan dengan penentuan pada saat mana jarak antara <i>tilem </i>ke <i>purnama </i>(atau sebaliknya) adalah 14 hari, dan kapan 15 hari. Metode ini tentu saja berimbas terhadap hasil yang diperoleh. Kebudayaan Muslim menggunakan dua metode dalam menentukan <i>hilal</i> Syawal (tanggal 1 Syawal), yaitu <i>rukyah </i>(metode pandangan mata) dan <i>hisab </i>(metode perhitungan astronomis). Dan kita sering menemukan perbedaan hari Lebaran di Indonesia – namun kebetulan tahun ini bersamaan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Kebudayaan kalender tradisional Bali barangkali bisa belajar dari kebudayaan Muslim dan perkembangan teknologi astronomi mutakhir. Perkembangan teknologi modern sangat kentara dimanfaatkan dengan baik di sana. Di televisi kita bisa melihat ketika berita tentang penentuan <i>hilal</i>, maka gambar menyajikan teropong-teropong besar yang terhubung dengan perangkat komputer. Teknologi internet pun sudah demikian lengkap menyediakan data tentang astronomi kekinian. Banyak situs <i>web </i>yang menyajikan pantauan dan perkiraan fase bulan dengan keakuratan yang bisa dipercaya. Berbagai lembaga astronomi juga berdiri dan hidup – baik skala nasional maupun internasional – dengan ketersediaan data yang memadai. Semuanya ini barangkali bisa dimanfaatkan dengan baik oleh para ahli kalender Bali. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Jika kita sepakati bahwa Nyepi pada <i>pinanggal apisan sasih Kadasa</i> sebagai sebuah kebenaran semesta untuk pedoman tindakan merayakan <i>catur brata panyepen</i>, maka ketepatan penghitungan adalah mutlak untuk diraih. Dari kebenaran semesta ini, keyakinan kita dialirkan untuk sejalan dengan gerak kosmos yang melingkupi kita, sehingga segala tindakan kita arahkan untuk selaras dengan gerak agung-Nya itu. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<b><span style="font-family: inherit;">Kesepakatan Sosikultural</span></b><br />
<span style="font-family: inherit;">Namun manusia punya keterbatasan. Teknologi yang diciptakan manusia tidak semuanya bisa menjangkau gerak semesta yang demikian agung dan kompleks itu. Maka manusia kemudian membuat kesepakatan demi kesepakatan sosiokultural (tradisi) untuk membalut keyakinannya, di tengah keterbatasan yang disadari itu. Dalam konteks ini kemudian ketepatan penghitungan gerak semesta bukan sesuatu yang mutlak – karena belum bisa digapai. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Kesepakatan semacam inilah – yang secara sadar atau tidak – melingkupi ketetapan hati umat Hindu Bali merayakan Nyepi pada 9 Maret kemarin. Kesepakatan ini terjadi baik dalam lingkup umum umat Hindu Bali, maupun pada lingkup kecil para penyusun kalender Bali (yang menjadi patokan kesepakatan umum). Umat Hindu Bali tidak meributkan tentang Nyepi yang “salah” karena telah yakin tentang perhitungan kalender itu; dan kalau pun menganggapnya salah, toh keyakinan dalam niat merayakan Nyepi tak ada gangguan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tapi untuk ke depan, alangkah baiknya kita melakukan perenungan tentang bagaimana nenek moyang kita menentukan <i>rerahinan </i>berhubungan dengan gerak alam. Bukankah cara bagaimana nenek moyang kita menghitung dan mengamati pergerakan bulan – sesederhana apa pun cara itu – adalah juga teknologi? Dan saya yakin dari abad ke abad teknologi nenek moyang kita selalu berkembang, berubah, sehingga kemudian mengubah pula berbagai metode untuk mencapai kebenaran dan keyakinan. Generasi kita menerima fase terakhir perkembangan teknologi itu, dan tugas kita kemudian untuk mengembangkannya terus. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Perkembangan teknologi barangkali bisa kita arahkan sebagai cerminan gerak manusia yang selalu berkembang untuk menuju gerak-Nya. Berbagai perayaan (dengan keyakinan di dalamnya) yang berhubungan dengan waktu (gerak semesta) merefleksikan keinginan manusia untuk selaras dengan gerak semesta, kepaduan gerak antara <i>bhuwana alit</i> dan <i>bhuwana agung</i>. Karena keduanya adalah <i>tat twam asi</i>, “Itu adalah kau”. Maka keyakinan kita tetap saja mesti berpijak pada kebenaran semesta. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Syukurlah Nyepi Isaka 1938 berjalan khidmat di Bali. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<i><span style="font-family: inherit;">Jeblog, Maret – Juli 2016</span></i><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<b><span style="font-family: inherit;">Ibed Surgana Yuga</span></b>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-81974729623735696792016-03-10T01:41:00.000+08:002016-07-07T05:30:24.297+08:00Nyepi, Tahun Baru, Gerhana Matahari<span style="font-family: inherit; font-size: small;"><b>Nyepi </b>Isaka 1938, setelah melewatkan momen gerhana matahari, karena bangun kesiangan, saya membaca sebuah esai Driyarkara tentang manusia dan waktu, ditulis pada tahun baru 1954. Ini Nyepi, dan saya membaca buku. Bagi saya, membaca adalah sebuah kerja, sebuah perbuatan membangun hidup, sebagaimana juga orang lain pergi ke kantor untuk menyokong hidupnya. Berarti dengan membaca buku, saya telah melanggar <i>amati karya</i>, satu dari empat pantangan dari pemuliaan Nyepi. Dan buku ini adalah karya seorang pendeta Katolik, bukan Weda atau karya-karya para kawi Hindu. Dan saya membaca sambil merokok, ah, saya melanggar satu lagi pantangan: <i>amati geni</i>. Dan saya menulis catatan ini, <i>bih</i>, untuk kedua kalinya saya melanggar <i>amati karya</i>. Dan sebelum membaca buku, saya telah pergi mengayuh sepeda sejarak satu kilometer pergi-pulang, membeli makanan. Saya telah melanggar <i>amati lelungan</i>. Dan saya juga nyaris main sebuah <i>game </i>favorit saya di laptop, walaupun batal, namun secara niat saya telah melanggar <i>amati lelanguan</i>. Duh, mudah-mudahan saya bisa memaafkan diri saya sendiri....</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Baiklah, di tengah kegagalan saya memuliakan Nyepi, dengan kepala yang sudah seminggu lebih pusing dan<i> nyut-nyutan</i>, saya kembali diingatkan oleh Driyarkara tentang hakikat manusia yang haus akan kebahagiaan dan khawatir akan ancaman. Harus diakui bahwa kita semua – manusia yang menganggap diri paling mulia di antara makhluk lain – memiliki cita-cita dasar yang sama: bahagia. Dan keberadaan manusia adalah kesadaran untuk mencapai kebahagiaan sekaligus kesadaran kemungkinan tak-bahagia. Ada yang mengancam cita-cita manusia untuk bahagia, dan ancaman itu mengarahkan pada tak-bahagia. Manusia, kita semua, khawatir pada hal ini.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiFAOck2sAXo58bAFdJWT65gg8GdMDiWh3hD8KMyoLGt8wrWZytiNt4WTiM7vM6ts8hB76BeIH6SHIMxZw9DtDC6WbqrbBpOQldIISl_eYNAGeEotqXuNsRRvFIK1cBj-Z9hsL38itjWjv/s1600/DSCN7595.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiFAOck2sAXo58bAFdJWT65gg8GdMDiWh3hD8KMyoLGt8wrWZytiNt4WTiM7vM6ts8hB76BeIH6SHIMxZw9DtDC6WbqrbBpOQldIISl_eYNAGeEotqXuNsRRvFIK1cBj-Z9hsL38itjWjv/s1600/DSCN7595.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Tika, kalender tradisional Bali | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;">Manusia dalam keberadaannya membutuhkan momen-momen khusus untuk menyadari keberadaannya itu. Manusia tak bisa selalu melakukan refleksi atas keberadaannya, sebab manusia selalu bergerak, menjadi, berubah. Dibutuhkan momen tertentu untuk “berhenti”, berefleksi, menyelami kesadaran akan keberadaan. Momen-momen umum yang biasa digunakan manusia untuk itu misalnya, tahun baru, hari raya, momen setelah keterpurukan, saat sembahyang, dan lainnya. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<b><span style="font-size: small;">Nyepi: Sebuah Tahun Baru</span></b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: small;">Tahun baru. Ini adalah momen dimulainya lagi hitungan satu setelah hitungan 365 selesai kemarinnya. Ini masa ketika bumi kembali pada titik di mana ia memulai perjalanannya untuk mengelilingi (lagi) matahari. Manusia punya kesadaran ini? Ya, lewat perhitungan astronomi. Namun tidak dalam kesadaran keseharian, di mana manusia berpijak di bumi. Dalam kesadaran keseharian, manusia terlalu kecil, terlalu terbatas untuk menyadari pengalaman perputaran bumi mengelilingi matahari. Manusia hanya sanggup menyadari pengalaman perputaran bumi pada sumbunya – ini pun dengan patokan pergerakan semu matahari. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Dengan bantuan perhitungan astronomi, manusia diberikan pengetahuan untuk menyadari pengalaman kembalinya bumi ke titik semula, setelah hitungan ke-365, untuk memulai lagi perjalannya menghitung 365 nomor selanjutnya. (Bumi ini mirip Sisyphus ya? Mendorong batu ke puncak gunung, lalu menggelindingkannya lagi ke bawah, untuk kemudian mendorongnya lagi ke puncak.) Dengan bantuan sebuah sistem yang dibuat manusia, yang kita kenal sebagai kalender Masehi, (sebagian besar) manusia seluruh bumi punya kesepakatan akan tahun baru (Masehi). Kita sepakat dengan perayaan untuk tahun baru. Kita sepakat akan kegembiraan, teriakan, hura-hura, haru-biru, di malam menjelang 1 Januari. Kemudian narasi dimuatkan ke dalam momen ini, yang lambat laun juga disepakati dan diamini bersama, dan narasi ini bernama harapan akan kehidupan yang lebih baik di tahun (hitungan!) yang baru. Harapan akan kebahagiaan – sambil memperhitungkan berbagai ancaman di depan atau berbagai kekeliruan (ancaman yang telah menjelma) di belakang. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Nyepi adalah juga tahun baru. Sistemnya dibuat oleh peradaban yang berbeda dengan Masehi. Sistem ini dikenal sebagai kalender Isaka (atau Çaka) yang memulai tanggal satu pada satu fase setelah bulan mati, saat bulan bersinar segaris lengkung tipis. Tahun barunya jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh, bukan bulan pertama. Menjelang tahun baru Isaka juga dirayakan dengan kemeriahan ritual dan duniawi pada hari terakhir bulan kesembilan. Di Bali, misalnya, perayaan itu dilakukan dengan Tawur Agung Kasanga yang dilanjutkan kemeriahan ogoh-ogoh pada malam harinya. Ini adalah kemeriahan dan kemuliaan ritual sekaligus hura-hura duniawi. Hmmm..., hura-hura duniawi? Ya, harus diakui bahwa ritual dan pawai ogoh-ogoh adalah juga sebentuk kontestasi kuasa dan gengsi yang duniawi. Dan bias hura-hura yang lebih kecil juga sering menyertai, seperti pesta alkohol dan judi. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Nyepi sebagai tahun baru dirayakan (dimuliakan!) dengan “berhenti”, refleksi, semadi, semacam momen menyejajarkan kedua kaki, menarik napas panjang, setelah berjalan sekian juta langkah tanpa henti di tahun sebelumnya, bersiap untuk kemudian menghitung langkah kesatu lagi. Di sini rutinitas langkah, pengalaman keseharian yang kecil, coba diarahkan pada kesadaran yang lebih besar: pengalaman kosmos. Kesadaran dan pengalaman dalam refleksi ini, seterbatas apa pun manusia bisa mencapainya, dilakukan dengan menghentikan sejenak langkah yang duniawi: mencari makan, kesenangan, ledakan emosi, juga ambisi kuasa. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<b><span style="font-size: small;">Nyepi dan Gerhana Matahari: Sebuah “Kebetulan” yang Tepat</span></b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: small;">Kali ini Nyepi “kebetulan” ber-tepat-an dengan gerhana matahari total di beberapa daerah di Indonesia. Secara “kebetulan” bulan – yang hendak memancarkan cahaya segaris lengkung tipisnya ke bumi – berada di antara bumi dan matahari, dan ketiganya membuat satu garis lurus. Ini tanggal satu spesial yang dibuat oleh pergerakan kosmos – yang sebenarnya merupakan peristiwa semesta biasa. Tahun baru Isaka yang ditandai dengan peristiwa pembentukan garis lurus antara tiga titik pusat dari tiga benda angkasa yang kita jadikan patokan untuk menyusun sistem waktu, kalender. Itu saja. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Apa yang membuatnya spesial? Sederhana saja, karena ini jarang terjadi. Manusia selalu tertarik pada hal-hal langka, unik, aneh. Satu usia manusia belum tentu bisa mengalami gerhana matahari total. Kesadaran keseharian manusia hanya bisa mengalaminya dari siang yang tiba-tiba menjadi gelap sesaat, dan jika matahari dipandang, ia tertutup lingkaran hitam. Dengan bantuan perhitungan astronomi, manusia diperluas kesadarannya, bahwa ini adalah peristiwa semesta biasa, suatu titik logis sebagai konsekuensi dari pergerakan benda-benda angkasa. Kesadaran yang dibantu perhitungan astronomi modern ini kemudian melenyapkan narasi (kesadaran) lama tentang matahari yang ditelan oleh kala atau naga atau beruang. Narasi lama ini kemudian menjadi mitos bagi manusia modern yang meluaskan kesadarannya lewat astronomi. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<b><span style="font-size: small;">Kesadaran Manusia dan Penciptaan Narasi</span></b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: small;">Tapi kita baiknya tidak lupa bahwa narasi lama yang kini kita sebut sebagai mitos gerhana itu juga lahir dari kesadaran manusia, nenek moyang kita. Sama dengan kita sekarang, kesadaran nenek moyang kita mencoba mengalami peristiwa semesta dan juga mengaitkannya dengan kehausan akan bahagia dan kekhawatiran akan ancaman. Dari keinsafan ini kita mafhum bahwa manusia tidak sedang mengelilingi lingkaran yang lain dari waktu ke waktu, abad ke abad, peradaban ke peradaban. Kita tetap mengelilingi lingkaran yang itu-itu saja, berulang-ulang, hanya saja dengan kesadaran yang berubah, dan juga narasi yang berbeda. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Kini, di dunia yang kita sebut modern ini, kita juga menciptakan narasi terhadap peristiwa semesta yang bernama gerhana dan tahun baru. Kemeriahan pesta di malam menjelang 1 Januari adalah narasi yang diciptakan dunia modern Barat, lalu disepakati dan bahkan menjadi kesadaran bagi (hampir) semua manusia di belahan dunia mana pun. Begitu pula dengan fenomena gerhana matahari total kali ini. Dengan kesadaran sebagai fenomena semesta yang langka, kita – dengan bantuan media informasi yang nirbatas – juga menciptakan narasi baru tentang gerhana matahari. Kita lihat bagaimana kemeriahan yang membuncah untuk menyambutnya. Ini adalah semacam narasi baru yang kita (manusia modern) ciptakan di tengah kesadaran kita akan gerhana. Dan bisa jadi di masa depan yang jauh, manusia dengan kesadaran yang diperluas lagi akan menganggap narasi kita ini sebagai mitos belaka. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Betapa kuatnya narasi-narasi yang dibuat kesadaran manusia. Dulu manusia menghadapi gerhana dengan ketakutan dan kekhawatiran, kini manusia menyambutnya dengan kemeriahan pesta yang meledak. Di masa depan yang jauh, apa lagi ya?</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<i><span style="font-size: small;">Jeblog, 9 Maret 2016</span></i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<b><span style="font-size: small;">Ibed Surgana Yuga</span></b></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-54031732397304524312016-02-04T13:30:00.000+08:002016-07-07T04:22:47.099+08:00Sutradara <span style="font-family: inherit;"><b style="font-size: x-large;"><i><span style="font-size: small;">Teater</span></i></b><span style="font-size: small;">. Kata ini kita adopsi dari Barat. Juga konsep, gaya dan bentuknya adalah anak kandung kebudayaan modern. Dengan menyebut <i>teater </i></span><span style="font-size: small;">bagi sejenis seni pertunjukan kita, sadar atau tidak kita mengakuinya sebagai pengaruh Barat, modern. Namun, kita coba menjadikannya anak kebudayaan kita. Sebelumnya kita tidak pernah memakainya untuk menyebut bentuk seni ini. Kita hanya menamai ketoprak, lenong, ludruk, arja, mamanda, dan sebagainya, atau paling banter sandiwara. Sekarang semuanya adalah teater (tradisi). Sebelumnya, kala awal proses adopsi, kita sempat menamainya sandiwara—namun kemudian sebutan ini menjadi minor dan tidak populer. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><i>Sutradara</i>. Jelas konsep di balik kata ini adalah anak angkat kita yang beribu kandung Barat, namun tidak katanya sendiri. Aneh juga, kenapa teater kita adopsi dari Barat, beserta bentuk, konsep dan gayanya, sedang kita tidak mengadopsi serta <i>director</i>? Kita memakai <i>sutradara</i>. Dari mana munculnya? Ranah pertunjukan tradisi? Saya agak ragu. Peran ini tidak ada dalam arja, mamanda, ketoprak, lenong, ludruk atau longser.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;">
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1gqdknS2YQxoZOr0s2Vd_bWoFmZ-q3slprEhlXiwDcuvsKvIZg9HnFdtdk2N9IbMdqOwmE2gMUS8l02E4WQcy2TwUBMa97pViJyxVMiM_2UUNCzSYJoIEe1NdXizrkXwp1RdVpKDkllGN/s1600/sukuh+experience+078.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1gqdknS2YQxoZOr0s2Vd_bWoFmZ-q3slprEhlXiwDcuvsKvIZg9HnFdtdk2N9IbMdqOwmE2gMUS8l02E4WQcy2TwUBMa97pViJyxVMiM_2UUNCzSYJoIEe1NdXizrkXwp1RdVpKDkllGN/s1600/sukuh+experience+078.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Paneil relief di Candi Sukuh | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span>
</span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: small;">Secara historis linguistik, kita mengadopsinya dari <i>sutradhara</i>: Sanskerta—ranah yang banyak mendasari tradisi sastra dan bahasa kita. Di ranah budaya ibu kandungnya, <i>sutradhara </i>adalah sebutan untuk seniman, pemahat dan—ini yang saya rasa paling penting—arsitek. Namun bagi saya tetap tersisa teka-teki: mengapa <i>teater </i>kita adopsi dari Barat dengan tidak menganak-angkat pula <i>director</i>? Saya juga tidak tahu, pada ranah apa kata <i>sutradara </i>pernah kita pakai sebelum digunakan dalam teater modern? Apa acuan para pendahulu teater modern kita menggunakan kata ini sebagai padanan <i>director</i>? </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Namun masalah ini tiba-tiba saya rasakan tidak begitu penting. Ujuk-ujuk saya menaruh harapan—dengan dasar dugaan—pada pemilihan kata <i>sutradara </i>ini. Saya suka karena di ranah ibu kandungnya ia punya makna <i>arsitek</i>. Lalu saya menduga, jangan-jangan bawah sadar pendahulu kita lebih memilih sutradara daripada <i>director </i>karena didasari oleh salah satu maknanya ini. Sutradara—sebagai arsitek—punya kualitas merancang dan membangun (meng-arsitek-i). Sedang <i>director </i>lebih pada kualitas mengatur, memimpin, mengarahkan, memerintah—sehingga kita hanya mengadopsinya untuk ranah kelembagaan. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Konon, ketika masa kebudayaan Nusantara membangun candi-candi, <i>sutradhara </i>adalah orang yang menentukan dan memahat cerita menjadi relief-relief. Dari sini kita menemukan titik temunya dengan teater: selain arsitek untuk bangunan, <i>sutradhara </i>adalah juga arsitek untuk ranah </span><span style="font-size: small;">cerita</span><span style="font-size: small;">, meronce </span><span style="font-size: small;">kisah</span><span style="font-size: small;">, menganggit peristiwa. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Harapan saya sederhana saja: sutradara bukanlah pemimpin, pengatur, pengarah, apalagi pemerintah. Ia lebih kompleks: perancang, pembangun, pencipta Ruang. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><i>Sewon, Agustus 2012 </i></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: small;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-16073923528634978412016-02-03T13:21:00.000+08:002016-07-07T05:28:38.456+08:00Jadilah Manusia, Jangan Seniman!<span style="font-family: inherit;"><b><span style="font-size: medium;">Seniman </span></b><span style="font-size: medium;">itu manusia atau bukan? Izinkan saya untuk sementara menganggap (kebanyakan) seniman adalah politikus. Yang disebut karya seni adalah hasil kerja yang politis. Seni merupakan suatu ladang yang lapisan permukaan tanahnya adalah politik, sedang lapisan kebudayaannya jauh di kedalaman, tertimbun lapisan demi lapisan lainnya. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Kadang seni dipandang semata adalah karya. Maka kerja dalam seni pun terjebak dalam kerja membuat karya—sebanyak-banyaknya, agar mendapat pengakuan setinggi-tingginya. Seniman—eh, politikus—bekerja dengan menggarap lapisan permukaan tanah ladang, menanam benih di sana, dengan berbagai strategi utak-atik-intrik, didukung sedikit keberuntungan cuaca, lalu tumbuhlah “pohon kuasa” sebagai hasil jerih payahnya. Dan disokong oleh mental massa yang banal, maka yang di permukaan itu lebih mudah terlihat, lebih gampang “eksis”. Ia pun diakui sebagai seniman dengan bukti pohon menjulang sebagai <i>masterpiece</i>-nya, namun dengan akar yang jarang menyentuh lapisan tanah kebudayaan.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQdgjIp3qnlAjfpy7h_Es_Fb_sWVpxSdq_4JO0llvTG42OjkpIMt9SSqwoongAQ7UOUt-WT8_QXwwFk9rg1_6JamG48rwx94cbHfbzXqeOyoaBLNMe1lPNL9SualQH-IefKAcoMb8jn3vR/s1600/DSCN9126.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQdgjIp3qnlAjfpy7h_Es_Fb_sWVpxSdq_4JO0llvTG42OjkpIMt9SSqwoongAQ7UOUt-WT8_QXwwFk9rg1_6JamG48rwx94cbHfbzXqeOyoaBLNMe1lPNL9SualQH-IefKAcoMb8jn3vR/s1600/DSCN9126.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Mbah Prapto dalam sebuah latihan di Candi Plaosan | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
</span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Anggapan saya ini menyembul ketika terlibat latihan-latihan Mbah Prapto. Sering ia mengingatkan tentang keikhlasan diri menjadi manusia (di semesta). Peringatannya mengeduk kesadaran saya untuk mengakui bahwa saya berlatih dengan memposisikan diri sebagai seniman. Seniman adalah manusia yang telah “dikotori” berbagai anasir politik artistik yang “berindah-indah” agar tampak bagus di mata-selera penonton (baca: selera massa yang sering banal itu). </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Mbah Prapto menyarankan untuk menanggalkan baju kesenimanan kita yang penuh pernik pretensi, dan sebisa mungkin menjadi manusia “telanjang” di semesta. Malah bila perlu menjadi binatang atau tetumbuhan. Manusia “telanjang”, binatang, tetumbuhan lebih jujur pada dirinya sendiri dan dengan ikhlas berdialog dengan semesta, tanpa pretensi politik-artistik. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Untuk mencapai apa yang kita sebut “seni”, kita mesti melatih diri, mengeduk diri sehingga ikhlas menjadi manusia (atau anjing atau rerumput). Ya, berlatih. Ada yang lupa bahwa seni adalah berlatih, sebagaimana hidup. Ada yang lupa bahwa seni juga adalah jelek, sebagaimana hidup yang ada untung ada buntung. Dari sini, jika berbicara tentang teater, maka yang terpenting dari teater adalah latihan. Bukan latihan untuk pentas, namun latihan menjadi manusia. Sedang pentas hanyalah politik! </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Tapi ternyata, betapa hidup (dan seni, juga teater) demikian cerdik memerangkap kita dalam jebakan politik tak terhindarkan. Karena bertapa sendiri di tengah hutan belantara yang tak terjamah manusia pun, kita tak bisa menghindar dari politik. Apakah semesta juga politis? </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Sial! </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><i>Sewon, April-Juli 2012 </i></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-80199708727225817392016-02-02T01:39:00.001+08:002016-07-07T05:38:07.795+08:00Improvisasi<span style="font-family: inherit;"><b><span style="font-size: medium;">Permainan </span></b><span style="font-size: medium;">yang mapan di atas panggung adalah permainan yang telah jadi improvisasi. Di sinilah permainan (baca: kehidupan di atas panggung) mencapai puncaknya. Improvisasi adalah kulminasi. Bukan awalan. Bukan pula sekadar pengembangan. Apalagi cuma taktik untuk menyamarkan kecelakaan. Ia juga bukan sekadar teknik atau metode pelatihan. Improvisasi adalah aksi itu sendiri. Ia melebihi aksi yang telah dibentuk dari serangkaian latihan dan penghapalan yang taktis-pragmatis-politis. Improvisasi adalah hidup. Di sini makna improvisasi yang paling dalam berada. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />Berimprovisasi adalah menjalani kehidupan sebenarnya yang terjadi (bukan tersaji) di atas panggung. Ia lebih murni, lebih hidup, lebih “bersahaja”, dibandingkan dengan permainan yang ditata, yang dikoreografi, yang sering kali artifisial, penuh intrik dan politik. Improvisasi memboyong wilayah sadar, bawah sadar dan tak sadar sekaligus, secara serentak dan terus-menerus. Sedang permainan yang ditata sering hanya melibatkan wilayah sadar belaka, sadar bermain. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif4SgR8BUYgXOz565OKJZprxNnmQUtWbvtNaWlxp9lNt0wH2H0zPkRceRgshKIMfM6phfvBSHY40X3I_M3NWBEeWGh4lcRSxQpLKrpShflI2bBhuZDo_GYS6VKzyRc5qVAD6hWsItPnqvH/s1600/_MG_7461.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif4SgR8BUYgXOz565OKJZprxNnmQUtWbvtNaWlxp9lNt0wH2H0zPkRceRgshKIMfM6phfvBSHY40X3I_M3NWBEeWGh4lcRSxQpLKrpShflI2bBhuZDo_GYS6VKzyRc5qVAD6hWsItPnqvH/s1600/_MG_7461.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Sebuah latihan improvisasi Kalanari Theatre Movement | Foto: Dok. Kalanari</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Teater adalah permainan “<i>here and now</i>” di atas panggung. Secuil peristiwa kehidupan dibingkai, lalu digiring ke atas panggung. Realisme adalah salah satu aliran yang gencar menyarankan konsep “<i>here and now</i>” ini. Seluruh peristiwa adalah yang baru pertama kali terjadi. Bukan suatu yang telah diketahui sebelumnya atau sekadar repetisi demi repetisi dalam latihan sehingga menemukan kualitas tertingginya dalam pementasan. <br /><br />Maka, “<i>here and now</i>” adalah improvisasi itu sendiri. Peristiwa yang baru kita hadapi pertama kali dan memerlukan tindakan improvisasi dari kompleksitas diri kita sebagai manusia. Manusia hidup yang telah terlatih tentu saja. Di sinilah makna penting latihan teater mesti diletakkan: melatih diri untuk hidup. <br /><br />“<i>Here and now</i>” yang ditawarkan realisme sebenarnya betapa dalam. Ia mengarahkan kita pada keyakinan bahwa teater adalah kehidupan itu sendiri, yang <i>real</i>, yang dialami oleh manusia dalam tempat dan waktu sebenarnya, bukan rekaan lakon. Namun sayang, realisme akhirnya hanya menciptakan ilusi. Ilusi realitas. Ia terancang di atas panggung, dengan usaha keras untuk menutupi kebocoran-kebocoran agar tak tampak sebagai sesuatu yang “palsu”. Dan sayangnya lagi, ia terjadi (tepatnya: tersaji) dengan jarak yang begitu panjang dengan penonton, realitas yang benar-benar. <br /><br /><i>Sewon, Januari 2012 – Agustus 2013 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-53780362241949512322016-02-01T16:56:00.001+08:002016-07-07T05:44:17.264+08:00Diri dan Yang-di-luar-diri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Karena </b>bermain di panggung adalah hidup, menjalani hidup, maka kesendirian itu tiada. Pun ketika memainkan monolog. Hidup tak pernah sendiri, tak pernah hanya diri, bahkan dalam apa yang disebut kesendirian. Selalu ada yang-di-luar-diri, entah itu cuma ketiadaan yang jadi pembanding kesendirian. <br /><br />Karena hidup tak pernah sendiri, maka yang-di-luar-diri juga hidup. Apa pun. Bahkan sesuatu yang tak punya nyawa, bahkan sesuatu yang telah kehilangan nyawa. Jika yang-di-luar-diri menjadi pembanding bahwa diri sedang hidup, maka untuk memberinya makna, ia mesti dihidupkan, dijadikan subjek. Membiarkannya mati, atau justru membunuhnya, adalah memosisikannya sebagai objek. Diri adalah subjek. Dan yang-di-luar-diri mestinya juga subjek. Jika ada Diri, maka ada pula Yang-di-luar-diri. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZ9ehFutCW6fyN2G7YQsH2edF9JYrFj3hM19TJo8zwAQHb0FnoQJ-nz4pWepy4tzrshq-_rkcSZG8HfcUxjZjBATNymsvH5_U0LY9AlIBhDB15q10-frCCXC-sJ_ZsMyUlepkudjbaZ_zO/s1600/Panji+Amabar+Pasir+46.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZ9ehFutCW6fyN2G7YQsH2edF9JYrFj3hM19TJo8zwAQHb0FnoQJ-nz4pWepy4tzrshq-_rkcSZG8HfcUxjZjBATNymsvH5_U0LY9AlIBhDB15q10-frCCXC-sJ_ZsMyUlepkudjbaZ_zO/s1600/Panji+Amabar+Pasir+46.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Pertunjukan<i> Panji Amabar Pasir </i>oleh Kalanari Theatre Movement | Foto: Pieter Andas</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Tapi ego besar manusia adalah hasrat menjadikan diri sebagai subjek tunggal, sehingga semua yang-di-luar-diri adalah objek. Dari sinilah apa yang disebut kesendirian itu lahir. Ini naluri (baca: nafsu) kuasa purbawi yang sebenarnya adalah pedang bunuh diri. <br /><br />Bermain di panggung adalah menyubjekkan diri dan yang-di-luar-diri sekaligus. Tubuh yang disandang diri, kostum yang membalut tubuh, penonton dalam kegelapan, lantai yang dipijak, <i>set wings</i> di tepi panggung, cahaya yang menerpa, bayangan yang menguntit tubuh, bulir keringat yang dimuntahkan pori kulit, semuanya mesti disubjekkan. Tak ada objek. Karena objek adalah mati. Jika yang-di-luar-diri mati, menjadi objek, maka diri juga mengobjek, mati. <br /><br />Sebagaimana di Bali, pohon atau batu tertentu dibaluti kain dan diberi sesajen. Tak penting apakah ini penyembahan terhadap pohon atau batu, animisme, atau sebentuk rayuan pada kekuatan ilahiah yang ada di sebalik pohon atau batu. Ini adalah sebentuk cara penyubjekan pohon atau batu, menjadikannya hidup, sebagaimana manusia yang hidup. Manusia jadi bermakna, pun yang di luar manusia. Jika manusia ingin tetap hidup, maka manusia mesti membiarkan atau memberikan hidup bagi yang-di-luar-manusia. <br /><br />Tapi tak cukup hanya subjek-subjek saja. Panggung dengan berjuta subjek adalah jagat hampa. Mesti ada peristiwa. Hidup, menjalani hidup, adalah predikat. Dan predikat adalah peristiwa. Dari mana predikat lahir? Dari dialog subjek dengan subjek lainnya, diri dengan yang-di-luar-diri. Lalu ruang dan waktu akan mewujud dengan sendirinya. <br /><br /><i>Sewon, Januari 2012 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-73102279893157468002016-01-16T15:18:00.000+08:002016-07-07T05:59:05.209+08:00Marga Telu: Sebuah Pertemuan<div class="separator tr_bq" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><i><b>Pengantar “Janger Merah”, Sebuah Lakon Teater</b></i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>September </b>2015, saya menemukan diri saya lahir di tengah keluarga <i>ex</i>-simpatisan PKI – baik keluarga ayah maupun ibu saya. Saya terperangah. Sempat ada getaran aneh dalam tubuh saya. Mengapa baru kali ini saya menyadarinya (baca: menemukannya)? Dalam babak sejarah 1965, saat ayah dan ibu saya masih berusia sekitar lima tahun, saya mengira keluarga ayah dan ibu saya ada di bagian <i>item </i>(istilah untuk menyebut simpatisan PNI). Saya salah. Nyatanya mereka ambil bagian di blok <i>merah </i>(simpatisan PKI). Dan entah kenapa kesadaran ini baru saya temukan tepat setelah 50 tahun peristiwa 1965. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Dulu ketika masih usia SD, beberapa kali saya mendengar cerita tentang Gestok dari ayah, ibu dan kakek saya. Cerita tentang di mana mereka sembunyi ketika itu dan bagaimana mereka menyintas di tengah persembunyian yang genting. Tapi emosi saya ketika itu – emosi anak yang telah dicekoki dengan pelajaran sejarah dan cerita kepahlawanan di bangku SD – menganggap keluarga ayah dan ibu saya ada di “pihak yang benar”. Kekacauan situasi politik serta informasi yang biaslah yang membuat mereka ikut bersembunyi, begitu pikir saya sejak itu sampai sebelum September 2015.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsK2JRncbTPFIZLancUYFrz_wkcOR8yIbzlqFN-zJOqne6_FCrV7TA4A06cOrpxPCFtZUIy7nEUeqyYfzFbcV4v34utO0rLlFZWulopWYu1KKx6uJ7vArT3ikF7glAPpgwAKoSPdrg5SEK/s1600/janger+merah2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsK2JRncbTPFIZLancUYFrz_wkcOR8yIbzlqFN-zJOqne6_FCrV7TA4A06cOrpxPCFtZUIy7nEUeqyYfzFbcV4v34utO0rLlFZWulopWYu1KKx6uJ7vArT3ikF7glAPpgwAKoSPdrg5SEK/s1600/janger+merah2.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi | Desain: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Saya lupa apakah ketika SD saya pernah mendapat pelajaran sejarah tentang peristiwa 1965 atau tidak. Ketika itu, dari televisi tetangga yang hitam-putih, saya memang pernah beberapa kali menonton film <i>Pengkhianatan G 30 S PKI</i>, namun tak pernah sampai pertengahan – apalagi tuntas – karena keburu mengantuk. Film itu diputar terlalu malam untuk waktu bagian Bali. Hanya satu adegan yang saya ingat dari film itu: pembakaran buku-buku (atau kitab?). Ketika usia SD, istilah Gestok bagi saya dan teman-teman bukanlah istilah yang menyeramkan. Kami sering memakainya untuk bahan gurauan antarteman. Salah satu dari kami akan bertanya kepada teman lain, “Kamu tahu apa kepanjangan Gestok?” Jika yang ditanya tidak bisa menjawab, yang bertanya akan menjawab, “<i>Gés kén getok!</i>” (“Mencakar dan memukul!”) sambil mencakar dan memukul teman yang ditanyai. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Saya tahu sejak kecil bahwa kuburan massal korban Gestok di kampung saya ada di depan bangunan SD di mana saya bersekolah. Kami menyebut wilayah yang dikenal angker itu sebagai Marga Telu (harfiah: jalan tiga), pertemuan tiga jalan. Entah mengapa SD itu juga bernomor 3, SD Negeri 3 Batuagung. Dan ketika saya pulang ke kampung di bilangan utara Jembrana, Bali, itu untuk sebuah urusan, saya mendengar kabar bahwa kuburan massal itu akan dibongkar pada 29 November 2015. Kabar tentang pembongkaran itulah yang meramaikan kembali cerita tentang peristiwa 1965 di kampung kami, termasuk cerita dari bibi saya, kakak dari ayah saya. Cerita dari bibi saya inilah yang menguak posisi keluarga ayah dan ibu saya saat peristiwa biadab itu. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Setelah 12 tahun tinggal di Jogja, terjun ke dunia teater dan kadang juga dunia kepenulisan, lalu bergumul dengan buku-buku, saya sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada wacana 1965. Padahal saya menyukai buku-buku sejarah. Tapi hampir selalu buku-buku tentang 1965 tidak menarik perhatian saya. Ini saya sadari karena karakter saya sendiri yang tidak suka dengan hal-hal yang sedang jadi arus utama dan populer atau sedang <i>in</i>. Wacana 1965 bagi saya terlalu seksi karena ketidakpastian dan sengkarut wacana, fakta, fiksi dan kepentingan yang meliputinya. Tapi, kepulangan saya pada September 2015, kabar akan dibongkarnya kuburan massal di Marga Telu, dan cerita bibi saya seperti mengarahkan kepala saya untuk sesekali menengok peristiwa 1965, paling tidak hanya dalam lingkup kampung saya. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Saya pun memutuskan untuk menengoknya. Saya menghubungi seorang teman <i>filmmaker</i>, mengajaknya untuk membuat film dokumenter tentang peristiwa pembongkaran kuburan massal dan peng-<i>aben</i>-an (upacara penyucian) para korban peristiwa 1965 di kampung saya itu. Lalu secara kebetulan ada telepon dari Dewan Kesenian Jakarta, mengajak saya terlibat dalam program Bengkel Riset Naskah Drama dengan mengangkat cerita para korban peristiwa 1965. Saya langsung mengiyakannya. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Maka mulailah saya menengok kampung saya di sekitaran 1965, menengok keluarga saya, menengok posisi saya sendiri di kampung yang pernah jadi biadab, menengok tanah di mana ari-ari saya ditanam. Namun saya goyah. Momen menemukan diri lahir dalam keluarga dengan <i>garis merah</i> masih menyisakan sedikit keterperangahan dalam diri saya. Saya galau menempatkan diri dalam wacana 1965, di tengah banyak wacana yang demikian heroik memperjuangkan harkat para korban dan penyintas, di tengah wacana yang mendesak negara untuk meminta maaf, di tengah kampung yang juga masih membicarakan peristiwa itu dengan bisik-bisik. Terus terang, saya tidak suka dengan wacana saling menyalahkan yang kadang sarat dengan kepentingan politis. Saya juga tidak respek terhadap heroisme pembelaan berlebih yang kadang terlalu memandang peristiwa itu hitam-putih. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Saya melakukan penelitian kecil untuk penulisan lakon ini, berbarengan dengan proses pembuatan film dokumenter teman saya yang kemudian diberi judul <i>Masean’s Message</i>. Saya dan teman saya itu, Dwitra J. Ariana, kemudian sepakat bahwa pembongkaran kuburan massal dan upacara untuk kerangka jenazah para korban itu merupakan sebuah bentuk rekonsiliasi tingkat lokal yang sangat bermakna bagi wacana 1965. Dengan bekal kesimpulan inilah dia menggarap filmnya dan saya menulis lakon ini. Kami selalu berbagi ide dan opini dalam proses itu. Tidak bisa saya pungkiri memang ada beberapa ide dalam lakon ini yang juga terdapat dalam film itu. Namun tanggung jawab sepenuhnya atas penulisan lakon ini ada pada saya sendiri. Barangkali akan menjadi hal yang menarik juga jika lakon ini dipentaskan dengan memasukkan film itu sebagai bagian dari pertunjukan. Sampai tahap penyelesaian lakon ini, film itu masih dalam tahap pengeditan. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Perlu saya beri catatan bahwa tokoh-tokoh dalam lakon ini bukanlah wakil dari perseorangan subjek yang saya teliti. Satu tokoh bisa merupakan penggabungan dari karakter serta cerita dari beberapa subjek. Demikian pula peristiwanya merupakan penggabungan antara cerita yang saya dapatkan, wacana, pendapat, isu, interpretasi serta imajinasi saya sendiri. Dengan demikian, lakon ini sebaiknya dibaca dengan bijak sebagai sebuah ruang teks mandiri yang tidak mesti disangkut-pautkan dengan subjek yang saya teliti. Saya lebih suka membiarkan karya saya tumbuh sebagai sebuah dunia yang bebas lepas dari segala bau bumbu dapur kepenulisannya. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Perlu juga diberi catatan masalah bahasa. Walaupun tidak bergaya realis, sebenarnya saya ingin menggunakan bahasa keseharian para subjek yang saya ejawantahkan jadi tokoh-tokoh lakon ini. Tapi itu berarti bahwa lakon ini mesti menggunakan bahasa Bali logat Jembrana, hal yang agak tidak mungkin dalam konteks publik nasional. Alternatif selanjutnya adalah menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Bali. Ini pun tidak saya lakukan karena saya pernah melakukannya dalam sebuah lakon tentang adu ayam di Bali. Hasilnya seperti bahasa sinetron televisi nasional yang meniru-niru logat Bali. Saya gagal mengkonstruksi bahasa sebagai representasi keseharian. Akhirnya dalam lakon ini pilihan saya jatuh pada bahasa Indonesia yang ternyata agak janggal dan kaku. Ini mungkin bisa jadi catatan bagi sutradara yang ingin memanggungkan lakon ini: ia bisa memilih gaya bahasa pemanggungannya sendiri. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Sungguh saya belum puas dengan hasil penulisan lakon ini. Banyak bagian dari kesadaran saya tentang peristiwa ini belum tertuang dalam lakon. Ini juga karena saya sendiri masih terus menggali kesadaran saya tentang peristiwa ini. Bisa jadi, yang tertulis dalam lakon ini barulah kebimbangan-kebimbangan saya semata, belum sebagai kesadaran yang utuh. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Maaf. Terima kasih. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><i>Pancaseming, Desember 2015</i></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<i><b><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Lampiran: </span></b></i><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sebagai sekadar gambaran bagaimana </span><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;">lakon <i>Janger Merah</i></span>, saya lampirkan seting yang jadi pembuka lakon ini: </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<blockquote class="tr_bq">
Sebuah dusun di pegunungan bagian barat Bali. Sebuah rumah. Perabotan seadanya. Ranjang kayu tua dengan kasur kapuk tua. Televisi tabung 14 inch. Tiga sangkar bambu berisi tiga ekor ayam jago. Kasur busa tipis di lantai semen kusam. Semuanya cenderung tidak tertata, berserakan bersama pakaian, kardus, kursi, sampah bungkus makanan anak-anak, buku pelajaran SD, dan sebagainya. </blockquote>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Jalan dusun beraspal buruk menerobos masuk ke dalam rumah. Ada enam patok kayu dengan plang kertas bertulisan “Lokasi 1”, “Lokasi 2”, hingga “Lokasi 6” ditancapkan berderet di pinggir jalan. Pohon beringin tua di satu sisinya. Sebuah pura kecil di bawah rindangnya. </blockquote>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Dapur juga dalam rumah. Kompor gas sumbangan pemerintah. Tabung gas elpiji untuk rakyat miskin. Juga tungku kayu bakar memuntahkan abu. Ada foto artis tahun 90-an yang sudah memudar warnanya di dinding. Poster calon bupati dan wakilnya bernomor urut 2, dengan slogan “Membangun Jembrana dari Desa”. Bayangan hitam besar escavator di dinding rumah bata yang sudah berumur.</blockquote>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"></span></span><br />
<blockquote class="tr_bq">
Ya, semuanya ada dalam rumah. </blockquote>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-16771202801876127932015-12-23T22:10:00.001+08:002016-07-07T06:04:16.926+08:00Belajar Pulang Dusun<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><i><b>Catatan Festival Dusun 2015</b></i><span style="font-size: small;">*)</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Luar </b>biasa sekali pada sekitar dua dekade terakhir ini ruang kebudayaan kita di Indonesia disesaki dengan berbagai macam festival, mulai dari yang skala kampung, daerah, nasional, Asia, hingga yang mengklaim internasional. Agaknya festival merupakan gerakan budaya yang sedang populer, dan pemerintah daerah dan nasional juga relatif mendukungnya. Banyak festival telah menelurkan ide-ide kreatif dan jadi ajang kontestasi capaian-capaian kreatif manusia Indonesia. Beberapa festival juga berhasil mengukuhkan kembali ikatan sosial komunitas dan beranjak menjadi pranata “keyakinan” baru dalam memaknai kehidupan manusia. Di samping imbasnya terhadap dunia pelesiran, festival juga jadi lahan pertumbuhan kesadaran terhadap nilai-nilai “baru” dalam kehidupan personal dan sosial, baik berupa nilai yang diserap dari luar maupun reinkarnasi nilai lama. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Namun sayangnya beberapa festival masih sekadar jadi ajang kontestasi semata, tanpa mengagungkan nilai-nilai kolaborasi dan dialog. Beberapa festival malah cenderung jadi ajang kompetisi tidak sehat karena dibiarkan terhampar menjadi tempat berbiaknya sentimen-sentimen negatif antarkomunitas atau golongan. Saya sering menghadiri atau menjadi penyaji beberapa festival di mana para penyajinya hanya datang untuk menggelar karyanya, lalu pergi setelahnya. Seakan tak ada perjumpaan, tak ada dialog, hanya komunikasi satu arah kepada publik – ini pun lebih dengan semangat mempertunjukkan, bukan berdialog. Mereka seakan cuma ingin memukau penonton, lalu pergi, sambil berharap menyisakan kekaguman di benak publik. Beberapa karya dalam festival yang mengatasnamakan kolaborasi pun masih ada yang mengukuhkan egoisme tanpa menggali kedalaman makna kolaborasi. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLvtqzmWYQZIGFQtSHyRrt1EYavI6ZEtjSA77mn-Cf7R9frXoy3uNcYJB01BR7Px7onx65fIvxboyl5xjS_V2_iEOxQ3tx9X-WMP0JmwWsZ6LbNK3wy-tSOdc1KdQgM5qKxu0xeou_eQmL/s1600/Anak-anak+berangkat+memasang+instalasi+ke+bukit.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLvtqzmWYQZIGFQtSHyRrt1EYavI6ZEtjSA77mn-Cf7R9frXoy3uNcYJB01BR7Px7onx65fIvxboyl5xjS_V2_iEOxQ3tx9X-WMP0JmwWsZ6LbNK3wy-tSOdc1KdQgM5qKxu0xeou_eQmL/s1600/Anak-anak+berangkat+memasang+instalasi+ke+bukit.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Anak-anak dan para pemuda Moding bersiap memasang instalasi baling-baling di Festival Dusun 2015 | Foto: Nanoq da Kansas</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"></span>
<span style="font-size: medium;"> </span></span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Belum lagi beberapa festival kini pengelolaannya diserahkan kepada <i>event organizer</i> yang tidak memiliki visi kebudayaan. Pengelola ini memanajemen festival sebagai barang dagangan, bukan sebagai aset kebudayaan yang memiliki makna lebih mendalam dari sekadar barang dagangan. Tata kelola semacam ini membiaskan visi festival dan mengesampingkan – bahkan menegasi – nilai-nilai kebudayaan.<span style="font-size: small;">**)</span> </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Kecemasan terhadap <i>euforia </i>festival itulah yang menjadi salah satu dasar penyelenggaraan Festival Dusun 2015 di Dusun Moding Kaja, Desa Candikusuma, Jembrana, 4 – 10 Desember 2015 lalu. Dusun ini adalah tanah kelahiran seniman Nanoq da Kansas, orang yang menjadi tempat menumpahkan ide-ide kami dan merelakan dusun beserta rumahnya menjadi tempat eksperimen gelaran ini. Tahun ini adalah kali kedua Festival Dusun, dan sampai saat ini masih kami posisikan sebagai sebuah eksperimen untuk menemukan format yang lebih baik dan berguna buat dusun.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Festival Dusun: Festival tanpa Pesta</b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Festival Dusun merupakan sebuah media dialog tentang peradaban dusun melalui pertukaran dan pergelaran ide-ide kreatif. Tahun ini merupakan kali kedua Festival Dusun diselenggarakan dengan mengetengahkan berbagai bidang dan isu berkaitan dengan pengembangan peradaban dusun: pertanian, wirausaha, ekologi, musik, seni rupa, film, teater dan sastra. Program dalam festival ini terdiri dari workshop, diskusi, pameran dan pertunjukan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Sejatinya Festival Dusun 2015 tidaklah pantas disebut festival. Ia lebih dekat dengan makna <i>srawung </i>dalam bahasa Jawa, sebuah ruang pertemuan penuh rasa kekerabatan, mengobrolkan sesuatu dengan santai, namun menjadi bagian yang integral dalam ruang sosial dan kultural. Festival Dusun sama sekali jauh dari gemebyar dan keramaian. Namun di dalamnya pertemuan dan dialog berlangsung intens dan penuh makna, baik melalui diskusi yang dirancang dengan format <i>magesah </i>(mengobrol santai) maupun dalam berbagai workshop dan pertunjukan. Dalam hal seni, Festival Dusun tidak mengutamakan capaian estetik, namun lebih pada pertukaran ide dan edukasi antara seniman dan masyarakat dusun. Di sini pula seniman dituntut untuk merumuskan kembali dunia keseniannya sehingga menemukan metode dan bentuk yang pas buat dusun. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Festival Dusun berawal dari ide Andika Ananda, Dwitra J. Ariana dan saya yang ingin membuat sebuah gelaran kesenian yang berbasis di dusun. Kami adalah orang yang lahir di dusun, lalu menimba ilmu kesenian di kota, dan ingin pulang ke dusun yang telah berubah. Dusun tak lagi sekadar kebun atau sawah. Dusun adalah juga toko modern dan <i>smartphone </i>yang berserak. Kami bukan anti terhadap perubahan dusun, namun kami tak ingin dusun jadi seperti kota yang sumpek dan kehilangan tegur sapa dengan tetangga. Di tengah perambahan tanah-tanah dusun oleh kaum kaya kota, kami ingin dusun berubah. Dusun mesti tetap jadi lahan pertanian, namun petani juga cakap mengakses internet dari dusun. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Melihat keadaan dan harapan yang demikian, kami berpikir bahwa kesenian <i>an sich</i> tak dapat menjawab atau menjadi jalan bagi masalah dusun yang berubah. Kami mesti berpikir dalam kerangka dusun sebagai sebuah ruang peradaban, bukan semata sekadar ruang berkesenian atau bercocok tanam. Dusun mesti dirumuskan sebagai ruang peradaban yang selalu berdialog ke dalam dan ke luar guna menentukan posisinya dalam kehidupan kontemporer. Dengan demikian, dusun mesti membentuk peradaban yang tak lepas dari nilai pertanian, ekologi, estetik, teknologi sipil dan teknologi informasi. Dusun mesti berdaya tanpa harus menjadi kota. Bagi para penggagasnya, Festival Dusun adalah sebuah wahana untuk belajar pulang ke dusun setelah kota mendera hampir seluruh bagian kehidupan. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Membentengi sekaligus Membuka Gerbang Dusun </b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Festival Dusun menggelar beberapa diskusi yang diformat santai sebagai <i>magesah</i>, peristiwa mengobrol gaya khas dusun. Bahkan bisa dikatakan bahwa diskusi merupakan isian utama festival ini, karena diskusilah yang lebih meudah mewadahi proses pertukaran ide dan dialog. Tak tanggung-tanggung, sesi <i>magesah</i> pertama langsung menyoal internet, dunia <i>cyber </i>yang kini telah merambah dusun. Menghadirkan narasumber Gus Long, seorang praktisi teknologi informasi, <i>magesah </i>ini mengetengahkan bagaimana memanfaatkan dunia internet secara positif untuk memberdayakan dusun. Gus Long memaparkan bagaimana generasi sekarang disebut sebagai <i>Homo connectus</i> yang tidak bisa lepas dari dunia maya. <i>Magesah </i>ini menarik karena dihadiri oleh para perangkat dusun, baik dinas maupun adat, yang menunjukkan antusiasmenya terhadap dunia teknologi informasi. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Andika Ananda yang baru datang dari Hokkaido, Jepang, juga membagi pengetahuan yang ia dapatkan di negeri sakura itu. Ia berbagi tentang paradigma usaha kecil dan menengah di Jepang yang merupakan salah satu penyangga kemajuan ekonomi Jepang. Menurut Andika, banyak hal yang dilakukan usaha kecil di Jepang telah dilakukan di dusun-dusun namun hal itu tidak disadari oleh orang dusun sendiri. <i>Magesah </i>ini terjadi sangat intim sehingga membuka berbagai kesadaran tentang peluang wirausaha di dusun apalagi dengan hadirnya beberapa kolega yang menggeluti dunia wirausaha ini. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Sesi <i>magesah </i>yang lain digawangi oleh DS Putra yang membuka dengan masalah alih fungsi lahan yang kini juga melanda dusun. DS Putra memberikan contoh yang sangat menarik tentang bagaimana dalam tradisi Hindu Bali ada ritual <i>ngwaliang Betari Sri</i>, yaitu upacara untuk membuka lahan bekas sawah yang dialihfungsikan menjadi <i>karang </i>rumah. Ini berarti bahwa dalam tradisi Hindu Bali alih fungsi lahan adalah hal yang biasa. Namun dusun mesti berhati-hati jangan sampai tradisi semacam ini dijadikan dalih legal untuk alih fungsi lahan di dusun. Tradisi memang bisa menjadi pedang bermata dua yang bisa melukai siapapun. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Dusun mesti membentengi diri dalam satu sisi, namun di sisi yang lain ia mesti membuka gerbangnya lebar-lebar untuk berbagai pengetahuan dan ilmu modern untuk pemberdayaan dusun. Di satu sisi dusun mesti sadar akan posisinya sebagai lumbung kehidupan pangan sehingga jangan sampai berubah menjadi kota, namun di sisi lain juga mesti bisa berpikir secara kota sehingga mampu membaca diri dan menyerap berbagai pengetahuan dan teknologi yang – celakanya – memang banyak berasal dari kota. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Narasi Ketakberdayaan Dusun dalam Film </b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><i>Filemmaker </i>Dwitra J. Ariana mengajak para pemuda Moding untuk membuat film-film dokumenter pendek berdasarkan berbagai masalah yang ada di dusun. Dengan workshop singkat dan bekal <i>handycam</i> sederhana, mereka merumuskan berbagai masalah yang ada di Moding, lalu mencari beberapa narasumber untuk diwawancarai. Mereka menghasilkan dua film pendek yang sangat menarik yang menunjukkan ketakberdayaan dusun di satu sisi dan cebolnya daya tahan kebudayaan tradisi dusun akibat gempuran kebudayaan kota yang dibawa televisi atau teknologi informasi. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Film pertama mereka bercerita tentang pabrik pembuatan <i>citak </i>(bata) yang ada di Moding. Pabrik ini mengeduk tanah-tanah produktif di Moding untuk dijadikan batu bata. Menurut sang pemilik tanah, lahannya itu disewakan kepada pemilik pabrik karena alasan gagalnya pertanian kakao yang sebelumnya tumbuh subur di lahan itu. Kakao memang menjadi produk utama pertanian di Moding. Namun beberapa tahun terakhir pertanian kakao menjelang masa punahnya di Moding akibat serangan hama dan terlambatnya penanganan. Untuk terus mempertahankan hidup, lahan bekas kakao terpaksa dialihfungsikan menjadi lahan kayu-kayuan, dijual atau disewakan. Pemilik lahan sadar betul dengan dikeduknya tanah untuk bahan bata akan mengurangi kesuburan tanah. Namun hal itu tak bisa dihindari karena tak adanya pemasukan ekonomi dari lahan setelah musnahnya tanaman kakao. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Film kedua bercerita tentang <i>sekaha </i>gong di Moding. Walaupun menggambarkan bagaimana semangatnya generasi muda Moding menabuh gong, namun film ini secara tersirat sebenarnya menggambarkan ironi kebudayaan tradisi Moding yang dikenal sebagai tonggak sejarah kesenian musik Jegog di Jembrana. Kini Jegog terengah-engah di Moding, di rumahny sendiri. Hanya terhitung tiga <i>sekaha </i>Jegog saja yang tersisa. Ini pun sudah jarang beraktivitas karena jarangnya tanggapan. Banyak perangkat Jegog yang teronggok tak terawat, keropos dimakan cuaca dan rayap. Jegog bukan hanya kalah oleh kebudayaan modern kota, namun juga oleh kebudayaan tradsi Bali sendiri, seperti gong kebyar. Berbagai festival kesenian tradisi menggelar festival gong kebyar sehingga tanpa disadari mematikan tradisi musik lain yang khas di Bali. Di samping itu, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan anggaran juga tidak memiliki strategi kebudayaan yang kuat untuk mempertahankan berbagai bentuk kebudayaan tradisi yang khas dan unik. Pemerintah lebih mengikuti arus besar politik kebudayaan Bali yang digaungkan lewat PKB di Bali Selatan itu. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Seni Rupa Dusun </b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Namun Moding juga bersyukur memiliki seniman muda yang enerjik bernama Sastraning Danuraga. Ia adalah perupa muda yang telah melanglang hingga mancanegara. Pemuda kelahiran Moding yang berdomisili di Jogja dan sempat mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta ini pulang dusun dengan membawa konsep kesenian ekologis dan sangat khas dusun. Ia merespon bukit gundul yang merupakan bagian dari hektaran lahan yang telah menjadi milik pengusaha kota. Ia memasang banyak baling-baling berbahan kayu di sepanjang puncak bukit itu, menciptakan seni lanskap yang sangat indah dengan suara yang unik ketika diterpa angin dusun. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Baling-baling kayu itu ia garap bersama beberapa pemuda dusun selama beberapa hari. Karya ini sangat unik karena merupakan bentuk khas seni keseharian dusun, namun dilakukan oleh seorang seniman yang dilahirkan oleh pendidikan kota. Aga – panggilan sang perupa muda – tak mau berpelik-pelik dengan berbagai konsep kontemporer yang cenderung asing, namun ia berkarya dengan sangat sederhana dan tekun melalui konsep respon ruang yang jitu. Dusun memerlukan seniman semacam Aga yang mampu berpikir kontekstual dan memberdayakan ilmu keseniannya mengikuti ruang yang ia masuki. Melihat karya instalasi baling-baling kayunya berputar di sepanjang garis bukit pada senja hari, seperti mendengarkan rintihan dari tanah-tanah yang berpindah tangan ke kaum kaya kota. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Di samping itu Aga juga membuat workshop mencetak mainan dari tanah liat untuk anak-anak dusun. Workshop ini juga tak kalah menariknya karena memanfaatkan potensi tanah di Moding, digarap dengan sangat sederhana dan membangkitkan kembali ingatan terhadap mainan-mainan tradisional yang sebenarnya lebih mendidik dan ramah lingkungan dibanding mobil-mobilan plastik yang mahal dan mengancam kesehatan anak-anak. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Worksop seni rupa juga diisi oleh Gadgad Organik yang mengajak anak-anak dusun untuk melukis dengan menggunakan pewarna yang bersumber dari berbagai bahan alam, seperi daun, akar dan kulit pohon. Workshop ini sangat menarik karena membawa kembali semangat ekologis dan hubungan tak terputus antara seni dengan alam yang sebelumnya menjadi spirit dari kesenian dusun. Ini juga sebuah ide yang penting bagi isu ekologi yang bisa dimulai pergerakannya dari dusun, wilayah yang setidaknya secara ekologis belum separah kota. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Teater di Belakang Rumah </b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Berbagai gelaran seperti pentas teater dalam Festival Dusun digelar di tempat-tempat yang sama sekali bukan panggung. Panitia menawarkan tegalan, sungai, halaman rumah, bale banjar dan sebagainya sebagai tempat pentas, tanpa adanya fasilitas pertunjukan yang biasa ditemui di panggung. Secara kebetulan, tiga dari empat pentas teater dalam festival ini memilih tegalan di belakang rumah Nanoq da Kansas sebagai tempat pentas. Sedang satu lagi memilih halaman dan teras rumah. Teater Solagrasia SMA 1 Negara membawakan cerpen <i>Paradoks </i>karya Putu Wijaya dengan menjadikan halaman dan teras rumah sebagai seting peristiwa dramatik. Segala potensi ruang dimanfaatkan dengan jitu dan alami untuk meruangkan cerita yang sebenarnya agak absurd namun juga verbal banal itu. Halaman ini juga setiap paginya digunakan sebagai tempat yoga selama lima hari sepanjang festival dengan instruktur Dewi Pradewi. Yoga ini juga menjadi peristiwa dialog dengan ruang dusun sekaligus sebuah peristiwa performatif yang menarik. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Teater Tebu Tuh dari Singaraja memilih ruang di sekitar menara tandon air dan sumur di dekat dapur untuk memanggungkan <i>Suatu Kali Kali Mati</i> yang bercerita tentang konspirasi penguasa dan pemodal mencaplok alam dan manusia Bali dengan industri raksasa pariwisata yang rakus itu. Ruang fisik yang menjadi sumber air bagi rumah di dusun itu dipinjam dengan baik untuk berbicara tentang kali-kali yang akhirnya mati karena sedotan industri pariwisata dan membunuh masyarakat lokal. Sedang kelompok Teater Darah Indonesia, gabungan seniman-seniman teater dari beberapa kota di Jawa Timur, menggelar <i>Opera Kamar</i> di depan pura keluarga (<i>sanggah</i>). Di sana mereka bercerita tentang banyak hal, mulai dari selingkuh para pejabat hingga kematian kesenian tradisional. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;">Teater Orok hadir dengan monolog <i>Dua Cinta</i> karya N. Riantiarno di antara dua pohon rambutan di belakang rumah. Monolog yang disutradari Curex ini sebenarnya berseting taman. Menariknya, walaupun di halaman rumah ada taman, namun Curex lebih memilih tegalan belakang rumah yang penuh belukar sebagai taman. Di samping itu, dari segi pemilihan waktu pentas, monolog ini juga agak spesial. Sang sutradara memilih senja, ketika sinar matahari berwarna oranye memberikan kesan yang menarik pada cerita yang penuh intrik cinta itu. Menunggu senja untuk memulai pertunjukan sudah menjadi peristiwa pertunjukan tersendiri bagi para penonton, pemain dan sang sutradara sendiri. Walaupun pentas ini tidak ditonton oleh banyak orang, namun sang sutradara tidak kecewa karena menurutnya ia ingin bereksperimen dengan garapan yang telah dipentaskannya beberapa kali ini. Semangat ini menjadi penting bagi teater karena tidak semata tergantung pada penonton, namun para seniman teater sendiri juga mesti melihat perkembangan garapannya sendiri dengan menjadi penonton dan membandingkan perkembangan garapannya mengikuti perubahan ruang dan waktu. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><i>Pancaseming, Desember 2015 </i></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><i><b>Catatan: </b></i></span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: small;"><span style="font-size: small;">*)</span> Tulisan ini pernah dimuat bersambung di <i>Bali Tribune</i>, 14 Desember 2015 dan 21 Desember 2015 </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: small;"><span style="font-size: small;">**)</span> Tiga paragraf awal tulisan ini juga menjadi pembuka tulisan <a href="http://kalalakon.blogspot.co.id/2015/12/memaknai-festival-sebagai-ruang-dialog.html" target="_blank"><i>Memaknai Festival sebagai Ruang Dialog</i></a>, sebuah catatan dari Asian Performing Arts Festival (APAF), Tokyo, 2015. Memang, beberapa bagian konsep Festival Dusun 2015 juga terinspirasi konsep APAF. </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-70912422435633189102015-12-23T21:49:00.001+08:002016-07-07T06:09:19.658+08:00Memaknai Festival sebagai Ruang Dialog<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<i style="font-size: x-large;"><b><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Catatan dari Asian Performing Arts Festival, Tokyo, 2015</span></b></i><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<b style="font-size: x-large;"><span style="font-size: medium;"> Luar</span></b><b style="font-size: x-large;"> </b><span style="font-size: medium;">biasa sekali pada sekitar dua dekade terakhir ini ruang kebudayaan kita di Indonesia disesaki dengan berbagai macam festival, mulai dari yang skala kampung, daerah, nasional, Asia, hingga yang mengklaim internasional. Agaknya festival merupakan gerakan budaya yang sedang populer, dan pemerintah daerah dan nasional juga relatif mendukungnya. Banyak festival telah menelurkan ide-ide kreatif dan jadi ajang kontestasi capaian-capaian kreatif manusia Indonesia. Beberapa festival juga berhasil mengukuhkan kembali ikatan sosial komunitas dan beranjak menjadi pranata “keyakinan” baru dalam memaknai kehidupan manusia. Di samping imbasnya terhadap dunia pelesiran, festival juga jadi lahan pertumbuhan kesadaran terhadap nilai-nilai “baru” dalam kehidupan personal dan sosial, baik berupa nilai yang diserap dari luar maupun reinkarnasi nilai lama. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Namun sayangnya beberapa festival masih sekadar jadi ajang kontestasi semata, tanpa mengagungkan nilai-nilai kolaborasi dan dialog. Beberapa festival malah cenderung jadi ajang kompetisi tidak sehat karena dibiarkan terhampar menjadi tempat berbiaknya sentimen-sentimen negatif antarkomunitas atau golongan. Saya sering menghadiri atau menjadi penyaji beberapa festival di mana para penyajinya hanya datang untuk menggelar karyanya, lalu pergi setelahnya. Seakan tak ada perjumpaan, tak ada dialog, hanya komunikasi satu arah kepada publik – ini pun lebih dengan semangat mempertunjukkan, bukan berdialog. Mereka seakan cuma ingin memukau penonton, lalu pergi, sambil berharap menyisakan kekaguman di benak publik. Beberapa karya dalam festival yang mengatasnamakan kolaborasi pun masih ada yang mengukuhkan egoisme tanpa menggali kedalaman makna kolaborasi.</span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWAvg2tp2XjZPm8AIs8ZzVpKUwy0oPNskcbrDWH8yb4w1AyOiFKI_dYdM4mAuc-HxIBDOZou4AUHJAWAomVnb9aUcIb6moEMTgJxTkeSGCRhHpAr2sBR47UYFJAZILao3i9xfz4SuxNBMK/s1600/12371035_573615789457138_6689562147071276248_o.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWAvg2tp2XjZPm8AIs8ZzVpKUwy0oPNskcbrDWH8yb4w1AyOiFKI_dYdM4mAuc-HxIBDOZou4AUHJAWAomVnb9aUcIb6moEMTgJxTkeSGCRhHpAr2sBR47UYFJAZILao3i9xfz4SuxNBMK/s1600/12371035_573615789457138_6689562147071276248_o.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pentas <i>Rain in Plastic Bottles</i> pada APAF 2015 di Tokyo | Foto: APAF 2015</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Belum lagi beberapa festival kini pengelolaannya diserahkan kepada <i>event organizer</i> yang tidak memiliki visi kebudayaan. Pengelola ini memanajemen festival sebagai barang dagangan, bukan sebagai aset kebudayaan yang memiliki makna lebih mendalam dari sekadar barang dagangan. Tata kelola semacam ini membiaskan visi festival dan mengesampingkan – bahkan menegasi – nilai-nilai kebudayaan. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b> Kolaborasi Internasional </b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Barangkali kita bisa sedikit belajar dari Asian Performing Arts Festival (APAF) 2015 di Tokyo pertengahan November lalu. Walaupun berskala Asia dan diselenggarakan di kota termahal kedua di dunia, APAF bukanlah festival yang besar. Diselenggarakan di sebuah panggung kecil di gedung teater terbesar di Jepang, Tokyo Metropolitan Theatre, ini adalah festival kecil bin sederhana, dan ditonton oleh tak lebih dari 100 orang. Tujuannya bukan pada <i>gemebyar</i>-nya pertunjukan dan membeludaknya penonton, namun untuk mendorong kesalingpahaman dan pertukaran budaya antara negara-negara Asia. Karena itulah festival ini lebih mengutamakan kolaborasi dan dialog. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> APAF memiliki tiga program utama, yaitu penciptaan melalui kolaborasi internasional, workshop untuk kolaborasi internasional serta program seminar dan diskusi yang dinamai Art Camp – dengan dua partisipan dari Indonesia: Bambang Prahadi dan Joned Suryatmoko. Workshop untuk kolaborasi internasional menghadirkan beberapa sutradara muda Asia untuk berproses bersama para pemain yang utamanya berasal dari Jepang. Mereka membuat pertunjukan pendek dengan tema yang telah ditentukan, dengan waktu proses selama dua minggu, termasuk pertunjukan. Mereka akan diseleksi untuk mengikuti program penciptaan melalui kolaborasi internasional di tahun berikutnya, dengan mengembangkan pertunjukan pendeknya menjadi pertunjukan utuh berdurasi satu hingga satu setengah jam. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Tahun ini kebetulan APAF mengundang saya sebagai sutradara dari Indonesia bersama sutradara dari Filipina dan Taiwan untuk mengikuti program workshop untuk kolaborasi internasional. Kami dibagi menjadi tiga kelompok, terdiri dari satu sutradara dan para aktor yang mayoritas dari Tokyo dan satu aktor dari masing-masing negara – kecuali Indonesia yang tidak mengirimkan aktor. Kami melakukan latihan selama 12 hari untuk menciptakan pertunjukan pendek. Tema yang ditawarkan APAF tahun ini adalah “Hujan”. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
Saya membawa ide tentang mitologi hujan dari Jawa dan Bali. Dalam proses kolaborasi, pertukaran ide dan dialog benar-benar menjadi tujuan utama. Para pemain saya menawarkan berbagai ide yang muncul dari pengalaman-pengalaman mereka tentang hujan, mulai dari kenangan personal, lagu-lagu etnik yang berhubungan dengan hujan yang sudah tidak mereka pahami liriknya, hingga hujan dan isu kerusakan pembangkit tenaga nuklir. Saya juga melakukan observasi kecil tentang budaya minum air di Tokyo yang metropolis guna menyaring mitos-mitos kontemporer tentang air. Di akhir program kami mempresentasikan pertunjukan hasil kolaborasi kami: <i>Rain in Plastic Bottles</i>, hujan dalam botol plastik. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b> Proses dan Dialog</b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Direktur APAF, Satoshi Miyagi, yang juga sutradara teater terkemuka Jepang, menyebut APAF sebagai satu-satunya festival di dunia yang tidak bisa diketahui sejak awal seperti apa pertunjukan-pertunjukan yang akan disajikannya. Tentu saja ini karena pertunjukan yang akan disajikan masih dalam proses penciptaan ketika festival dimulai. Festival ini tidak mendasarkan kurasinya pada kualitas karya yang telah jadi, namun pada kualitas para partisipan yang mau dengan terbuka melakukan proses dialog dan kolaborasi dengan seniman-seniman dari Asia yang beragam. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Sistem yang dilakukan APAF adalah sebentuk keberanian di tengah <i>euforia gemebyar </i>festival yang berlomba mengejar kualitas karya yang disajikan dan aplaus dari publik. APAF memilih sebuah sistem penuh risiko dalam konteks kualitas karya dan penerimaan publik. Tentu saja risiko ini adalah konsekuensi yang tersadari ketika APAF memposisikan diri sebagai ruang, dialog, ruang kolaborasi, untuk mencapai kesalingpahaman sebagai manusia Asia. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> APAF menitikberatkan kesadaran proses kolaborasi pada pengertian bahwa kebudayaan di satu sisi terbentuk oleh kesalingpengaruhan, saling tiru dan saling tukar. Manusia memiliki kehausan terhadap pengaruh dari budaya lain. Adalah sifat dasar manusia ketika melihat sesuatu yang menakjubkan dari kebudayaan lain, lalu berusaha meniru dan menjadikannya milik kebudayaan sendiri. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Dalam proses kolaborasi dengan pemain-pemain dari Jepang, saya mencoba untuk tidak terjebak untuk mencari persamaan atau kemiripan antara kebudayaan Indonesia dengan Jepang. Saya melatih sensibilitas saya untuk lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan yang ada antara kami. Dalam hemat saya, perbedaanlah yang membuat kami memiliki keberadaan kami masing-masing sehingga bisa saling menghargai dan berdialog. Di samping itu, perbedaan juga adalah suatu medan belajar yang luar biasa tentang kebudayaan sendiri, karena dalam perbedaan kita bisa menemukan perbandingan, kita bisa menemukan sesuatu yang tidak kita miliki. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><i> Pancaseming, November – Desember 2015</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b> Ibed Surgana Yuga</b></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<i><b><span style="font-family: inherit;"> Catatan: </span></b></i><br />
<span style="font-family: inherit;">Tiga paragraf pembuka tulisan ini juga menjadi pembuka tulisan <a href="http://kalalakon.blogspot.co.id/2015/12/belajar-pulang-dusun.html"><b><i>Belajar Pulang Dusun</i></b></a>, sebuah catatan untuk Festival Dusun 2015. Memang, beberapa bagian konsep Festival Dusun 2015 juga terinspirasi konsep APAF.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-88643693772923023152014-08-04T02:52:00.002+08:002016-07-07T08:53:16.740+08:00Tertawa dan Menangis Cap Agustusan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Tulisan </b>di bawah ini saya buat pada kisaran Agustus 2006. Sekarang, menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-69, saya membacanya lagi, dan saya kira cukup baik untuk menengoknya lagi dan merenungkannya.</span><br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">* * *</span></div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /> Barangkali Anda, sebagaimana saya, juga sempat menyaksikan tayangan berita di televisi tentang sebuah acara perayaan tujuhbelasan (HUT Proklamasi Kemerdekaan RI) beberapa hari lalu (2006) di Jember. Masyarakat di sana tumpah-ruah di alun-alun guna mengikuti atau sekadar menonton sebuah acara unik: lomba tertawa. Di daerah lain (saya tidak terlalu memperhatikan di daerah mana), dalam rangka perayaan yang sama, ada yang menggelar lomba menangis. Konon, lomba tertawa di Jember itu, di samping untuk memeriahkan perayaan tujuhbelasan, juga sebagai bentuk “perlawanan” terhadap nasib kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, yang menurut mereka selalu tidak menentu. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhB5Y-hXLKWtxmd2wO74K7erm9fz4y5T8jf4MFI-z6ZxYfzi0tGau9NW3VLd_Hh-PlghzeKwz64KA1cSoK5ylOIrnBZSaeEX5l99r4h5PGD05VAB8pyNi7h8mFfA0CPYWPp5T_kVXm6oOLG/s1600/DSCN3157.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhB5Y-hXLKWtxmd2wO74K7erm9fz4y5T8jf4MFI-z6ZxYfzi0tGau9NW3VLd_Hh-PlghzeKwz64KA1cSoK5ylOIrnBZSaeEX5l99r4h5PGD05VAB8pyNi7h8mFfA0CPYWPp5T_kVXm6oOLG/s1600/DSCN3157.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Seorang warga transmigran Jawa di Kalimantan Barat menyiapkan perayaan Hari Kemerdekaan | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Kenapa harus tertawa? Dan buat apa menangis? Disadari ataupun tidak, tawa adalah salah satu bentuk ekspresi dari keadaan emosi tertentu. Begitu pula dengan tangis. Barangkali, kedua bentuk ekspresi emosional ini adalah jajaran ekspresi tingkat pertama yang dilahirkan oleh manusia-manusia pertama zaman dulu, sehingga keduanya bisa disebut sebagai ekspresi primitif manusia, bahkan binatang. Keduanya terus lekat dalam sejarah peradaban manusia, sebagaimana hidup dan mati, hingga kita warisi saat ini. Bahkan, sebentuk tawa atau tangis adalah cerminan dari kematangan budaya seorang manusia. Dengan kata lain, dengan kita melihat bagaimana seseorang tertawa atau menangis, kita sebenarnya bisa membaca corak budaya macam apa yang dilakoni orang itu untuk mengarungi hidupnya sebagai manusia. Maka, tawa adalah simbol budaya, bahkan peradaban hidup seseorang. <br /><br /> Namun, bukan soal tawa dan peradaban itu yang ingin saya bicarakan di sini. Kasus lomba tertawa dan menangis di atas begitu menarik bagi saya, bukan karena ia unik dan menghibur; namun karena muatan simbolik yang dikandungnya, sesuai dengan konteks permasalahan yang menjadi objek tertawaan. Tentu saja muatan yang saya maksud akan tepat jika benar lomba tertawa di Jember itu dijadikan suatu bentuk “perlawanan”, penyikapan, pengekspresian, atau tanggapan terhadap kehidupan masyarakat di sana (yang barangkali tidak jauh beda dengan masyarakat di tempat lain di Indonesia). Begitu pula dengan lomba menangis itu. <br /><br /> Sekarang, taruhlah misalnya kedua acara itu diselenggarakan guna menanggapi permasalahan yang sama, yaitu nasib kehidupan masyarakat, rakyat Indonesia umumnya (baca: kita!). Maka secara langsung maupun tidak, para peserta lomba itu tengah menertawai atau menangisi dirinya sendiri, kehidupannya sendiri (baca: kehidupan kita!) yang tidak menentu di masa 61 tahun kemerdekaan negara ini (dan sekarang, 2014: 69 tahun). Hidup yang seringkali digempur oleh berbagai realitas janggal yang berseliweran dengan nyata di urat nadi kita. Ironisnya, kejanggalan-kejanggalan itu banyak lahir dari ekses kebijakan para pengayom dan pelayan masyarakat, yaitu pemerintah. Kita seakan sedang menonton sebuah pertunjukan drama tragikomedi, yang dengan mudah membuat kita tertawa terbahak-bahak, dan dengan mudah membuat kita tersedu dalam selang waktu yang tak seberapa. Kita terbahak karena ia memang lucu; dan karena ia ironis sekaligus tragis, kita pun menangis. Tawa dan tangis itu terjadi dalam ketiba-tibaan, seakan keduanya tak memiliki jarak sedikit pun. <br /><br /> Bayangkanlah seperti kita melihat seekor binatang yang memiliki karakter lucu sekaligus menyedihkan. Binatang itulah kehidupan kita. Dan kita berjalan di dalamnya. Dalam ambang tangis dan tawa. Dalam harga BBM yang dinaikkan, padahal pada harga lama saja banyak rakyat yang tak sanggup beli. Dalam standar nilai ujian nasional yang dinaikkan, padahal gedung sekolah saja atapnya sudah ambrol. Dalam lumpur yang meluap…<br /><br /> Menertawai atau menangisi diri sendiri, dalam kedalaman maknanya, adalah laku dan sikap yang reflektif, dan bisa jadi: kontemplatif. <br /><br /><i> Jembrana, 2006 - Jogja, 2014</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-82607556770897151082014-07-30T17:30:00.000+08:002016-07-07T09:05:27.173+08:00Mabuk Seni di Dublin, Mabuk Bir di Temple Bar <span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Petugas </b>imigrasi bandara internasional Dublin menanyai saya dengan raut wajah kaku dan nada suara introgatif. Saya keder. Apalagi bahasa Inggris saya jauh di bawah garis terbatas. Namun anehnya, setelah ia bertanya apa pekerjaan saya di Indonesia, dan saya menjawab bahwa saya seniman, kekakuan dan asosiasi superior itu berubah menjadi cair dan penuh penghargaan. Ketika memasuki Dublin, baru saya paham, betapa seni selalu dihargai dan dirayakan di ibukota Irlandia ini.</span><br />
<br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Sebagaimana sebagian kota-kota di Irlandia, Dublin adalah kota pelabuhan yang cukup besar. Memasukinya kita disambut koak burung-burung camar yang beterbangan di udara kota. Menjelajah kota Dublin sangatlah mudah. Berbagai fasilitas transportasi, mulai dari bus, <i>luas</i>, atau persewaan sepeda, dengan mudah kita temui. Hanya dengan € 6, bus bertingkat yang nyaman, dengan sopir yang ramah, siap mengantar kita keliling Dublin. Namun menjelajah dengan berjalan kaki tetap yang teristimewa.</span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJPvfPZ5PTsU9w6b-uX3pkCkesTrlp_uKtp3BCpPQ6u1pydB2cbupaNQ339XsPI_faGJvJ9fkneNceUzxf89d5Bak3B96QbcwDuRGDBI9cNqxcRsbh_mX8gfxsjOBmVer67nokuPWvwhAp/s1600/DSCN9778.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJPvfPZ5PTsU9w6b-uX3pkCkesTrlp_uKtp3BCpPQ6u1pydB2cbupaNQ339XsPI_faGJvJ9fkneNceUzxf89d5Bak3B96QbcwDuRGDBI9cNqxcRsbh_mX8gfxsjOBmVer67nokuPWvwhAp/s1600/DSCN9778.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Poet Corner di tepi Liffey River | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b><br /></b></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Menyusuri Tepian Liffey River </b><br /> Berjalan kaki menyusuri jalan di tepian Liffey River dan mengunjungi Temple Bar adalah pilihan yang jitu. Liffey River adalah sungai yang membelah Dublin dan bermuara di Dublin Port. Rata-rata dalam jarak tempuh lima menit dengan berjalan kaki, kita bisa menemui dua jembatan untuk menyeberangi sungai. Beberapa jembatan dinamai untuk mengenang, mengabadikan dan menghormati seniman-seniman besar Irlandia, seperti James Joyce Bridge, Seán O’Casey Foot Bridge atau Samuel Beckett Bridge. <br /> <br /> Ha’Penny Bridge yang masuk dalam jajaran jembatan tertua di Liffey River, merupakan jembatan khusus pejalan kaki yang namanya merupakan kependekan dari <i>half a penny</i>. Dahulu, untuk menyeberang jembatan besi yang dibangun pada 1816 ini dikenakan dari tarif setengah <i>penny </i>(sen), namun mulai digratiskan sejak 1919. Gambar jembatan ini menjadi ilustrasi sampul cetakan terbaru novel <i>Ulysses</i>, karya <i>masterpiece </i>James Joyce, sastrawan terkemuka Irlandia. Pada sebuah toko buku di pinggir Liffey River, novel setebal 682 halaman edisi Wordsworth Editions ini bisa diperoleh hanya dengan € 2.99. <br /> <br /> Sekitar 20 menit berjalan kaki ke arah timur dari Ha’Penny Bridge, kita sampai di Samuel Beckett Bridge yang berarsitektur cantik. Siapa yang tak tahu Samuel Beckett, sastrawan besar kelahiran Irlandia yang terkenal dengan karya-karya drama absurdnya. Tepat di sebelah barat Samuel Beckett Bridge adalah Seán O’Casey Foot Bridge. Seán O’Casey juga sastrawan Irlandia, yang salah satu karya dramanya, <i>Juno and the Paycock</i>, akan dipentaskan sepanjang September-November 2011 di Abbey Theatre. <br /> <br /> Abbey Theatre merupakan <i>company </i>sekaligus gedung teater yang juga terletak di pinggir Liffey River, sekitar sepuluh menit berjalan kaki ke arah barat dari Seán O’Casey Foot Bridge. Sepanjang Juni sampai pertengahan Agustus ini Abbey Theatre menggelar pertunjukan teater <i>Translations</i>, karya sastrawan terkini Irlandia, Brain Friel. Teater bergaya realis yang menggunakan bahasa Irlandia dan Inggris ini bercerita tentang masa kolonial Inggris di Irlandia, di mana Inggris berusaha memusnahkan bahasa Irlandia dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Nama-nama tempat pun diganti dengan nama yang familiar dengan <i>spelling </i>Inggris. Sampai sekarang hanya terdapat segelintir generasi tua Irlandia yang bisa berbahasa Irlandia. <br /> <br /> Hanya sekitar tiga menit berjalan kaki ke arah timur dari Abbey Theatre, masih di pinggir Liffey River, kita bisa sampai di depan Custom House, bangunan berarsitektur Gregorian dari tahun 1791 yang didesain oleh James Gandon. Berjalan 10 menit ke arah barat dari Custom House, kita bisa singgah menikmati anggur atau bir di Poet Corner, sebuah bar dengan dinding berwarna hijau yang dipenuhi petikan-petikan puisi karya penyair-penyair Irlandia, lengkap dengan foto-foto mereka. <br /> <br /> <b>“Kuil” di Tengah Bar</b><br /> Hanya selemparan batu di sebelah selatan Ha’Penny Bridge, kita sampai di Temple Bar. Dahulu wilayah ini dirintis oleh Sir William Temple (1555-1627), seorang pendidik dan filsuf, dengan membangun rumah dan kebun. Pada 1656, anaknya, Sir John Temple, mereklamasi wilayah sekitar tempat tinggalnya sehingga memungkinkan untuk pengembangan pembangunan. Seluruh wilayah itulah yang kemudian dikenal sebagai Temple Bar, yang kini terbentang dari Westmoreland Street sampai Fishamble Street, dengan jalanan sempit yang dilapisi lempeng-lempeng batu hitam yang menyejukkan. <br /> <br /> Temple Bar adalah tempat melancong yang tak pernah sepi dalam 24 jam, dan memiliki karakter yang berbeda antara siang dan malam harinya. Pada siang hari Temple Bar adalah tempat di mana seni dirayakan, mulai dari seniman-seniman jalanan yang mempertunjukkan musik atau <i>street theatre </i>secara profesional, hingga pameran-pameran seni rupa di galeri-galeri berkelas, termasuk Temple Bar Gallery & Studios yang terkenal. Ada pula Temple Bar Book Market, pasar buku bekas yang kecil dan tidak banyak menjual buku. Namun di sana kita dengan mudah memperoleh buku-buku karya penulis-penulis terkemuka Irlandia dan Eropa dengan harga yang lebih murah dari harga seporsi sarapan pagi. <br /> <br /> Malam hari Temple Bar berubah menjadi wilayah gemerlapan pesta dengan keriuhan musik, tawa dan teriakan dari bar-bar yang berjajar sepanjang jalan. Hiburan dalam bar pun bervariasi, mulai pertunjukan musik dan tari tradisional Irlandia, gitar dan biola klasik, hingga <i>stand up comedy</i> dan <i>story telling</i>. Di jalanan Temple Bar seorang pemuda berjalan dalam keadaan mabuk, dan mengajak tos setiap orang yang dilewatinya. Ada sebuah <i>joke </i>bahwa seseorang belum sah menjadi <i>Irish </i>(orang Irlandia) kalau belum pernah mabuk. Seorang teman <i>Irish </i>saya, William, seorang pembuat film dokumenter, berseloroh dengan mengartikan Temple Bar sebagai sebuah kuil di tengah bar. Lalu saya menambahkan, yang dipuja di kuil itu pasti “Dewa Bir”! Hahaha....<br /> <br /><i> Jogja, Juli 2011</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><b><br /></b></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-22765126689240597202014-07-29T20:45:00.001+08:002016-07-07T09:14:55.003+08:00Teater Rakyat: Reinkarnasi Teater Purba<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Pengantar</b><br />Maaf, ini bukan masalah politik praktis – karena kini kata “rakyat” menjadi sangat politis, apalagi di masa kampanye pilpres. Ini bukan pula masalah dikotomi teater rakyat dan teater istana yang kerap digunakan untuk memilah teater tradisi kita di Nusantara. Ini adalah masalah bagaimana meneguhkan kembali ikatan antara teater dengan rakyat.</span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Jika kita sepakat bahwa teater lahir dari rakyat atau masyarakat kebanyakan, maka mengapa perkembangan teater kontemporer justru menjauhi rakyatnya? Teater menjadi sosok eksklusif yang asing bagi masyarakat kebanyakan. Jarang muncul teater yang mencerminkan identitas atau masalah-masalah spesifik masyarakat kebanyakan. Demikian pula publik teater (masyarakat teater) yang tak seberapa itu belum bisa diidentifikasi secara utuh siapa sebenarnya mereka. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjo7NO18vc6YpkrX5MmLeBJkBOYiOyXNHY0si1wVWQ3n61YZamHYLCo8qsR4RhAQGg7LEAPQtodVO-f-1mw1WeuhWvhPgJ_Bfh0R-wsV1RxADrLOrpDWx2Ht-nxyXg1Gg-W_8RPnI1BHX4/s1600/syukuran+tgl+1+maret+049.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjo7NO18vc6YpkrX5MmLeBJkBOYiOyXNHY0si1wVWQ3n61YZamHYLCo8qsR4RhAQGg7LEAPQtodVO-f-1mw1WeuhWvhPgJ_Bfh0R-wsV1RxADrLOrpDWx2Ht-nxyXg1Gg-W_8RPnI1BHX4/s1600/syukuran+tgl+1+maret+049.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Warga sebuah desa di lereng Gunung Merapi tengah menyaksikan sebuah pertunjukan rakyat | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />Salah satu gerakan yang mencoba “mengembalikan” teater kepada rakyat adalah “teater rakyat”. Puskat, salah satu pengembang teater rakyat di Yogyakarta, menyebut teater rakyat sebagai adaptasi dari luar (di antaranya metode Augusto Boal yang telah dikembangkan Philippine Educational Theater Association – PETA) yang bertujuan menyuarakan suara rakyat kecil “<i>the voice of voiceless</i>”. Pertunjukan teater yang ditampilkan ditujukan untuk mengangkat masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat yang selama ini terabaikan. Teater rakyat bisa dijadikan sebagai salah satu sarana untuk berkomunikasi dan memecahkan permasalahan melalui seni budaya. Para peserta teater rakyat diajak mengalami proses pembelajaran agar lebih peka terhadap permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. <br /><br />Dengan mengetengahkan premis “Teater rakyat: mana teaternya, mana rakyatnya?”, Temen Ngobrol #2 mengobrolkan masalah di atas bersama Budi S Gemak, seorang pegiat teater rakyat, sebagai <i>temen ngobrol</i>. Salah satu pendiri Institut Teater Rakyat Yogyakarta (1992) ini telah lama menggunakan teater untuk melakukan kerja fasilitasi dan advokasi untuk rakyat, terutama untuk rakyat yang masuk kategori kelas termarjinalkan. Budi S Gemak juga merupakan anggota kelompok bermain Boal (2014). Berikut hasil obrolan dalam Temen Ngobrol #2 yang berlangsung di <i>basecamp</i> <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a>, Jl. Perintis, Jeblog, DK III, RT 01, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat, 27 Juni 2014, 19.00 s.d. 22.00 WIB, dengan temen ngobrol Budi S Gemak dan moderator Andika Ananda. Partisipan yang hadir pada malam itu antara lain: Peralihan Pertiwi Ideagoesvita, Maya, Waris Lakek, Okta Perek, Noni, Egbert Wits, MN Qomaruddin, Joned Suryatmoko, Qieruns, Dina Triastuti, Tembong Siswodiharjo dan Ibed Surgana Yuga. <br /><br /><b>Dongeng Teater Purba</b><br />Baiknya tulisan ini diawali dengan sebuah dongeng sebagaimana yang didongengkan oleh Budi S Gemak. Dongeng ini adalah ilustrasi yang bagus tentang bagaimana teater purba terjadi, bagaimana hubungannya dengan teater rakyat, dan bagaimana kemudian kepentingan kekuasaan masuk dalam masyarakat, termasuk dalam dunia teater. <br /><br />Ketika zaman purba, kehidupan masih nomaden dan menggantungkan hidup dari berburu, manusia memiliki kebiasaan berpesta yang biasa dilakukan setelah masa berburu yang cukup lama. Di antara berkobarnya api unggun, salah satu dari mereka berdiri dan bercerita, “Dalam perburuan kemarin aku sama sekali tidak mendapat binatang buruan. Kami sekeluarga terpaksa harus bergantung pada saudara-saudara yang banyak mendapat hasil buruan, agar bisa tetap bertahan hidup sampai masa berburu selanjutnya.” <br /><br />Seorang lain maju menanggapi, “Kok kamu bisa-bisanya tidak dapat hasil buruan? Lihat, aku dapat tiga ekor kijang.” <br /><br />Yang mengeluh tadi bertanya, “Lho, bagaimana caranya?” <br /><br />Yang ditanya tadi balik bertanya, “Sekarang aku tanya, bagaimana caranya kamu berburu?” <br /><br /> “Begini, ketika aku ketemu seekor kijang, berdiri persis di depanku, aku tatap matanya, kubidik, lalu kulepas anak panahku. Cuuussshhh...!” ceritanya sambil memperagakan. “Tapi tidak kena. Kijangnya lompat dan lari.” <br /><br />“Wooo.., keliru! Lihat caraku!” Lalu menasihati sambil memperagakan, “Kalau kamu lihat kijang, jangan mengahapinya dari depan. Kamu harus ambil posisi di samping kijang itu. Kalau kamu dari samping, kamu akan dapat bidang tembak yang lebih luas. Dengan cara itu, aku dapat tiga ekor kijang.” <br /><br />Tiba-tiba seseorang lain lagi maju dengan semangat. “Itu cara kuno! Ini lihat, saya dapat enam ekor kijang!” <br /><br />Yang lain tersentak heran dan penasaran bagaimana caranya. <br /><br />“Bagaimana caranya? Benar yang dibilang saudara tadi, jangan dihadapi dari muka, melainkan dari samping. Tapi itu saja tidak cukup. Masih ada satu hal yang harus diperhatikan, yaitu arah angin. Jangan sampai angin berembus dari arahmu membidik karena kijang akan mencium keberadaanmu. Kalau kamu pada posisi yang salah, kamu harus memutar agar berlawanan dengan arah angin,” ceritanya sambil memperagakan pula. <br /><br />Dari proses teaterikal dalam satu masyarakat pemburu yang komunal itu, muncul satu masalah tentang kegagalan berburu. Lalu ada orang lain yang memiliki dan memaparkan cara mengatasi masalah, yaitu bagaimana berburu yang baik dan benar. Sekian banyak anggota masyarakat pemburu yang menyaksikannya menjadi tahu bagaimana mengatasi masalah itu. Mereka jadi pintar dan tahu cara jitu berburu. Beginilah salah satu contoh bentuk dan tujuan yang ingin dicapai oleh teater rakyat. Teater purba semacam ini lama-kelamaan hilang saat kepentingan-kepentingan – terutama kepentingan kekuasaan – masuk ke dalamnya. <br /><br />Ada orang yang memiliki kepentingan, yang ingin berkuasa, atau yang ingin kekuasaannya dilanggengkan, masuk dan memanfaatkan tradisi bercerita setelah berburu itu untuk tujuan kekuasaannya. Ia akan mengupah seseorang untuk menyampaikan cerita baru yang mendoktrin masyarakat pemburu, agar kepentingan kekuasaannya tercapai. Orang yang diupah itu akan bercerita, “Aku dapat 20 ekor kijang!” <br /><br />Seluruh masyarakat pemburu terhenyak. Luar biasa. Belum pernah ada pemburu yang mencapai jumlah itu. <br /><br />“Begini caranya, sebelum aku berangkat berburu, kupukul tanah tiga kali, sambil menyebut nama kepala suku kita. Dengan cara itu, 20 ekor kijang terkapar oleh anak panahku. Begitu seterusnya, hasil buruanku semakin bertambah dengan cara itu. Lalu setelah berburu kuserahkan dua ekor kijang kepada kepala suku.” <br /><br />Kebiasaan untuk menjadi pintar, menyadari permasalahan bersama dan menemukan solusi permasalahan perlahan hilang karena mulai masuknya kepentingkan kekuasaan. Masyarakat komunal pemburu pun mulai terhegemoni kekuasaan pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kehidupan masyarakat. Kondisi ini kemudian dikultuskan, diritualkan, dan mentradisi. Muncullah ritual yang menjadi tradisi suku itu. <br /><br />Selanjutnya kepala suku semakin tinggi kekuasaannya, masyarakatnya semakin banyak, kepala suku menjadi raja, kesatuan suku berkembang menjadi kesatuan kerajaan yang berpusat di istana. Dan teater pun berkembang menjadi teater istana yang hanya boleh dipentaskan di (atau atas kepentingan) istana dan hanya orang tertentu yang boleh menjadi pelakunya. Rakyat kebanyakan hanya menjadi penonton, dan masalah-masalah yang muncul di tengah rakyat diwakilkan lewat pelaku-pelaku atau aktor-aktor teater istana. Proses ini menyertakan semacam filter yang menyaring masalah mana saja yang boleh dan yang tabu diangkat dalam pertunjukan teater istana. Teater istana mewujud sebagai pengendali berbagai aspirasi rakyat. Di sisi lain, melaluli doktrinasi yang dikultuskan, rakyat (dipaksa untuk) merasa terwakilkan oleh teater istana. Ini adalah sebuah halusinasi yang diciptakan penguasa istana.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Menurut Gemak, teater rakyat sebagai metodelogi ingin
menghidupkan kembali spontanitas, improvisasi, dan proses belajar yang
ada dalam teater purba di atas. Mengapa harus dihidupkan lagi? Karena
sekian lama masyarakat telah dikungkung dalam proses yang halusinatif di
atas; seakan-akan dengan menonton saja rakyat sudah dianggap terlibat
dalam teater itu, terlibat dalam permasalahan yang diangkat. Kondisi
inilah yang ingin dibebaskan oleh gerakan teater rakyat, sehingga rakyat
menyadari kondisinya yang terepresi. <br /><b> </b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Akar Teater Rakyat dan Teater Rakyat di Indonesia</b><br />Gemak
mengenal teater rakyat melalui Puskat (Pusat Kateketik, Yogyakarta),
yang dikembangkan oleh Fred Wibowo. Teater rakyat di Puskat merupakan
pengembangan dari teater rakyat yang dikembangkan Philippine Educational
Theater Association (PETA). Teater rakyatnya PETA berakar pada teater
rakyat di Amerika Latin, yang dikembangkan oleh Augusto Boal sebagai
perlawanan terhadap penguasa yang represif. Di sana penguasa, pemodal
dan militer bersekongkol untuk menindas rakyat yang tak berdaya. Teater
dijadikan media untuk mencerdaskan dan menyadarkan rakyat akan kondisi
mereka yang terepresi, sehingga mereka bisa menemukan solusi untuk
keluar dari kondisi itu. Menurut Gemak, teater rakyat pada era
1980-1990-an berkembang di Indonesia sebagai imbas keberangkatan
beberapa tokoh teater ke Filipina untuk mendapatkan <i>training </i>di
PETA. Beberapa tokoh yang berangkat ketika itu, di antaranya: Fred
Wibowo, Simon HT, Emha Ainun Nadjib, Joko Kamto, dan ada lagi Landung
Simatupang yang membatalkan keberangkatannya. <br /><br />Gemak sendiri mempelajari teater rakyat di Puskat – salah satunya bersama Joned Suryatmoko, sutradara Teater Gardanala – secara <i>gratul-gratul</i>,
sebab menurutnya tidak dengan serta-merta konsep teater rakyat yang
dikembangkan PETA bisa diterapkan di Indonesia. PETA mengaplikasikan
teater rakyatnya pada masyarakat Filipina yang homogen, sehingga konflik
antargolongan sangat kecil skalanya. Sedangkan kita di Indonesia yang
heterogen, memiliki potensi konflik yang besar. Penerapan teater rakyat
di Indonesia menemui banyak kendala, terutama dalam hal
keberlanjutannya. Teater rakyat di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri;
harus menjadi bagian dari proses pengorganisasian masyarakat, bukan
menjadikannya sebagai suatu kelompok teater yang independen (dari
organisasi masyarakat) di tengah masyarakat. Dengan kata lain, teater
rakyat ada di dalam organisasi masyarakat, sehingga diharapkan
organisasi ini menjaga keberlanjutan teater rakyat. Teater berperan
sebagai media bagi organisasi untuk mengembangkan masyarakat. <br /><br />Ketika
mendengar istilah “teater rakyat”, orang akademis cenderung akan
berpikir tentang dikotomi teater rakyat dan teater istana yang digunakan
untuk mengidentifikasi teater tradisi di Nusantara. Selanjutnya akan
muncul istilah lain yaitu teater daerah, teater Nusantara, teater
kampung, dan sebagainya. Egbert Wits yang menjadi salah satu pengawal
program teater pemberdayaan yang diinisiasi Yayasan Kelola mengomentari
masalah penamaan ini melalui perbandingan dengan tradisi rakyat Belanda
di masa lalu. Di sana ada yang disebut dengan <i>folk theatre</i> atau <i>people’s theatre</i>,
merupakan suatu kebiasaan rakyat menciptakan peristiwa teaterikal
secara improvisatoris pada saat berkumpul di hari-hari perayaan, sebagai
representasi dari kejadian-kejadian menarik dalam kehidupan mereka. Ini
merupakan bentuk teater yang sederhana, namun menjadi wadah yang
efisien bagi rakyat untuk merefleksikan momen-momen penting dan menarik
dalam kehidupan mereka. Menurut Egbert, <i>folk theatre</i> adalah
teater rakyat dalam arti sebagai suatu bentuk teater, sedang teater
rakyat yang dikembangkan PETA adalah teater rakyat sebagai metode. <br /><br />Gemak menyebut terminologi “teater rakyat” merupakan terjemahan dari “<i>popular theatre</i>”.
Ada juga yang menyebutnya sebagai teater penyadaran, teater pembebasan,
teater pemberdayaan. Sedang Joned Suryatmoko berpendapat bahwa memang
istilah <i>popular theatre</i> dan <i>people’s theatre</i> diterjemahkan menjadi “teater rakyat”, namun ia sendiri cenderung setuju pada konsep <i>people’s theatre</i>.
Walaupun perbedaan pengertian kedua istilah ini sangat tipis, namun
secara konseptual keduanya merujuk pada pengertian rakyat yang berbeda. <i>Popular theatre</i>
menurut Joned merujuk pada kesenian yang tumbuh di masyarakat, dalam
pengertian yang lebih organik. Namun ini hanya menyebut rakyat sebagai
sumber teaternya saja. Sedangkan <i>people’s theatre</i> menyebut rakyat (<i>people</i>) dalam pengertian politis, dalam hubungannya dengan kekuasaan. Itu sebabnya ada istilah <i>people’s power</i> di Filipina ketika ada gerakan menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos. Jadi istilah <i>people’s theatre</i> memang merujuk pada rakyat, rakyat yang tertindas. <br /><br />Gemak
mencoba merumuskan dari mana akar teater rakyat ini lebih dalam.
Menurutnya, dalam dunia teater, konsep dan metode teater Augusto Boal
berakar pada pemikiran Bertolt Brecht tentang realisme-sosialis, yang
mana teater tidak lagi mengangkat tema-tema yang bersumber dari
kehidupan istana atau kaum elit, namun mengangkat tema-tema sosial yang
membuka kesadaran masyarakat tentang situasi yang ada di hadapan mereka.
Di dunia ilmu, pengaruhnya datang dari Paulo Freire yang dikenal dengan
konsep pendidikan untuk kaum tertindas. Boal kemudian menerjemahkan
kedua pemikiran itu dalam suatu konsep dan metode teater untuk kaum
tertindas. Egbert menambahkan bahwa Boal bukan hanya terpengaruh Freire
dalam hal pendidikan untuk kaum tertindas, namun juga gagasan Freire
tentang “orang yang harus menciptakan dunianya sendiri”. Pemikiran
Freire ini berangkat dari kondisi dunia pendidikan yang dianggap
menyeragamkan individu sehingga dicekoki dengan model pengetahuan yang
sama, padahal pendidikan mestinya bisa menjadi jembatan bagi orang untuk
menggambarkan dan menciptakan dunianya sendiri. Orang baru bisa
berkembang ketika ia bisa menciptakan dunia sendiri, bukan menerima
begitu saja keadaan atau arus dunia – yang potensial menghanyutkan. <br /><br /><b>Teater Rakyat yang Relevan </b><br />Menurut
Joned, sebagaimana wawancaranya dengan tokoh Puskat, sebenarnya teater
rakyat di Indonesia tidak murni berasal dari PETA. Teater rakyat ini
merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang (mungkin) <i>ultimate</i>,
puncak, dari Puskat, yang berhasil melokalkan konsep teater Augusto Boal
dan PETA ke dalam konteks masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam hal
penulisan naskah yang dihubungkan dengan bentuk-bentuk teater tradisi.
Konsep teater PETA secara bentuk lebih fisikal, sedangkan pihak Puskat
memandang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat oral, sehingga budaya
bertutur sangat penting dan efisien dalam komunikasi masyarakat. Dari
analisis ini muncullah teater rakyat yang dikembangkan oleh Puskat. <br /><br />Joned
melihat bahwa di Indonesia sekarang sudah jarang ditemukan (istilah)
teater rakyat, karena memang semakin tidak relevan apa yang disebut
sebagai rakyat. Joned sepakat dengan Lono Simatupang yang menyebutnya
sebagai teater pemberdayaan, yang menurutnya memiliki agenda yang lebih
jelas, yaitu memberdayakan masyarakat. Joned sendiri juga mengkritisi
metode teater rakyat yang selalu berasumsi bahwa rakyat ditindas oleh
struktur, sistem, sehingga rakyat dianggap sebagai agen yang pasif.
Sedangkan seharusnya harus ditilik juga bahwa ada masalah dalam relasi
antaranggota masyarakat berhunbungan dengan mental mereka. Di samping
itu, teater rakyat selalu langsung dengan mencari masalah yang ada di
masyarakat, lalu masyarakat diajak memetakan masalah mereka sendiri. Ini
menurut Joned seperti mengajak orang lapar untuk membahas mengapa ia
lapar. Mestinya teater rakyat bisa mengajak masyarakat untuk
bersenang-senang, bergembira, membuatnya menjadi sadar, lalu baru diajak
untuk menilik permasalahannya. <br /><br />Tentang teater rakyat yang
diadopsi dari Augusto Boal, Egbert juga mencoba mengkritisinya,
berdasarkan pengalamannya beberapa tahun mengawal proyek teater
pemberdayaan di Indonesia. Ia setuju dengan Joned bahwa sudah tidak
relevan lagi kini memulai dengan pemetaan masalah. Egbert memaklumi
mengapa Boal melakukan metode dengan mengedepankan masalah, sebab
kondisi sosial-politik di Amerika Latin ketika itu memang sangat
represif dan itu menjadi masalah utama. Dalam atmosfer masyarakat
Indonesia kekinian, menggiring untuk memetakan masalah terlebih dahulu
lebih baik diubah dengan metode yang lebih layak, yaitu memetakan
hal-hal positif, seperti harapan, cita-cita, mimpi, aspirasi dan
sebagainya. <br /><br />MN Qomaruddin yang pernah terlibat <i>workshop </i>bertajuk
kreativitas berbasis kesenian di Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK,
Yogyakarta), memiliki pengalaman tentang bagaimana kelemahan penerapan
metode yang mengutamakan masalah ini. Dalam sebuah <i>workshop </i>yang
diselenggarakan YBK untuk para PNS, tiba-tiba ada seorang peserta yang
marah dan tersinggung. Para peserta adalah orang yang sangat mengerti
sistem dalam birokrasi, dan fasilitator kemudian ujuk-ujuk berbicara
tentang masalah kebobrokan sistem, ruwetnya birokrasi pemerintahan, dan
sebagainya. Inilah barangkali pentingnya bagaimana fasilitator harus
memahami betul permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang akan
dimasukinya, termasuk bagaimana permasalahan itu beroperasi di dalamnya.<b> </b></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Bentuk Teater Rakyat dan Posisi Seniman </b><br />MN
Qomaruddin sebagai pelaku teater, seniman, mempertanyakan apa posisinya
jika ia terlibat dalam proses teater rakyat? Apakah bisa dikatakan
bahwa ia juga berposisi sebagai rakyat? Atau posisinya sama dengan
ketika ia berproses teater dalam rangka menciptakan pertunjukan dengan
sesama pelaku teater? Menjawab pertanyaan ini, Gemak memberi gambaran
yang lebih luas. Teater rakyat adalah teater (baik proses latihan maupun
pertunjukannya) yang dilakukan, diciptakan dan dipertunjukkan oleh dan
untuk rakyat dalam sutu kesatuan wilayah dan komunitas pelaku serta
penontonnya. Jika teater itu kemudian dipentaskan di sebuah panggung
teater di Jakarta, misalnya, ia telah keluar dari konteks dan batasan
teater rakyat. Namun bisa jadi sesama seniman membuat suatu pertunjukan
teater rakyat, yang mana penontonnya juga sesama seniman yang memiliki
pandangan, latar belakang, kegelisahan, permasalahan yang sama, sehingga
tema dari teater itu menjadi semacam kesepakatan dan kesadaran bersama
para seniman itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa batasan rakyat
dapat dilihat dari segmentasi atau lokusnya. <br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Gemak
mencontohkan pengalamannya, misalnya, ketika pertama kali ia menerapkan
teater rakyat pada 1992 di Dusun Tanen, daerah Kaliurang, teater
dilatihkan dan dipertunjukkan oleh masyarakat dusun itu, mengangkat
permasalahan lokal dusun, dan ditonton oleh masyarakat dusun itu pula.
Demikian pula ketika teater rakyat diterapkan kepada anak jalanan. Yang
melakukan adalah anak jalanan, dengan mengangkat permasalahan hidup
mereka dan pertunjukannya ditonton oleh kalangan anak jalanan pula.
Gemak sebagai seniman berposisi sebagai fasilitator yang hanya
mendampingi dan tidak memiliki kapasitas dalam menentukan masalah yang
diangkat, apalagi bermain dalam pertunjukan. Jika seniman yang bukan
anggota dari masyarakat ikut ambil bagian menentukan tema dan
permasalahan, apalagi ikut bermain, berarti seniman sendiri bertindak
sebagai penguasa baru yang merepresi masyarakat melalui perannya dalam
proses teater itu. <br /><br />Dari segi bentuk pertunjukan, teater rakyat
bisa berbentuk apa saja, biasanya mengutamakan lokalitas budaya
masyarakatnya, yang jelas muatan-muatannya berupa permasalahan bersama
para pelaku teater dan penontonnya, yang mana hal ini menunjukkan bahwa
mereka adalah suatu masyarakat yang memiliki konsensus bersama. Pada
akhirnya metode teater rakyat memang bisa digunakan oleh siapa pun untuk
tujuan atau orientasi tertentu, misalnya kampanye, agitasi, propaganda,
pemberontakan dan sebagainya. Gemak menduga bahwa Lekra pada dekade
1950-1960-an juga mengembangkan metode yang mirip dengan teater rakyat,
hanya saja tujuannya mengarah kepada ideologi politik. Menurutnya, PETA
sekarang juga sudah tidak lagi menerapkan metode dengan mengutamakan
masalah dan menjajagi metode baru yang lebih pas. <br /><br />Gemak
menegaskan bahwa dalam teater rakyat tidak ada sutradara (murni),
“sutradara”-nya adalah bagian dari masyarakat, dan hanya berposisi
sebagai semacam moderator yang mengakomodir berbagai ide dari
masyarakat. Selain itu, tidak ada naskah tertulis, karena yang
disampaikan adalah masalah masyarakat secara spontan, improvisatoris.
Selanjutnya teater rakyat sebaiknya mudah dan murah. Mudah, bisa
dilakukan oleh siapa saja, bagian dari masyarakat. Murah, dapat
memanfaatkan potensi yang ada, tanpa harus mendatangkan sumber daya dari
luar masyarakat itu. Dalam hal hubungan penonton dengan pertunjukan,
tidak ada batasan tentang mana penonton dan mana penampil. Semuanya
berada dalam satu ruang yang terlibat, berdialog bersama, menyampaikan
aspirasi bersama. <br /><br />Egbert juga bercerita tentang bagaimana di
Eropa sejak tahun 1970-an teater telah diaplikasi dalam berbagai bidang
yang sangat luas, yang beberapa di antaranya juga dilakukan di
Indonesia. Misalnya, teater digunakan sebagai media edukasi siswa di
dalam kelas seperti untuk mengajar matematika, fisika, geografi dan
sebagainya. Teater juga sering digunakan sebagai metode terapi, misalnya
bagi pecandu alkohol dan pengidap gangguan kejiwaan. Di Belanda, teater
malah diterapkan dalam perusahaan-perusaaan besar, di mana para pekerja
manajemennya di-<i>training </i>dengan metode teater. Menurutnya, aplikasi teater semacam ini juga berakar dari konsep dan metode Boal. <br /><br /><b>Indikator Keberhasilan Teater Rakyat</b><br />Gemak
memaparkan bahwa indikator keberhasilan proses teater rakyat adalah
rakyat atau masyarakat memiliki kesadaran untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dan penentuan arah pembangunan di wilayahnya, yang
mana sebelumnya proses ini didominasi oleh kalangan elit atau penguasa
wilayah. Dalam kondisi dominasi penguasa yang tinggi, rakyat tidak punya
media untuk merumuskan kebutuhan hidup mereka secara langsung. Yang
terjadi adalah penguasa yang mengasumsikan kebutuhan rakyat, yang mana
asumsi ini kemudian dijadikan dasar untuk menentukan kebijakan
pembangunan. Melalui teater rakyat, berbagai masalah dan kebutuhan riil
rakyat dirumuskan, dianalisis, lalu disampaikan secara kreatif, sehingga
bisa diterima oleh rakyat banyak di wilayah itu sebagai aspirasi dan
kesadaran bersama. Rakyat digiring untuk menyuarakan aspirasinya.
Selanjutnya, rakyat diharapkan bergerak mencari solusi untuk mengatasi
permasalahan bersama itu. <br /><br />Bagaimana seniman teater terjun ke
tengah masyarakat ketika sebenarnya masyarakat tidak memiliki masalah,
dan justru para seniman yang masuk ke sana yang mengasumsikan bahwa
masyarakat itu memiliki masalah? Hubungannya dengan struktur atau
sistem, tidakkah seniman yang masuk ke dalam masyarakat justru punya
potensi menjadi sebuah sistem baru yang justru memperparah kondisi
masyarakat? <br /><br />Menurut Gemak, secara realitas tidak ada manusia
tanpa masalah, apalagi masyarakat Indonesia dari dulu hingga kini. Yang
harus dilakukan teater rakyat adalah membuka kesadaran masyarakat
tentang suatu masalah dan penemuan solusinya. Tentang seniman yang masuk
ke masyarakat dan dikhawatirkan menjadi hegemoni baru, Gemak
menjawabnya dengan sebuah pengalamannya. Pada tahun 1996, setelah erupsi
Merapi, masyarakat di sebuah desa ditekan oleh penguasa untuk
merelokasi desa mereka, padahal di sana masuk daerah aman dari jangkauan
erupsi Merapi. Namun isunya ternyata di sana akan dibangun sebuah
monumen besar karya Soeharto. Gemak bersama Joned dan rekan lainnya
masuk ke sana untuk melihat bagaimana keinginan yang sebenarnya dari
masyarakat. Ditemukan bahwa masyarakat diintimidasi, dipecah, sehingga
muncul konflik horisontal. Gemak dan kawan-kawan masuk dengan metode
teater rakyat ke sana, mengajak masyarakat berpikir tentang masalah
mereka, memetakannya, lalu merumuskan suatu harapan ideal dari
masyarakat itu. Masalah itu lalu dituangkan dalam sebuah pertunjukan,
namun ternyata ada perlawanan dari penguasa setempat dan golongan
masyarakat yang kontra. Pengalaman ini menunjukkan tidak adanya
penyelesaian yang terjadi, justru yang terjadi adalah konflik. Namun
menurut Gemak, hasil yang dicapai adalah konflik yang sebelumnya berada
di bawah tanah, tersembunyi, menjadi muncul ke permukaan. Memang konflik
ini tidak teratasi serta-merta. Namun lama-kelamaan karena ada yang
masih bertahan, enggan direlokasi, akhirnya relokasi pun dibatalkan.
Golongan pendukung relokasi – karena dibayar – yang sudah terlanjur
pindah, lama-kelamaan pun kembali ke desanya. Dan sampai kini desa itu
masih di sana. <br /><br /><b>Teater Rakyat dan Teater Lainnya</b><br />Berbicara
tentang Boal, Joned menyarankan jangan berpikir bahwa Boal hanya
berkutat pada teater kaum tertindas saja. Kalau dibaca dalam pengantar
bukunya tentang teater kaum tertindas, kita bisa mencermati bahwa teater
kaum tertindas hanyalah salah satu bentuk teater yang dilakoninya. Boal
juga membuat pertunjukan untuk dipentaskan di panggung. Jangan sampai
kita berpikir teater rakyat sebagai sebuah pilihan yang terkotak dan
tidak menemukan hubungan dengan bentuk dan konsep teater lainnya. Pada
masa 1980-an, banyak yang fanatik terhadap teater rakyat serta
menganggapnya sebagai bentuk teater terbaik, dan ini menjadi sumber
konflik besar. Joned menceritakan pengalamannya pentas teater rakyat
pada 1996, dan ada seorang aktivis yang berkomentar, “Teater harusnya ya
begini!” Menurut Joned, untung pendapat itu kemudian dikomentari oleh
Landung Simatupang yang menjelaskan bahwa tidak ada teater yang “harus
begini”. Teater terutama mesti berguna untuk pelakunya, lalu untuk
teater itu sendiri, dan terakhir baru untuk masyarakat. Menurut Joned,
kata-kata Landung inilah yang ia pegang sampai sekarang dalam melakoni
teater. <br /><br /><i> Jogja, Juli 2014 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-17206797778069743922014-07-29T13:00:00.000+08:002016-07-07T09:35:12.678+08:00Membaca Bali dari Candi Sukuh<span style="font-family: inherit;"><b style="font-size: x-large;"><span style="font-size: medium;">Banyak </span></b><span style="font-size: medium;">ahli seni yang menyebut wayang kulit Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit Jawa yang lebih rumit dan memiliki stilisasi bentuk yang mengarah ke perkembangan dari bentuk sederhana. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal wayang kulit Bali juga memiliki akar pada wayang kulit Jawa (pada masa yang lebih kuno)? Jawabannya tentu saja perkembangan. Namun perkembangan yang macam apa? Beberapa argumen mengatakan bahwa wayang kulit Jawa mengalami perkembangan yang pesat dan kompleks, baik secara bentuk, lakon dan filsafatnya pada masa pengaruh Islam. Sedangkan wayang kulit Bali yang tetap berada di bawah kultur Hinduisme, tidak mengalami perkembangan sebagaimana sejawatnya di Jawa. Saya sendiri baru saja mendapat jawaban (yang masih kabur) tentang perbedaan ini, setelah berkunjung ke Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"></span></div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><b>Candi Sukuh: Kembali ke Jiwa “Primitif” yang “Kasar” </b><br /> Jika kita melihat bentuk umum candi-candi di Jawa, maka ketika melihat Candi Sukuh sebagai candi Hindu, kita akan disuguhi bentuk candi yang “aneh”. Seakan ia tidak bisa dilacak dari arsitektur kebudayaan Hindu. Bentuknya yang berupa piramida, lebih mengingatkan kita pada kebudayaan Mesir, Meksiko, Peru atau Polynesia. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrRzBlDx8enZQZ24Urbvosg7fYeTLmDf0H4BP0S3SUG2TNn3Hjoo8NF2XkcNgtDaaF6H3mhuvODtVKDKRivOWssWBP2eCw7bBxh4j1qy3CGb_oDsNw-GHTBgLmDeQC6uQKmq31wveQr-1s/s1600/sukuh+experience+042.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrRzBlDx8enZQZ24Urbvosg7fYeTLmDf0H4BP0S3SUG2TNn3Hjoo8NF2XkcNgtDaaF6H3mhuvODtVKDKRivOWssWBP2eCw7bBxh4j1qy3CGb_oDsNw-GHTBgLmDeQC6uQKmq31wveQr-1s/s1600/sukuh+experience+042.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Relief di Candi Sukuh | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br />Candi Sukuh diperkirakan dibangun antara tahun 1416 dan 1459, pada masa akhir kejayaan Hinduisme di Jawa. Yang menarik, candi ini justru dibangun jauh dari pusat peradaban Hindu ketika itu, yaitu Majapahit di Jawa Timur. Ia malah lebih dekat dengan pusat Hinduisme sebelumnya, yaitu Mataram Lama di Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-9. Dugaan yang beredar adalah bahwa candi ini dibangun oleh orang-orang yang menyingkir dari Majapahit karena kerajaan itu telah dikalahkan oleh Demak. Kita tahu bahwa ketika itu pula ada eksodus orang-orang Majapahit ke Bali, yang mana kini menjadi nenek moyang sebagian besar orang Bali. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Secara garis besar, Candi Sukuh dilingkupi dengan simbol-simbol besar lingga-yoni. Di lantai gerbang masuk utama, lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan) digambarkan dengan gamblang dan cenderung bergaya realis. Pada beberapa relief dan arca, alat kelamin (terutama laki-laki) digambarkan dengan vulgar dan cenderung dibesar-besarkan. Simbol lingga-yoni sering dibaca sebagai simbol kesuburan. Saya jadi teringat sebuah relief yang menggambarkan persenggamaan yang terpahat di Pura Maduwe Karang, Singaraja. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Dari relief-relief yang ada di Candi Sukuh, terbaca tiga cerita besar, yaitu “Garudeya”, “Sudamala” dan “Dewaruci”. “Garudeya” bercerita tentang burung garuda yang menyelamatkan ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan dengan mencuri tirta amerta dari para dewa. Sadewa meruwat Dewi Durga hingga kembali menjadi Dewi Uma dalam cerita “Sudamala”. Dan Bima mencari tirta amerta di dasar samudera, hingga ia menemukan “dirinya sendiri”, yaitu Dewaruci. Dari cerita ini muncul dugaan besar bahwa Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan untuk ritual-ritual ruwatan atau penyucian. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Dari segi arsitektural, Candi Sukuh diduga dibangun dengan menyalahi pola dari kitab tentang arsitektur Hindu, yaitu <i>Wastu Widya</i>. Dalam kitab ini konon dijelaskan tentang bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengah, yang merupakan wilayah paling suci. Argumen yang kemudian muncul adalah, candi ini dibangun pada masa pudarnya kejayaan Hindu di Jawa, sehingga bentuk-bentuk yang lebih mengemuka kemudian justru dari kebudayaan yang lebih kuno dan arkaik, yaitu masa megalitik. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Argumen ini dapat kita buktikan jika melihat bentuk-bentuk yang tergambar pada arca dan relief di kompleks candi. Figur-figur yang tergambar dari pahatan batu itu terlihat lebih “kasar” dan “primitif” dibandingkan dengan berbagai figur yang terpahat pada batu-batu candi yang dibangun berabad-abad sebelumnya, seperti Prambanan dan Borobudur. Adakah ini menunjukkan bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah refleksi kembalinya jiwa “primitif” manusia setelah mengalami masa kejayaan? </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Kuatnya pengaruh budaya megalitik juga terlihat pada jalan batu yang memanjang lurus dari gerbang utama hingga menuju pintu masuk candi. Jalan batu seperti ini menurut para ahli sangat jarang ditemukan pada candi-candi umumnya di Jawa. Model jalan seperti ini hanya bisa ditemukan pada bangunan-bangunan suci prasejarah megalitik. Di Bali, jalan batu seperti ini terdapat di Desa Trunyan. Orang Trunyan menyebutnya dengan nama Jalan Batu Gede, yang menurut legenda dibangun oleh Kebo Iwo. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Namun, “keanehan” yang muncul ketika melihat Candi Sukuh barangkali bisa ditepis ketika kita naik ke puncaknya yang berupa dataran batu. Di tengah-tengah lantai batu itu bisa kita lihat batu berbentuk segi empat yang agaknya merupakan sendi, dasar atau tempat meletakkan atau menancapkan tiang kayu suatu bangunan. Dari sini muncul dugaan bahwa di atas piramida itu barangkali ada lagi bangunan tertentu dari bahan yang tidak tahan usia, seperti dari kayu, yang agaknya telah hancur. Jika benar demikian, maka candi yang berbentuk piramida sekarang ini hanyalah sebuah dasar yang lebih mirip punden berundak, prototipe dari candi-candi di Jawa. Hal ini barangkali mirip dengan bangunan <i>palinggih </i>di Bali, di mana bagian <i>baturan</i>-nya dibuat dari batu atau bata, sedangkan bagian <i>palinggih </i>atasnya terbuat dari kayu.</span> <span style="font-size: medium;"><br /><b> </b></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><b>Bali Kini di Candi Sukuh</b><br /> Jika benar Candi Sukuh dibangun oleh orang-orang yang eksodus dari Majapahit setelah keruntuhan kerajaan itu, maka mereka adalah sejawat dengan orang-orang yang juga meletakkan pengaruh budaya Majapahit di Bali. Ilustrasi saya tentang perbandingan wayang kulit Jawa dan Bali di awal tulisan ini barangkali bisa dijadikan argumen. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Pada relief-relief di Candi Sukuh ditemukan figur-figur yang sangat mirip dengan bentuk tokoh Tualen dan Merdah, keduanya adalah tokoh <i>parekan </i>atau punakawan dalam wayang kulit Bali. Figur-figur ini ditemukan bukan hanya satu-dua, namun banyak sekali. Jika kita menyimak kisah yang digambarkan relief, tampak jelas bahwa figur-figur ini dekat dengan peran <i>parekan</i>, yaitu pengiring tokoh utama. Figur-figur semacam ini tidak ditemukan dalam wayang kulit Jawa. Tokoh Semar dalam wayang kulit Jawa yang sering diidentifikasi sebagai Tualen dalam wayang kulit Bali, pada dasarnya tak memiliki kemiripan bentuk. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;">Candi Sukuh juga banyak menghadirkan figur Bima. Salah satu dugaan mengatakan bahwa candi ini memang dibangun untuk memuja Bima. Figur-figur Bima yang digambarkan pahatan batu di sini lebih dekat dengan bentuk tokoh Bima dalam wayang kulit Bali dibandingkan dengan wayang kulit Jawa. Bima dalam wayang kulit Bali digambarkan cenderung kecil dan proporsional. Sedangkan dalam wayang kulit Jawa, Bima berbentuk sangat tinggi, dengan tangan yang panjang. Selain itu, ada pula sebuah relief kepala raksasa yang bentuknya mirip dengan Barong Ket di Bali. </span> <span style="font-size: medium;"><br /> </span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Candi Sukuh sebagai salah satu produk budaya Hindu yang unik barangkali bisa dijadikan salah satu refleksi untuk membaca Bali kini. Dari sini kita bisa membaca sejauh mana sebenarnya kita telah bergerak dan sejauh mana kita “melenceng” dari jalan yang dirintis oleh para leluhur kita. <br /><br /><i> Jogja, Juli 2010 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span><br />
<span style="font-size: large;"></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-76192475073042786182014-07-29T01:04:00.001+08:002016-07-07T09:20:51.711+08:00Teater sebagai Keseharian, Pelaku Teater sebagai Manusia<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Pengantar </b><br />Teater beringsut dari kehidupan sehari-hari ke panggung, dengan kesengajaan menjadikannya tontonan. Keseharian dipampatkan, diukir, lalu dikemas, dipanggungkan. Setelah itu? Seringkali ia menghilang – seperti tepuk tangan penonton, yang segemuruh apa pun, pasti akan senyap. Selesai. Teater seringkali tak “pulang” ke keseharian. Penonton – dan parahnya lagi, kita, para pekerja teater sendiri – jarang membawanya pulang. Teater seakan ilusi sekejap dalam realitas kehidupan – terutama kehidupan kita, para pekerjanya. (Selanjutnya, yang dimaksud dengan “kita” dalam tulisan ini adalah “para pelaku teater”.)<br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Kini ada kecenderungan bahwa realitas teater berjarak (untuk tidak mengatakan: terpisah) dengan realitas keseharian. Jarak ini kian panjang ketika kita sendiri lebih percaya tepuk tangan penonton ketimbang menepuk pipi sendiri untuk mengetes apakah kita sedang berpijak di atas tanah atau mengawang di ruang ilusi. Melalui teater, kita menawarkan ide tentang tatanan yang ideal kepada penonton. Namun jarang kita bisa merumuskan apakah teater kita bisa menawarkan tatanan yang ideal bagi kehidupan pribadi kita sendiri. Apakah kita menggunakan teknik, ilmu atau metode teater kita untuk mengatasi pertengkaran dengan pasangan kita, misalnya? Apakah kita menggunakan teater untuk bertegur sapa dengan tetangga, atau untuk hal-hal remeh keseharian seperti menyapu halaman atau menggosok gigi? Ini hanyalah beberapa analogi untuk mempertanyakan apakah teater berperan dalam hidup keseharian kita. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7OKBNfU7LOYtnqfEbZNXtGBkdN-axiZ8FrZ5Kyfkb2giBaYa8zBrw9MueIiXRBWSjuA5vRPAa8KXtatPVCjDC1ZFwqERyOPFSOnc8Xrcf_9RfFxsHAUUr3VLctWdpCnuMh1rkprlakqpt/s1600/DSCN0369.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7OKBNfU7LOYtnqfEbZNXtGBkdN-axiZ8FrZ5Kyfkb2giBaYa8zBrw9MueIiXRBWSjuA5vRPAa8KXtatPVCjDC1ZFwqERyOPFSOnc8Xrcf_9RfFxsHAUUr3VLctWdpCnuMh1rkprlakqpt/s1600/DSCN0369.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tony Broer tengah berpentas di Kampus Pascasarjana ISI Jogja | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />Apakah kita juga berteater pada saat gosok gigi? Ini adalah pertanyaan simbolis yang kami ketengahkan dalam Temen Ngobrol #1, sebuah forum yang kami (<a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a>) inisiasi, guna mengobrolkan permasalahan di atas, yang kami anggap sebagai masalah yang sangat dasar bagi dunia teater kita saat ini. Kami menghadirkan Tony Broer sebagai<i> temen ngobrol</i> – semacam narasumber. Tony Broer bagi kami adalah seorang pekerja teater yang memutuskan untuk “meninggalkan” kelompoknya dan mengucapkan “<i>bye bye</i>” kepada panggung (konvensional), untuk memasukkan teater ke dalam dirinya sendiri, dan terikutserta ke mana pun ia melangkah: ke kampus, rumah, jalanan, bahkan kamar mandi. <br /><br /> Berikut <i>review </i>Temen Ngobrol #1 yang berlangsung di basecamp <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a>, Jl. Perintis, Jeblog, DK III, RT 01, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada Sabtu, 5 April 2014, 15.30 s.d. 18.00 WIB. Dimoderatori oleh Andika Ananda, partisipan yang hadir antara lain: Gandez Sholekah, Dayu Prismawati, Doni Agung Setiawan, Okta Firmansyah, Suryadi Sali, Moch. Badrul Munif, Anggie Qieruns, Dina Triastuti, Kedung Darma Romansyah, Eka Nusa Pertiwi, Rahman Yaasin Hadi, Ucup TM dan Ibed Surgana Yuga. <br /><br /><b>Panggung dan Keseharian yang Terpisah </b><br />Tony Broer bercerita tentang pengalaman keterlibatannya dengan Teater Payung Hitam selama hampir 25 tahun, yang menurutnya adalah suatu keterlibatan dan pertaruhan hidup yang sangat gila. Setiap hari, mulai bangun tidur hingga tidur kembali, ia dedikasikan dirinya untuk teater, buat Teater Payung Hitam. Namun dalam proses itu sesekali muncul pemikiran tentang kehidupan pribadinya, misalnya kapan ia harus menikah sedangkan kesehariaannya dijejali dengan teater. Dan menurutnya, ia harus menjawab pertanyaan kehidupan itu. Tony Broer mengalami kegalauan tentang bagaimana ternyata kehidupan teaternya berjarak atau terpisah dengan kehidupannya sebagai manusia sehari-hari. Teater belum bisa menjawab kebutuhan atau permasalah kehidupannya sebagai manusia yang harus menjalani hidup dari hari ke hari, bukan dari panggung ke panggung. <br /><br />Banyak orang teater yang memerankan kehidupan di panggung, namun dalam keseharian menolak kehidupan: teater dibedakan dengan kehidupan, dunia teater dipisahkan dengan dunia keseharian. Tony Broer, yang kebetulan sedang menjalani kuliah doktoralnya di Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta, bercerita tentang pengalamannya menghadapi tiga orang profesor yang hendak menguji proposal disertasinya. Tony Broer mengajukan karya “teater jalanan” yang telah menjadi kekhasannya sebagai disertasinya. Namun ketiga profesor itu rupanya tidak bisa menerimanya, karena bagi mereka itu bukan teater. Ini tentu saja masalah perangkat teori dalam keilmuan teater di Indonesia yang belum menyentuh subjek sebagaimana yang dilakukan oleh Tony Broer. Tradisi akademis teater di Indonesia masih berkutat pada teori konvensional yang diserap dari keilmuan Barat – yang bahkan di Barat sendiri itu sudah lama dianggap kuno dan tidak lagi mampu mewadahi fenomena perteateran mutakhir. <br /><br />Tony Broer ketika menghadapi para profesor itu kemudian mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar, “Menurut Bapak, saya duduk sekarang di depan Bapak ini akting atau tidak?” Mereka menjawab bahwa tidak mungkin Tony Broer akting, karena itu adalah forum akademis yang serius, suatu kehidupan yang riil, bukan pentas di atas panggung. Namun Tony Broer dengan tegas menyatakan bahwa ia sedang akting! “Jangan lupa, Pak, untuk datang ke sini dan bertemu dengan Bapak, saya di rumah sudah pilih-pilih kostum yang tepat untuk saya pakai. Saya telah mempersiapkan dan melatih apa yang akan saya ucapkan kepada Bapak, gestur saya akan seperti apa ketika menghadapi Bapak. Itu semua telah saya latih. Saya telah mempersiapkan keaktoran saya dari rumah dalam rangka pentas menghadapi Bapak sekarang di sini. Saya ini akting, Pak!” demikian kira-kira jawab Tony Broer. <br /><br />Tony Broer mengajukan beberapa pertanyaan tentang hubungan pelaku teater dengan teater dan kehidupan. Ketika seorang aktor memainkan tokoh di atas pangggung, apakah ia tengah memainkan sebuah kehidupan? Kenapa untuk memerankan suatu tokoh aktor harus latihan? Padahal yang diperankan adalah kehidupan, dan aktor yang memerankannya adalah orang yang hidup, orang yang tengah menjalani kehidupan. Menurut Tony Broer, paradigma pemikiran aktor masih pada paradigma latihan untuk pentas. Padahal kehidupan adalah latihan paling agung. Pentas bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dalam kehidupan. Pada saat itulah ilmu keaktoran itu harus diterapkan. Dengan demikian, seorang aktor akan dikatakan hebat bukan karena ia bagus bermain di atas panggung, namun ia bagus bermain dalam kehidupannya. Aktor sejati bukan gagah di panggung, namun hebat di hidup keseharian. Barangkali yang penting untuk ditanamkan adalah kesadaran bahwa aktor atau seniman itu adalah manusia.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> <b> Teater yang belum Membumi</b><br />Doni Agung
Setiawan, salah seorang partisipan obrolan ini, menggugah dengan
pertanyaan yang sedang digelisahkannya dua tahun terakhir: Teater ada
gunanya atau <i>nggak sih</i>? Sekian lama melakoni teater, kemudian
pertanyaan ini muncul dalam dirinya. Jangan-jangan apa yang dilakukannya
selama ini dalam teater hanyalah kebohongan semata. Misalnya, berperan
dalam pertunjukan yang membicarakan masalah sosial, padahal di kehidupan
nyata masa bodoh dengan masalah sosial. Jangan-jangan ia menggunakan
teater hanya untuk “<i>eksis</i>”, hanya untuk bergaya semata. Hingga
kemudian ia mencoba untuk menjalani berbagai bentuk teater yang lebih
dekat dengan kehidupan nyata, teater yang menjauhi bentuk-bentuk atau
panggung-panggung konvensional. Namun sampai sekarang ia belum menemukan
di bagian mana pentingnya teater. Menurutnya sangat sulit untuk
menemukan sintesa antara teater dengan kehidupan sehari-hari. <br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Tony
Broer mencoba memberikan jawaban tentang kenapa teater kita tidak
menohok pada masalah masyarakat. Menurutnya karena yang kita gunakan
adalah konsep teater Barat, sedang kita tidak hidup di Barat. Dari
teater Barat kita mengenal naskah yang di dalamnya ada peran yang harus
kita mainkan. Kalau teater masih berkutik pada permasalahan itu, kita
akan selalu melakukan latihan hanya untuk melayani naskah, untuk
berpentas. Kita memerankan sebaik mungkin tokoh yang ada di naskah,
sehingga tepuk tangan penonton menjadi puncak capaian. Selesai. Kita
hanya berkubang di sana. Sedang masyarakat semakin jauh dari kita. Ini
seperti kita memainkan suatu peran dengan baik, namun diri kita sendiri
tidak dalam keadaan baik-baik saja. Suryadi Sali, seorang partisipan
obrolan yang lain, juga mengungkapkan tentang kegelisahannya tentang
mengapa kita begitu getol mengadopsi pemikiran Barat untuk mendasari
kerja teater kita. Padahal Barat mencoba menyimpulkan Timur tanpa
mengalaminya. Kitalah yang mengalaminya. <br /><br /><b>Berdialog dengan Teater</b><br />Ketika
berbagai pertanyaan tentang teater dan kehidupan pribadi muncul di
benak Tony Broer di hampir 25 tahun keterlibatannya di Teater Payung
Hitam, ia kemudian mencapai suatu titik kesadaran bahwa ia harus
berdialog dengan teater dalam kehidupan pribadinya, bukan hanya dengan
teater di Teater Payung Hitam. Teater bukan melulu masalah panggung,
namun juga tentang kehidupan keseharian yang lebih luas dan riil. Tony
Broer mengakui bahwa ia terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Benny
Yohanes (Benjon) dari Bandung. Menurutnya, Benjon-lah yang bisa
membubarkan sebuah kelompok teater dengan indah. Membubarkan sebuah
kelompok dengan kesadaran bahwa setiap individu yang tergabung dalam
kelompok itu mesti kembali untuk berdialog dengan teater dalam diri
masing-masing. Setiap individu memiliki kewajiban untuk membangun
teaternya dalam diri masing-masing. Kesadaran inilah yang dijadikan
dasar untuk membubarkan sebuah kelompok atau organisasi pekerja teater,
bukan karena konflik yang terjadi dalam organisasi itu. <br /><br />Cerita
Moch. Badrul Munif, salah seorang partisipan dalam obrolan ini,
barangkali bisa dijadikan contoh yang menarik, walaupun ini lebih
mengarah pada teater sebagai media untuk penyembuhan patologi pribadi
manusia. Ia menceritakan pengalamannya ketergantungan obat. Penempaan
diri melalui latihan teater membuatnya bisa dengan pelan-pelan
mengurangi ketergantungan, bahkan bisa sampai taraf sembuh. Ini
dilakukannya hanya dengan latihan dengan keteguhan dan mencoba untuk
menerapkan berbagai disiplin latihan teater dalam kehidupannya. Moch.
Badrul Munif mencoba berdialog dengan teater, kemudian memproyeksikannya
untuk tujuan praktis pengobatannya.<br /><br />Kita jarang menghayati
kehidupan sehari-hari kita. Kita sering membiarkannya mengalir begitu
saja tanpa memetik makna darinya, termasuk terhadap hal-hal kecil
seperti gosok gigi. Kita jarang menyadari setiap detik jalan kehidupan
kita sehingga kita bisa mengambil makna darinya. Ketika kita bisa
menghayati peristiwa kecil saja, seperti menggosok gigi, lalu kita
memaknainya sebagaimana peristiwa teater di atas panggung, dengan
menggunakan perangkat ilmu keaktoran kita, maka makna yang kaya akan
kita temukan. Kita bisa hidup dengan bijak. Ini memerlukan kepekaan dan
kesadaran kita sebagai seniman teater. Tema kontekstualisasi teater
dalam hidup keseharian ini sangat penting untuk terus diwacanakan dan
dipraktikkan agar teater tidak menjelma jadi “kebohongan” hidup ditengah
perjuangannya mengusung nilai-nilai utama kehidupan. Kalanari Theatre
Movement sebagai lembaga yang meniatkan diri bukan sekadar sebagai
pencipta karya teater, namun juga memiliki visi dan misi mengembangkan
kebudayaan, mencoba ikutserta mengembangkan dan mempraktikkan wacana
ini. <br /><br /><i>Jogja, April 2014 </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><b><br /></b></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-10453859151067713452014-07-29T00:42:00.001+08:002016-07-07T17:30:55.160+08:00Naskah Lakon sebagai “Sekadar” Media Eksplorasi Artistik dan Gerakan Budaya<b style="font-size: x-large;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Teater Kepentingan (yang Politis) </span></b><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Teater tak akan ada tanpa kepentingan (dan politik) – bahkan jika ia dijalankan dengan niat paling tulus-luhur sekali pun; bahkan jika ia dijalankan tanpa pertunjukan sekali pun. Teater selalu berjalan dalam kepentingan demi kepentingan, mulai yang terdalam hingga yang paling banal, dari yang serius atau yang sekadar bermain-main. Namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana masing-masing kepentingan berjalan dengan merdeka, mencapai tujuannya, tanpa mengganggu kepentingan yang lain. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Mimbar Teater Indonesia (MTI) 2013, dengan kepentingan menggelar lakon-lakon karya Arifin C Noer, mengundang saya sebagai sutradara untuk menggarap salah satu lakon karya teaterawan besar Indonesia ini. Undangan ini adalah sebentuk kepentingan. Di sisi lain, saya dan <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a> juga memiliki kepentingan tersendiri. Kami tidak mau hanya melayani kepentingan MTI. Kepentingan kami adalah menggunakan teater sebagai pintu masuk (sekaligus pintu keluar) untuk mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi, lalu merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat. Kami menjalankan teater dengan kayakinan bahwa teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan atau sekadar melakukan kerja artistik, namun juga memiliki visi dan misi yang luhur dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai utama kemanusiaan.</span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0oz7FsnM0GPIEcXoSZafNZ9XpFNoJb5zAhbV1NFUWB18P0_aDuh4fovxCVMLrQimq_1lNSKs41RseUHDeZAFGyXfEqfC6CH2XYvzVRbILpP7Kf5ECtEuPdf8pVBAqaVidwDfESXV2hy1W/s1600/IMG_0906.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0oz7FsnM0GPIEcXoSZafNZ9XpFNoJb5zAhbV1NFUWB18P0_aDuh4fovxCVMLrQimq_1lNSKs41RseUHDeZAFGyXfEqfC6CH2XYvzVRbILpP7Kf5ECtEuPdf8pVBAqaVidwDfESXV2hy1W/s1600/IMG_0906.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i> oleh Kalanari Theatre Movement di MTI, Solo, 2013 | Foto: Dok. Kalanari</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />Kami tidak (atau belum) memiliki kepentingan terhadap lakon-lakon Arifin, juga terhadap masalah-masalah yang diangkatnya, kecuali sebuah kepentingan historis bahwa Arifin adalah tokoh penting pendahulu kami dalam dunia teater Indonesia yang patut kami pelajari. Namun saya sebagai sutradara dan penulis lakon sejak lama memang punya ketertarikan untuk menggarap lakon <i>Kapai-kapai</i>. Ini bukan sebuah ketertarikan pada tema tentang buruh yang diangkat oleh lakon <i>masterpiece </i>Arifin ini, namun lebih pada kemungkinan bentuk artistik yang ditawarkan lakon, serta cara ucap lakon dalam mengartikulasikan masalah yang diangkatnya. <br /><br />Berangkat dari beberapa kepentingan itulah, kami menjalani proses penggarapan pertunjukan <i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i>. Dan dalam proses ini bertambah lagi kepentingan lain, kali ini datang dari Sanggar Bangun Budaya, sebuah komunitas seni tradisi yang hidup di Desa Sumber, Magelang, di sebidang lereng Merapi. Kami dan Sanggar Bangun Budaya sudah sejak lama menjalin hubungan kebudayaan, dan yang lebih penting lagi: hubungan kemanusiaan, guna kepentingan – yang bisa disederhanakan sebagai keinginan – untuk berbagi pengalaman dari dua disiplin seni pertunjukan yang berbeda: tradisi dan modern. Hubungan kami adalah sebentuk gerakan kebudayaan yang salah satunya kami tujukan untuk secara saling-silang mempelajari dan mengeksplorasi metode-metode penciptaan pertunjukan masing-masing, di samping juga (dan ini yang lebih penting) untuk mengetahui bagaimana latar kebudayaan masing-masing beroperasi dalam proses penciptaan. <br /><br />Momen diundangnya saya oleh MTI kami gunakan sebagai salah satu media untuk menjalankan gerakan kebudayaan itu, yang salah satu hasilnya adalah pertunjukan, sebuah produk kebudayaan. Lebih spesifik lagi, media itu adalah sebuah karya sastra lakon berjudul <i>Kapai-kapai</i>. Sekali lagi mesti ditegaskan di sini, karena kami tidak (atau belum) memiliki kepentingan dalam mengusung tema kehidupan yang diangkat naskah lakon ini, maka kami menyikapinya “hanya” sebagai media eksplorasi artistik dan gerakan kebudayaan yang kami jalankan. Namun, dalam konteks penciptaan pertunjukan ini, naskah lakon ini juga menjadi simpul bagi hubungan kebudayaan dari dua lembaga, <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a> dan Sanggar Bangun Budaya. <br /><br /> <b>“Men-Jawa-kan” <i>Kapai-kapai </i> </b><br />Kami berangkat dari wilayah budaya bernama Jawa. Mengapa Jawa? Ini murni berangkat dari ide dan pandangan saya sebagai sutradara. Setelah sepuluh tahun tinggal dan menjalani keseharian di Jawa, saya sebagai bukan orang Jawa merasa ada simpul sekaligus keretakan tertentu dalam hubungan antara teater modern dengan budaya Jawa. Mengapa perasaan demikian muncul dalam benak saya sebagai sutradara yang bukan orang Jawa? Jawabannya sangat sederhana: karena berteater di Jawa, dan lebih banyak terlibat dengan orang-orang Jawa. Dan perlu ditegaskan, ini murni berangkat dari masalah rasa, bukan dari analisis kebudayaan yang cermat. <br /><br />Salah satu simpul yang saya temukan adalah dalam hal bahasa verbal. Berproses teater dengan para aktor yang semuanya orang Jawa, saya merasa bahasa Jawa adalah alat komunikasi yang paling intim dalam keseharian dan di atas panggung. Bahasa Jawa menjadi media yang lebih mudah digunakan untuk menyampaikan ide-ide kepada orang lain, dengan mengikutkan serta emosi dan atmosfer berkomunikasi. Rasa, emosi, atmosfer menjadi alasan tersendiri bagi saya. Saya ingin menggiring teater sebagai refleksi keseharian, guna lebih mendekatkan teater sebagai ekspresi kebudayaan dengan keseharian para pelakunya, sehingga teater bukan menjadi ekspresi yang asing, yang berjarak dengan ekspresi murni keseharian. <br /><br />Namun di sisi lain, ada keretakan hubungan antara kami – terutama para aktor yang notabene semuanya orang Jawa – sebagai pelaku teater modern dengan budaya (tradisi) Jawa. Hidup meninggalkan kampung halaman – yang tak tradisional lagi – dan hidup di pingiran kota – yang belum lagi modern – adalah masalah tersendiri. Di samping itu, para aktor yang kebanyakan berasal dari Jawa bagian timur dan kini hidup di Jogja, mengalami pergeseran yang lumayan besar dalam hal pemakaian bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tidak lagi “<i>gak</i>” namun sudah berubah menjadi “<i>ora</i>”. Ini memerlukan penengokan kembali ke ruang tradisi, namun bukan berarti menengok ke masa lalu. <br /><br />Keinginan untuk berangkat dari tradisi Jawa semakin kuat dengan adanya interaksi dengan Sanggar Bangun Budaya, yang bagi kami merupakan sebuah komunitas yang menciptakan ruang ekspresi budaya Jawa kontemporer, dengan berangkat dari berbagai sempalan ragam budaya tradisi Jawa. Koneksi dengan Sanggar Bangun Budaya menjadi salah satu jalan untuk menengok ke sebuah arah perkembangan budaya tradisi Jawa di masa kontemporer. <br /><br />Dengan kondisi keinginan dan masalah yang demikian, kami dipertemukan dengan naskah lakon <i>Kapai-kapai</i>, yang ditulis dengan bahasa Indonesia, diwarnai dengan dialek Betawi urban. Berbagai warna tradisi lokal yang diangkatnya juga berasal dari Betawi. Dan masalah yang diusungnya, problem perburuhan, adalah spesifik masalah perburuhan urban.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> Untuk “men-Jawa-kan” <i>Kapai-kapai</i> secara utuh,
kami akui membutuhkan waktu yang lama, terdiri dari serangkaian tahapan
penelitian, penafsiran dan latihan. Untuk tahapan pertama, untuk
mengejar kepentingan dipertunjukkan pada MTI, kami mengabaikan terlebih
dahulu masalah utama yang diusung lakon ini: perburuhan – hal mana yang
saya singgung di awal tulisan ini sebagai “tidak (atau belum) memiliki
kepentingan dalam mengusung tema kehidupan yang diangkat naskah lakon
ini”. Tahapan pertama ini kami titik beratkan pada kemungkinan bentuk
yang ditawarkan oleh naskah lakon, dan menggunakannya sebagai media
untuk melakukan pergerakan budaya yang <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari</a> lakukan dengan Sanggar Bangun Budaya.<br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Hal pertama yang kami lakukan dalam “men-Jawa-kan” <i>Kapai-kapai</i>
adalah bukan dengan menerjemahkan secara utuh seluruh naskah, yang
ditulis dengan bahasa Arifin, ke dalam bahasa Jawa. Yang kami lakukan
adalah “meniadakan” naskah lakon terlebih dahulu, atau dengan kata lain
mengembalikan penciptaan lakon kepada improvisasi, bukan penghapalan
naskah lakon. Secara teknis, ekplorasi ini dilakukan dengan metode
pembacaan dan pemahaman naskah lakon terlebih dahulu secara
komprehensif, memilah ide-ide yang diusung setiap adegan, lalu
memainkannya secara improvisatoris dengan menggunakan bahasa Jawa. Dan
metode semacam ini secara tidak langsung tentu saja merupakan sebentuk
negosiasi, pembelokan dan bahkan penolakan terhadap naskah lakon
asalnya.<br /><br />Singkat catatan, dengan improvisasi yang kami lakukan
berulang kali, untuk menemukan pengucapan yang nyaman dalam bahasa Jawa,
sesuai dengan latar belakang ke-Jawa-an masing-masing aktor, pada
akhirnya melahirkan naskah lakon baru yang kami jadikan pijakan
pengucapan teks pertunjukan, paling tidak secara verbal. Setelah
memperoleh bentuk bahasa Jawa verbal untuk pengucapan teks pertunjukan,
kami menyimpannya dahulu beberapa saat, untuk merancang bahasa-bahasa
atau teks pertunjukan nonverbal.<br /><br />Unsur nonverbal kami mulai dari tokoh. Kami mulai dengan pertanyaan ikhwal dongeng dalam <i>Kapai-kapai</i>.
Mengapa dongeng? Mengapa yang mendongengkan adalah Emak – bukan Bapak
atau Ayah? Kami mencoba mengurai permasalahan ini dengan menengok ranah
budaya lisan dan pelisanannya. Dalam tradisi keseharian masa lalu,
dongeng sebagai budaya lisan salah satunya mengambil posisi dalam ruang
dan waktu sebelum tidur anak-anak. Dan yang biasanya mendongeng untuk
anak-anak adalah ibu atau nenek. Dalam ruang dan waktu sebelum tidur
anak-anak ini, dunia mendongeng adalah dunia perempuan. Dan dunia yang
didongengi adalah dunia anak-anak. Makanya kemudian muncul karakter
kekanak-kanakan dari Abu, dan karakter <i>momong </i>(yang palsu) dari Emak.<br /><br />
Konstruksi ibu-dongeng-anak itu kami transformasikan menjadi
dalang-lakon-penonton wayang. Tokoh Emak ditransformasi menjadi Ki
Dhalang. Ini berangkat dari pembacaan tentang kekuatan suatu narasi
(dongeng, cerita, legenda, mitos, lakon) dalam membentuk karakter
budaya, bahkan sejarah, dari suatu wilayah budaya. Dan menengok ke dunia
Jawa, konstruksi semacam ini terdapat dalam dunia pewayangan. Dalam
dunia pertunjukan bayangan ini kita menemukan bagaimana kekuatan
Mahabharata membentuk karakter budaya, keyakinan sejarah, bahkan
keimanan orang Jawa. Konstruksi ini sedikit-banyak sejalur dengan
konstruksi hubungan Emak-dongeng-Abu dalam naskah lakon <i>Kapai-kapai</i>, di mana dongeng disusun sebagai sebuah skenario atau konspirasi yang diproyeksikan untuk mendikte jalan hidup Abu.<br /><br />Ketika
konstruksi transformasi ini sudah kami yakini keutuhannya, maka kami
beranjak lagi untuk menengok kembali teks bahasa Jawa yang kami hasilkan
sebelumnya melalui serangkaian improvisasi. Eksplorasi pen-Jawa-an dua
hal besar ini (bahasa verbal dan tokoh Emak) kemudian memunculkan
berbagai kendala dan temuan tertentu, yang dalam perjalanan proses
memerlukan negosiasi, pembelokan dan penolakan tertentu pula. Di titik
inilah sebenarnya sebuah proses berteater, sebuah dialog kebudayaan,
dimulai.<br /><br />Untuk menandai berbagai transformasi yang kami lakukan terhadap <i>Kapai-kapai</i>
karya Arifin, yang artinya adalah proses perebutan naskah lakon ini
menjadi milik kami, kami memberinya semacam subjudul sehingga
selengkapnya menjadi <i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i>. ‘<i>Gayuh</i>’ merupakan sebuah kata dasar dalam bahasa Jawa, yang turunannya di antaranya ‘<i>nggayuh</i>’ yang berarti ‘mengambil’, ‘menggapai’, serta ‘<i>gegayuhan</i>’
yang berarti ‘cita-cita’. Kata ini kami pilih karena sedikit-banyak
mengandung ide yang serupa dengan kata ‘kapai-kapai’. Keserupaan ide
yang dikandung masing-masing kata ini tentu saja tidak sempurna. Namun
di dalam ketidaksempurnaan itulah kami temukan dialog, sebuah ruang
untuk menuju perkembangan.<br /><br /><b>Media Gerakan Budaya</b><br />Titik berat proses <i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i> ini memang bukan pada produk pertunjukannya, apalagi suatu keinginan untuk nyengkuyung naskah lakon <i>Kapai-kapai</i> karya Arifin. Penciptaan pertunjukan ini hanyalah sebuah ruang singgah dari sebuah rencana besar yang kami – <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a> – lakukan bersama Sanggar Bangun Budaya, yaitu sebuah gerakan kebudayaan. Naskah lakon <i>Kapai-kapai</i>
kami gunakan “sekadar” sebagai salah satu media gerakan budaya yang
kami jalankan, untuk menuju salah satu ruang singgah dari sekian banyak
ruang singgah yang kami rencanakan.<br /><br /><a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari</a>
meniatkan teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan atau sekadar
melakukan kerja artistik, namun juga memiliki visi dan misi yang luhur
dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengedepankan
nilai-nilai utama kemanusiaan. Teater digunakan sebagai pintu masuk
(sekaligus pintu keluar) untuk mempelajari, menginterpretasi,
mengeksplorasi, lalu merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat.
Gerakan ini secara internal, atau bagi dunia teater sendiri yang kami
geluti, ditujukan untuk meneguhkan kembali ikatan
pertunjukan-masyarakat, suatu ikatan yang kerap ditinggalkan oleh dunia
teater modern di Indonesia, padahal teater tradisi hidup dengan terus
menjalin ikatan tersebut. Sedangkan secara eksternal, atau bagi
komunitas dan masyarakat suatu wilayah budaya yang kami masuki, dalam
hal ini Sanggar Bangun Budaya dan masyarakat Sumber, tujuan dari gerakan
ini adalah untuk menggugah masyarakat untuk mengembangkan
kebudayaannya.<br /><br />Berproses dan melakukan gerakan budaya dengan media naskah lakon <i>Kapai-kapai</i>
ini kami lakukan dengan berbaur dalam kehidupan Sanggar Bangun Budaya
dan lingkungan sekitarnya di Desa Sumber. Sembari berproses menciptakan
pertunjukan <i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i>, kami mempelajari dan
mencermati bagaimana latar belakang kehidupan sehari-hari mereka
terefleksikan dalam produk ekspresi kebudayaan mereka, serta bagaimana
metode mereka dalam melakukan adopsi terhadap berbagai bentuk ekpresi
kebudayaan luar (luar desa, luar wilayah lereng Merapi dan luar Jawa).<br /><br />Sanggar
Bangun Budaya memiliki produk kebudayaan tersendiri, yang bisa
dikatakan telah mencapai kekhasannya, terutama seni pertunjukan. Dengan
kata lain, sebenarnya mereka adalah komunitas seni yang telah memiliki
kehidupan (budaya) yang relatif mapan. Dalam kondisi kemapanan semacam
ini kami datang dengan menawarkan sebuah teks yang dilahirkan oleh dunia
teater modern. Metode yang kami sarankan kepada mereka dalam menyikapi
teks ini adalah sederhana: bagaimana mengucapkan teks itu di atas
panggung dengan idiom budaya yang telah mereka miliki.<br /><br /> <b>Penutup</b><br />Karena
sebuah eksplorasi artistik dan gerakan budaya adalah juga kepentingan
yang politis, maka bolehlah menganggap tulisan ini sebagai semacam
permakluman bagi mereka yang merasa kepentingannya terganggu. Maaf.
Terima kasih.<br /><br /> <i>Jogja, September 2013</i><br /><br /><b>Ibed Surgana Yuga</b></span><br />
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><b><br /> </b><span style="font-size: small;"><b>Catatan: </b><br /><i>Kapai-kapai (atawa Gayuh)</i> dipentaskan <a href="http://kalanari.blogspot.com/">Kalanari Theatre Movement</a>
pada Mimbar Teater Indonesia 2013, Taman Budaya Jawa Tengah, 26
September 2013, dan pada Festival Teater Jogja 2013, Taman Budaya
Yogyakarta, 16 Oktober 2013, juga diujicobapentaskan sebelumnya di
Sanggar Bangun Budaya, Sumber, Magelang, 23 Sepetmber 2013. </span></span><br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-54839682844972416312014-07-29T00:25:00.001+08:002016-07-08T15:01:47.393+08:00Teks, Teks, Teks...<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Secara </b>selera saya pribadi tidak suka dengan sebagian besar lakon karya Putu Wijaya. Ketaksukaan ini tentu saja bukan kondisi permanen, namun lebih merupakan pengaruh fase kreativitas yang berkaitan dengan suatu bentuk (selera) artistik yang sedang saya (dan <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>) gumuli. Sejak awal <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a> memanggungkan teks-teks yang saya tulis sendiri bersamaan dengan proses latihan, teks-teks yang lahir sebagai konsensus bersama para awak artistik <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Namun ketika </span><a href="http://seniteku.org/" style="font-family: inherit; font-size: large;">Seni Teku</a><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> diundang Halim HD dan Hanindawan untuk tampil di Mimbar Teater Indonesia 2010, yang akan menggelar lakon-lakon karya Putu Wijaya, kami menyanggupinya. Kesanggupan ini terutama karena kami ingin ambil bagian dalam perhelatan yang menampilkan sekitar 33 grup dan pemonolog dari kota-kota di Indonesia itu. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM-3IAWUEZNShpZASBaG0UfRLGsf0QzctZ2qNgOKRS89agV8YiEN0dmsCnnAGz5pWWJbxjfF0TxYss3J2WxnNj6TuYk5mNUf31R_bI8shp7_AwTBwvCffjbNfKnbrth7Nol71rJScTzwzz/s1600/foto+02.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM-3IAWUEZNShpZASBaG0UfRLGsf0QzctZ2qNgOKRS89agV8YiEN0dmsCnnAGz5pWWJbxjfF0TxYss3J2WxnNj6TuYk5mNUf31R_bI8shp7_AwTBwvCffjbNfKnbrth7Nol71rJScTzwzz/s1600/foto+02.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pentas <i>Awas </i>di Mimbar Teater Indonesia, Solo, 2010 | Foto: Dok. Seni Teku</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /> Setelah memilah-milih lakon-lakon karya Putu Wijaya yang berjubel itu, kami menjatuhkan pilihan pada <i>Awas</i>, lakon yang ditulis Putu pada 1977. Konon lakon ini diakui Putu sendiri sebagai yang paling jelek di antara lakon-lakon yang pernah ditulisnya. Kami memilihnya bukan karena kami merasa nyantol dengan lakon ini, namun lebih karena kemungkinan lakon ini, secara struktur dan karakter, bisa didekati dengan metode-metode proses penciptaan yang sedang kami getoli. Dengan kata lain, saya sebagai sutradara akan merombak lakon ini untuk menjadikannya lebih dekat dengan kami, menjadikan milik kami, sebagaimana teks-teks kami sebelumnya. Dengan lugu kemudian saya mengontak Putu, meminta izin untuk merombak lakon ini. Lewat <i>e-mail</i>, ia marah menanggapi permintaan saya: <br /><br /> </span><br />
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;">SALAM,</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 1. Kalau ingin merombak, ingin berekspresi sendiri, sebaiknya tak perlu memementaskan AWAS. Bikin saja judul baru dan biarkan AWAS sebagai pemberi inspirasi saja. Kau tidak akan kehilangan dirimu, dengan mementaskan naskah orang lain, kalau kau memang sudah mengenal dan menemukan dirimu. Naskah itu ada isi dan ada bentuk. Di Indonesia memang seringkali keduanya dilabrak, karena banyak sutradara sebenarnya ingin menciptakan isi dan bentuknya sendiri.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 2.Saya baru 2 kali melihat kelompok yang mementaskan naskah saya dengan bagus. Pertama Teater Ibukota di Jakarta yang mementaskan ADUH (1974/75). Dia hanya memakai sekitar 6 pemain, tetapi struktur, pesan bahkan ruang dan kemungkinan visual di naskah itu keluar dengan bagus. (Saya memainkannya dengan 15 orang). Kemudian sebuah pertunjukan di Bandung yang juga memainkan ADUH, pemainnya perempuan semua, jumlahnya tak ada 10. Pementasannya cerdas, dinamis, atraktif, tetapi saya masih melihat Aduh saya di dalamnya.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 2.Saya sangat hormat pada interpretasi, karena itu menunjukkan usaha pencarian dan penciptaan. Tetapi interpretasi sangat berbeda dengan manipulasi. Almarhum Umar Machdam dari Bogor, pernah mementaskan naskah saya yang berjudul Sandiwara. naskah itu dirombak sedemikian rupa menjadi ekspressi homo seksual. Saya sama sekali tidak merasa perlu melarang atau mengeritik, saya anggap pementasan itu adalah pementasan Umar Machdam dengan karyanya sendiri.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 3.Novel TELEGRAM difilmkan oleh Slamet Raharjo. Skenario saya sudah di acc oleh produser Prancis (Telegram sudah diterjemahkan ke bahasa Prancis, itu sebabnya mereka minta SLamet memfilmkan novel itu). Tapi Henry Chamber Loir kemudian menyuruh saya membaca shooting script yang akan dipakai shooting oleh Slamet. Saya lihat jiwanya bukan lagi TELEGRAM saya tapi TELEGRAM SLamet. Lalu saya berdiskusi dengan Slamet. Akhirnya saya anjurkan pada Slamet, tidak usah mencantumkan nama saya dan menganggap itu adalah karyanya sendiri. Sampai sekarang saya tidak kepingin menonton film itu.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 4.Jadi apa pun yang akan kau lakukan, saya tidak akan memberikan komentar. Tapi karena kebetulan kau beritahu, saya hanya ingin ulang yang di awal itu: kenapa tidak bikin naskah sendiri saja. Atau sebelum pementasan nanti, jelaskan kamu sebenarnya hanya memakai AWAS sebagai batu loncatan, karena sepenuhnya adalah dirimu/karyamu.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> 5. Saya percaya kreativitasmu.</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> Selamat berjuang!</span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span style="font-size: small;"> pw</span></span></blockquote>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /> Namun kami tetap nekat memanggungkan <i>Awas</i>, yang kami rebut menjadi milik kami, tanpa konfirmasi lagi ke Putu Wijaya. Sebagai penanda, kami beri subjudul “<i>Sapa Wani-wanine Ngising ning Kene</i>” pada garapan kami. Yang terjadi kemudian, tentang bagaimana kami perlahan mencintai teks <i>Awas </i>rombakan saya, adalah sangat sederhana: <i>witing tresna jalaran saka kulina</i>! Sebuah metode baru bagi kami, saya rasa. <br /><br /> Putu datang dan menyaksikan pertunjukan kami. Setelah pertunjukan ia mendatangi kami, memberikan sedikit saran, sedikit pujian, sedikit harapan, dan sedikit klarifikasi terhadap pernyataannya di <i>e-mail</i>. Ia kemudian tidak mempermasalahkan apa yang kami—terutama saya—lakukan terhadap teks Awas-nya. Ia pun mengaku pernah melakukan yang serupa terhadap naskah yang ditulis oleh orang lain. <br /><br /><b> Keserempakan Teks</b><br />Dalam banyak bagian, saya melihat teks lakon Awas sangat verbal. Di samping ungkapan-ungkapannya yang heroik-bombastis, dialog-dialog yang lahir dari setiap tokoh sering sangat cerewet, menghamburkan banyak kata. Alhasil, dalam beberapa bagian, lakon ini menyentuh titik klise. Dalam pembacaan saya, bentuk dan gaya penulisan lakon ini adalah manifestasi dari suatu fase kreativitas Putu Wijaya yang merefleksikan gaya dan bentuk (selera) artistiknya dalam satu masa tertentu. Jejak dari fase ini masih bisa dibaca dalam karya-karya mutakhirnya, terutama pada cerpen. <br /><br /> Yang pertama sekali saya lakukan dalam merombak teks lakon ini adalah meminimalkan sebisa mungkin kecerewetan dialog-dialog tokohnya, dan dalam beberapa bagian kecil juga kecerewetan alurnya. Saya membaca, berbagai dialog yang tercipta lebih mirip dengan muntahan kata-kata yang diucapkan dalam kondisi hampir <i>trance </i>oleh para orator pengunjuk rasa. Prinsip saya, jika konsep tentang suatu peristiwa dapat digambarkan dengan kehadiran visual atau bunyi, mengapa mesti berkata-kata? <br /><br /> Prinsip tersebut rupanya dengan telak terbaca oleh Afrizal Malna. Dalam obrolan setelah pertunjukan, ia menyatakan bahwa kami adalah “generasi visual”, bukan lagi “generasi naratif” sebagaimana pendahulu kami dalam sebuah fase sejarah teater modern Indonesia. Dan barangkali masa ketika Putu menulis lakon Awas termasuk dalam fase “generasi naratif” ini. Menurut saya, Putu sendiri kemudian menjadi bagian dari “generasi visual”, setidaknya ditunjukkan oleh karya-karya mutakhir Teater Mandiri yang di antaranya mengolah berbagai citraan yang dimunculkan oleh eksplorasi media layar putih yang besar. <br /><br /> Berkatian dengan wacana ini, Nanang Arizona yang sering kami daulat sebagai dramaturg beberapa garapan <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a> kerap melontarkan satu pertanyaan yang lumayan menohok tentang pertunjukan-pertunjukan kami, “Pertunjukan kalian itu narasi atau sensasi?” Kami sering dibuat berpikir panjang oleh pertanyaan ini. Jika pertunjukan kami adalah sensasi, berarti kami menganggap narasi sebagai unsur yang tidak penting dan patut disingkirkan. Lalu jika demikian, pertunjukan kami tanpa narasi dong? Ah, tidak. Kami masih menjalankan narasi. Kami masih butuh cerita. Ya walaupun cerita itu tidak naratif dalam pengertian umum yang agak stereotip itu. Tapi, apa <i>sih </i>yang dimaksud dengan narasi? <br /><br /> Sampai saat ini saya masih memegang keyakinan bahwa pertunjukan teater dimulai dari teks. Intinya adalah teks. Dan teks tidak tunggal. Teks begitu banyak berhamburan di setiap lekuk suatu struktur yang siap menciptakan teater. Teater dimulai dari semacam keserempakan teks. Teks dari narasi (cerita atau naskah lakon), teks dari bunyi, teks dari visual, teks dari tempat pertunjukan, teks dari kedirian masing-masing awak artistik, teks dari penonton, teks dari manajemen pertunjukan, bahkan teks dari hal-hal teknis pertunjukan. Jika pertunjukan teater hanya berangkat dari teks lakon (narasi) sebagai teks tunggal, <i>sorry </i>itu mustahil bagi kami.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"> <b>Teks Lakon, Teks Tempat Pertunjukan dan Teks-teks Lainnya</b><br />Dalam <i>Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata</i> (2010), Afrizal Malna mencatat, dengan menggunakan halaman terbuka sebagai tempat pertunjukan, <i>Awas </i>oleh <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>
sudah menghasilkan bahasa ruangnya sendiri. Berbagai layer yang ada
pada halaman terbuka sudah bisa memberikan struktur pertunjukan.
Menurutnya, kami tidak melangsungkan pembacaan dan negosiasi pada teks,
namun justru pada konteks di mana teks ditempatkan. Teks ditaklukkan
melalui konteks. Pertunjukan menjalankan bahasa visual terlebih dahulu,
dan tidak ada pengaruh signifikan jika teks dilepaskan darinya. Saya
perlu memberi catatan di sini bahwa agaknya yang disebut sebagai “teks”
oleh Afrizal adalah sempit hanya pada teks lakon. <br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Jadi bagi Afrizal, pertunjukan kami bisa berjalan tanpa naskah lakon Awas. Ini mengingatkan kembali pada<i> e-mail </i>Putu Wijaya yang sebelumnya kami abaikan, yang menyarankan agar kami tidak usah mementaskan <i>Awas</i>,
dan hanya menjadikannya sebagai inspirasi saja. Analisis Afrizal seakan
memberikan pembenaran bahwa, dengan berbagai strategi penciptaan yang
telah kami lakukan, kami tidak mementaskan lakon Awas karya Putu,
melainkan memainkan struktur pertunjukan yang dilahirkan oleh pembacaan
dan negosiasi terhadap konteks (sebagai teks baru yang kami ciptakan). <br /><br />
Salah satu hal yang disebut sebagai konteks oleh Afrizal adalah tempat
pertunjukan, suatu ruang yang bagi kami bukan hanya tempat bagi kreator
untuk mendedahkan teks (naskah lakon) kepada penonton, namun ia adalah
teks yang lain lagi. Tempat pertunjukan adalah ruang yang berisi teks,
yang tidak bisa diingkari begitu saja dengan penerapan konvensi-konvensi
pemanggungan, yang tidak bisa hanya dijejali dengan teks pertunjukan
yang telah dirancang sebelum memasuki ruang ini. <br /><br /> <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>
memang tengah getol mengakrabi ruang-ruang yang melingkupi peristiwa
teater. Kami tengah mencoba untuk kembali kepada ruang, sang sumber
teks. Namun sebagaimana teks, ruang yang melingkupi teater tidak
tunggal. Selain ruang sebagai tempat pertunjukan, bisa disebutkan di
sini, misalnya ruang-ruang dalam skala makro seperti ruang sosial, ruang
budaya, ruang geografis, ruang ekonomi, bahkan ruang politik. Teater
hidup dalam ruang di mana manusia hidup. Teater tidak bisa mengingkari
ruang-ruang di mana manusia meringkukkan dirinya. <br /><br /> Ruang sebagai tempat pertunjukan <i>Awas </i>garapan
kami adalah sebuah ruang terbuka yang telah terbentuk sedemikian rupa,
yang secara fisik saja, ketika kami masuki, telah mengandung teks-teks
yang berjalinan kuat, bahkan bisa lebih kuat dari teks pertunjukan yang
telah kami rancang sebelumnya. Ada teks dari undak-undakan tanah dan
beton, ada teks dari rawa-rawa berumput tinggi, ada teks dari jajaran
semak-semak bambu, ada teks dari suara kendaraan yang lewat pada jalan
kecil di sebelahnya, ada teks dari basah yang ditinggalkan hujan, ada
teks dari licinnya tanah becek, ada teks dari ketidakmungkinan menaruh
perangkat <i>sound system</i> di alam terbuka karena khawatir kehujanan. <br /><br />
Apakah teks-teks yang kompleks itu harus kami lawan? Misalnya, apakah
kami harus menutup jalan kecil itu sehingga tidak ada suara kendaran
yang mengganggu pertunjukan? Jika iya, mengapa teater harus
melakukannya? Apakah pertunjukan teater lebih penting daripada mobilitas
sosial masyarakat di sekitar tempat pertunjukan? Ah, tidak. Teater
bukan konvoi mobil-mobil pejabat yang memaksa pemakai jalan umum untuk
minggir. <br /><br /> Tidak. Kami lebih memilih untuk mengakrabi ruang-ruang
itu, dengan membiarkannya berjalan sebagaimana biasa, membiarkannya
membocorkan teks-teks mereka ke dalam pertunjukan kami sehingga menjadi
penyumbang teks bagi bangunan besar teks pertunjukan kami. Jika kami
meyakini teater sebagai suatu peristiwa langsung, kami tidak akan
terganggu oleh kejadian-kejadian tak terduga yang muncul di tengah
perjalanan peristiwanya. <br /><br /> Begitu pula dengan peran ruang-ruang
lainnya. Dalam ruang manajemen produksi, misalnya, jika dana yang
dikelola tidak cukup untuk membeli kain untuk properti bendera, dan lalu
diganti dengan kertas yang kemudian sobek di tengah pertunjukan,
bukankah manajemen produksi turut menyumbangkan teks ke dalam bangunan
besar teks pertunjukan? Jika seorang fotografer di tengah-tengah
pertunjukan tiba-tiba memotret dengan menggunakan lampu <i>blitz</i>,
dan sempat menimbulkan impresi apa pun sepersekian detik dalam diri
penonton atau bahkan pemain, bukankah si fotografer juga punya andil
membangun teks pertunjukan? <br /><br /> Teks, teks, teks....<br /><br /> <i>Jogja, Agustus 2011</i><br /><br /><b>Ibed Surgana Yuga</b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b><br /></b> <span style="font-size: small;"><b>Catatan: </b></span></span><br />
<ul>
<li><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Pertunjukan <i>Awas (Sapa Wani-wanine Ngising ning Kene)</i> digelar dalam Mimbar Teater Indonesia II di ruang terbuka Teater Bong, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, 9 Oktober 2010. </span></span></li>
<li><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">E-mail dari Putu Wijaya dikutip sebagaimana aslinya. Kesalahan ketik dan sebagainya sengaja dipertahankan. </span> </span></li>
</ul>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-22380717809999257622014-07-28T20:43:00.000+08:002016-07-08T15:01:06.074+08:00Teater yang Mengakrabi Ruang<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Indra </b>Tranggono (<i>Kompas</i>, 9 Agustus 2009) menyebut pentas <i>Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai)</i> oleh <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a> sebagai “teater imajis” yang memunculkan impresi luluhnya teater dengan ruang/lingkungan alam/sosial. Dalam penilaiannya pula, teks pentas ini bukanlah “majikan” bagi aktor, melainkan keduanya memiliki posisi yang setara dalam membangun jagat teater melalui berbagai peristiwa dramatik-teaterikal. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Pada dasarnya, teater memang lahir dari penyikapan terhadap ruang, baik ruang geografis, sosial, budaya. Sejarah teater dunia yang terbentang panjang memaparkan kepada kita tentang bagaimana aliran demi aliran teater lahir sebagai respon terhadap ruang yang terus berkembang. Realisme lahir dari ruang modernisme. Ketoprak dari ruang agraris. Perubahan bentuk atau konsep teater, bahkan kematiannya, merupakan konsekuensi dari perubahan ruang yang terjadi. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKJj3dsHnIPuIsY1ddaVChu6mfRPqjcaV5usVzgMaTbS5HjPdf73F36LyZZpIpSlpsWlyXz9FdSO7nldQl4nSzx-ek-AxAqqd4-V1jOhu9MQ3dcmOPanKF7M1qLK6O6HXqDgGx8b1f3dGO/s1600/foto+05.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKJj3dsHnIPuIsY1ddaVChu6mfRPqjcaV5usVzgMaTbS5HjPdf73F36LyZZpIpSlpsWlyXz9FdSO7nldQl4nSzx-ek-AxAqqd4-V1jOhu9MQ3dcmOPanKF7M1qLK6O6HXqDgGx8b1f3dGO/s1600/foto+05.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pentas <i>Kintir </i>di Padepokan Lemahputih, Solo, 2010 | Foto: Dok. Seni Teku</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /> Demikian pula yang terjadi pada kami, <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>, sejak didirikan pada 1 Maret 2005. Pada satu saat ruang adalah benturan keras terhadap proses penciptaan, di saat yang lain ia adalah tarikan kreatif yang sangat kuat. Namun kami tidak berangkat dari ruang yang luas, sebagaimana contoh ruang yang melatarbelakangi realisme dan ketoprak. Kami berproses dengan berangkat dari ruang yang sengaja “disempitkan”, yaitu tempat pertunjukan, yang akan mewujud panggung (mestinya ditulis dengan P kapital), yang tidak mesti panggung pertunjukan konvensional. <br /><br /> “Penyempitan” ruang, yang merupakan bagian tak terlepaskan dari bangunan besar teater, bukanlah laku menafikan keluasan ruang. Bagi kami, ini hanya masalah pengkrucutan titik keberangkatan proses. Dalam perjalanan menuju peristiwa pertunjukan, ruang yang “sempit” itu akan meluas dengan sendirinya, melalui sentuhan-sentuhan berbagai konsep dan elemen artistik dari penulis teks, sutradara, <i>performer</i>, penata artistik dan lainnya. Sebab mereka adalah insan-insan yang hidup dalam ruang zaman mutakhir, maka sentuhan-sentuhan mereka adalah juga sentuhan ruang zaman, yang tentu saja kompleks. <br /><br /><b> Pendopo Blumbang Garing yang “Mengecewakan” </b><br />Ketika teks awal dari <i>Kintir </i>selesai ditulis, tak lebih dari dua halaman ketik, pada April 2009, sama sekali belum ada bayangan tentang ruang macam apa yang akan digunakan untuk pemanggungannya. Tantangan ruang pertama muncul ketika Festival Teater Jogja 2009 menawarkan konsep kurasi tentang ruang pemanggungan yang tidak konvensional, artinya bukan ruang standar gedung pertujukan. Tantangan kedua datang dari tawaran perupa Ong Hari Wahyu untuk menggelar pertunjukan di tempat miliknya, Pendopo Blumbang Garing. <br /><br /> Memasuki Pendopo Blumbang Garing bagi kami adalah keterperangahan sekaligus kekecewaan. Terperangah oleh sebuah bangunan yang sebenarnya bersahaja, namun memiliki nilai artistik dan arsitektur yang luar biasa. Dan yang lebih penting lagi, Pendopo Blumbang Garing memiliki daya sosial dan budaya yang kuat. Ia tidak eksklusif berada di tengah-tengah kampung. Secara fisik ia sangat terbuka ke segala arah, tak berpintu, tak berpagar. Keterbukaan fisik ini rupanya menjadi penanda keterbukaan sosial dan budaya. Satu-satunya kamar mandi di sana dipakai oleh masyarakat sekitar. Anak-anak memakai hampir seluruh bagian dari bangunan ini untuk bermain setiap sore, bahkan hingga malam. Para remaja sepulang sekolah menggunakannya sebagai tempat <i>nongkrong </i>atau pacaran. Demikian juga para pembeli angkringan Pak Wongso di depannya. Belum lagi keterbukaannya terhadap berbagai kegiatan komunitas, seperti <i>macapatan </i>dan pendidikan alternatif untuk anak-anak. <br /><br /> Pendopo Blumbang Garing sepertinya tidak dirancang khusus untuk ruang pertunjukan. Inilah yang “mengecewakan”. Kami berhadapan dengan masalah keruangan pertunjukan yang sangat fundamental. Kami yang memiliki pandangan tentang panggung pertunjukan yang konvensional dibuat kebingungan: di bagian mana mesti menggelar pertunjukan, di mana menempatkan penonton. Tentu saja bisa, dan menjadi menarik, membaurkan pertunjukan dengan penonton. Namun tidak semudah menuliskannya, hal demikian mesti juga memiliki garis-garis batas yang jelas, walau imajiner. <br /><br /> Kendala pertama adalah kondisi fisik bangunan. Ruang-ruang yang ada serba sempit, kecuali hamparan sawah yang ketika proses tidak memungkinkan digunakan karena padinya belum dipanen. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari batang pohon kelapa utuh sangat banyak dan tentu saja mengganggu keluasan pandang. Ini hanya mungkin untuk pertunjukan <i>monoplay</i>, demikian hipotesis kami ketika itu. Sedangkan, <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a><span id="goog_1180971169"></span><span id="goog_1180971170"></span> memiliki minimal empat orang <i>performer</i>. Semuanya pasti main, berapa pun jumlah tokoh yang ada dalam teks, demikian tradisi <i>wagu </i>kami. Lagi, teks <i>Kintir</i> akan sangat lemah jika disiasati dengan pola permainan <i>monoplay</i> secara bergantian, misalnya. <br /><br /> Huh...! Setiap hari, dalam dua minggu pertama memasuki Pendopo Blumbang Garing, yang terjadi adalah keterperangahan demi keterperangahan, juga kekecewaan demi kekecewaan, terhadap tempat yang sudah terlanjur kami pilih. Secara perlahan, dan dengan sendirinya, kami melepas teks <i>Kintir</i>. Untuk sementara, ia hilang dari kepala kami. “Teks” Pendopo Blumbang Garing mengambil alih ruang kepala kami dan menyibukkan diri di dalamnya. Lalu kami mencoba memotong sedikit demi sedikit jarak antara kami dan Pendopo Blumbang Garing. Kami mencoba mengakrabinya. <br /><br /><b> “Kintir” di Pendopo Blumbang Garing </b><br />Marya Yulita Sari memanjat tiang-tiang batang kelapa sambil sesekali perosotan. Andika Ananda melompat tiba-tiba dari lantai atas ke panggung kecil di bawahnya, lalu turun ke lantai tanah dan merayap di antara debu-debu yang mengepul. Pranorca Reindra teriak-teriak sambil <i>ngolet </i>di pematang sawah. Joe DN menari-nari di atas beton pembatas <i>blumbang </i>sambil memuntahkan teriakannya yang melengking khas. Agus Salim Bureg mengutak-atik bohlam 10 watt dan bermain-main dengan api. Lintang Radittya membuat trompet dari pelepah pepaya dan sedotan es teh. Miftakul Efendi bermain-main dengan jerami dan pelepah pisang. <br /><br /> Demikianlah beberapa cara kami mengakrabi Pendopo Blumbang Garing, tentunya tanpa kesertaan teks <i>Kintir</i>. Di dalamnya kami bertemu beberapa hal yang lalu disimpan, dan harus diakui lebih banyak hal yang “tak berguna” dan mesti dibuang. Di dalamnya kami menemukan keakraban, dan juga kejenuhan yang menjengkelkan. Di sela-selanya, kami bermain-main ke sawah Pak Kasiran di sebelah selatan, ikut menyiram sayuran dan bawang merah. Makan nasi kucing dan sate bekicot di angkringan Pak Wongso. Salat setelah azan magrib dan isya memanggil. Bermain petasan bersama anak-anak. Kami benar-benar <i>kintir </i>(hanyut) di Pendopo Blumbang Garing, di kubangan tak berair itu. Ah, di sinilah makna teater yang sebenarnya kami temukan. <br /><br /> Perlahan, teks <i>Kintir </i>kami sambangi kembali. Sungguh perubahan yang luar biasa terjadi ketika kami membacanya kembali. Padahal ia tak beranjak, tetap tak lebih dari dua halaman ketik. Kami menduga, bahwa perubahan itu karena “teks” Pendopo Blumbang Garing telah merasuki kami. Kelanjutan teks <i>Kintir </i>kemudian ditulis bukan saja sebagai lanjutan dari yang tak lebih dari dua halaman ketik itu, namun dengan menorehkan “teks” Pendopo Blumbang Garing ke dalamnya, sesublim mungkin. Di sanalah kemudian kami disadarkan (kembali) pada konsekuensi ruang tehadap teks dan peristiwa teater. <br /><br /> Pengalaman di Pendopo Blumbang Garing membisikkan kepada kami bahwa kami baru saja sadar tentang pengakraban terhadap ruang. Ah, sialan! Semestinya kesadaran semacam ini sudah kami miliki ketika pertama kali kami memutuskan untuk <i>nyebur </i>ke <i>blumbang </i>teater. Kekeliruan kami adalah begitu saja menerima panggung prosenium atau arena sebagai bagian yang integral dari teater. Kami tidak memiliki kesadaran tentang bagaimana pangung-panggung itu diciptakan, sehingga ia menjadi integral dengan bentuk teater yang hidup di dalamnya. <br /><br /><b> Teks sebagai Konsensus Bersama </b><br />Dengan penulisan teks <i>nyambi </i>proses latihan, teks kemudian bukan sebagai pandangan subjektif penulis teks—atau paling tidak, meminimalisir subjektivitas penulis teks. Banyak bagian di dalamnya yang merupakan hasil pencatatan atau pengembangan dari eksplorasi para <i>performer </i>atau pekerja artistik lainnya yang dicapai saat latihan. Dalam bagian ini penulis teks benar-benar sebagai penulis, hanya menuliskan hasil eksplorasi ke dalam wujud teks, tentu saja dengan proses seleksi. Siasat yang demikian sama sekali tidak menciptakan teks yang <i>ambiar</i>, setidaknya menurut penilaian kami, namun justru ia mewujud sebagai suatu konsensus bersama. <br /><br /> Menurut hemat kami, teks yang demikian adalah teks yang bukan hanya berbicara dengan bahasa (dalam arti luas) penulis saja, namun juga bahasa seluruh kreator yang ada. Ia bukan kitab suci yang semena-mena mendikte para <i>performer </i>(dan pekerja artistik lainnya), atau seturut bahasa Indra Tranggono: bukanlah “majikan” bagi aktor. Bahasa kerennya, ia bisa lebih menubuh. Walaupun sebenarnya semua teks bisa ditubuhkan dengan baik, namun apa yang kami lakukan adalah cara yang menurut penilaian kami lebih cocok, lebih demokratis, setidaknya dalam lingkup <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>. Dengan demikian, memang, teks akhirnya memiliki posisi yang setara dengan unsur artistik lainnya. <br /><br /> Bagaimana jika teks <i>Kintir </i>ini kemudian digarap oleh orang atau kelompok di luar <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>? Masalah ini sempat mengemuka dalam sesi <i>workshop </i>penulisan naskah yang juga diselenggarakan serangkaian Festival Teater Jogja 2009, bahwa teks <i>Kintir </i>akan sulit direalisasikan menjadi pertunjukan oleh orang atau kelompok di luar <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a>. Barangkali benar. Dan ini memang konsekuensi yang telah kami sadari. Sebagaimana juga beberapa teks terakhir Arifin C Noer. “Terkadang saya pun tidak yakin, akan kemungkinan seorang sutradara lain dari grup teater lain yang sangat jauh dari teater Arifin untuk mementaskan <i>Tengul</i>, yang naskahnya diselesaikan selama proses latihan menjelang pementasan...,” tulis Goenawan Mohamad (1973). <br /><br /> Namun sulit bukan berarti mustahil. Ketidakyakinan Goenawan Mohamad pun masih bisa diperdebatkan. Suatu teks pertunjukan teater atau naskah drama yang dilempar ke publik bisa diposisikan sebagai karya yang otonom. Ia tidak mesti dikembalikan lagi ke tungku dapur penciptaannya terdahulu. Juga dari ruang yang pernah mengakrabinya di masa lalu. Ia bisa akrab dengan ruang demi ruang baru, konsensus-konsensus baru, dengan mandiri dan leluasa. <br /><br /> <i>Jogja, Agustus 2009</i><br /><br /><b>Ibed Surgana Yuga</b></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b><br /></b> <span style="font-size: small;"><b>Catatan: </b><br /><i>Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai)</i> pertama kali dipentaskan <a href="http://seniteku.org/">Seni Teku</a> pada 4-5 Agustus 2009 di Pendopo Blumbang Garing, Nitiprayan, Yogyakarta, dalam rangka Festival Teater Jogja 2009; lalu 24 dan 26 Januari 2010 di Padepokan Lemah Putih dan Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta; di Sanggar Mulya Bhakti Indramayu, Selasar Sunaryo Art Space Bandung dan Sanggar Baru TIM Jakarta, berturut-turut pada 12, 15 dan 18 Juni 2010; dan dalam Festival Seni Surabaya di Balai Pemuda Surabaya, 10 November 2010. </span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-91928932570701885362014-07-27T16:55:00.000+08:002016-07-08T18:39:20.639+08:00Rokok Kretek, Seniman, Indonesia<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Pemerintah </b>melalui Undang-Undang 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 telah mengganti peringatan pada produk rokok yang sebelumnya berbunyi: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin,” menjadi peringatan tulisan dan gambar tentang kanker mulut, kanker paru dan bronkitis akut, kanker tenggorokan, merokok membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Tapi, para perokok seakan tak mempan oleh peringatan—yang memang tak berakibat pidana bila dilanggar—ini. Para perokok telah memposisikan barang “sumber penyakit”—barang patologis—satu ini sebagai kenikmatan, teman, pelarian, kebutuhan, atau bahkan inspirasi. Banyak dari mereka yang tidak bisa melakukan aktivitas tanpa rokok. Bahkan, sastrawan Indonesia sekaliber Pramoedya Ananta Toer mengaku tidak bisa menulis tanpa rokok kretek. Ia lebih baik kelaparan daripada tidak menghisap kretek. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Memang, banyak orang (di) Indonesia telah menjadikan rokok sebagai tradisi. Ketika mulai dikenalnya rokok kretek, yang merupakan campuran tembakau dengan cengkeh, ia secara perlahan menjadi sebuah “identitas” yang khas dan unik bagi Indonesia. Karena unsur dari “identitas” itu pula bangsa Indonesia berkali-kali dijajah oleh bangsa Barat. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil0eVXZFc0sbqACg2QTjDRTQM7JcgD70Gl-6Oa2mvfdizAx_GanJ-VRJAtTAj8IV41N7blS-sEHmWfJ1YYbIjsj5SBYk4Bz3WUVknvjXFvdX7kqHL7klt6IBvqolwy4IkOHFfpnh50f7VP/s1600/DSCN1833.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil0eVXZFc0sbqACg2QTjDRTQM7JcgD70Gl-6Oa2mvfdizAx_GanJ-VRJAtTAj8IV41N7blS-sEHmWfJ1YYbIjsj5SBYk4Bz3WUVknvjXFvdX7kqHL7klt6IBvqolwy4IkOHFfpnh50f7VP/s1600/DSCN1833.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Sampul novel <i>Rara Mendut</i> karya Y.B. Mangunwijaya; Roro Mendut salah satunya dikenal sebagai perempuan penjual rokok bekas hisapannya dengan harga mahal | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /> Sejak dahulu, rakyat Indonesia memang memiliki keakraban dengan cengkeh, juga rokok kretek. Minyak cengkeh sering digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit. Salah satu fenomena yang menjadi “sejarah penting” tentang cengkeh adalah ketika sekitar tahun 1880, di Kudus, seorang Haji Jamhari secara tak sengaja mencampur cengkeh dalam tembakau rokoknya untuk obat asma yang telah lama dideritanya. Dan anehnya, penyakit asmanya berangsur-angsur sembuh. Maka sejak itu, rokok kretek pun dipercaya sebagai produk kesehatan yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. <br /><br /><b> Rokok Kretek sebagai Kreativitas </b><br />Jika kita menilik dengan teliti segala sikap serta perilaku budaya tradisi kita di Indonesia, hampir tidak ada yang tidak memiliki nilai seni. Dengan kata lain, orang-orang tradisional selalu mendasarkan sikap serta tindakannya dalam menghadapi kehidupan dengan rasa estetik, baik itu dalam penyikapannya terhadap hubungan manusia dengan alam sekitar, manusia dengan manusia lainnya, maupun hubungan vertikal dengan Yang Maha Pencipta. <br /><br /> Manusia Indonesia tradisional adalah manusia-manusia yang tidak pernah menyerah dengan keadaan. Mengapa demikian? Tengoklah bentangan sejarah kehidupan nenek moyang kita. Bagaimana mereka berjuang menghadapi hidup yang demikian kompleks dengan berbagai macam penyikapan budaya, mencipta berbagai produk budaya untuk menghadapi segala persoalan yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kreatif yang—sekali lagi, uniknya—selalu menciptakan suatu produk budaya baru yang sarat dengan nilai estetik. <br /><br /> Ketika misalnya seorang Haji Jamhari mengidap penyakit asma, ia berusaha mencari berbagai macam cara untuk mengobati penyakitnya itu. Ia kemudian menemukan suatu rempah-rempah yaitu cengkeh, yang sebelumnya memang digunakan untuk obat berbagai macam penyakit. Dengan kreativitas dan sikap bereksperimen, Haji Jamhari kemudian mencoba mencampur cengkeh pada lintingan tembakau yang tiap hari ia hisap asapanya. Ternyata eksperimennya berhasil dengan baik. Dengan kata lain, kreativitasnya menemukan suatu bentuk benda yang otentik, keotentikan Haji Jamhari. Karena setiap dihisap rokok campuran itu mengeluarkan bunyi <i>kretek-kretek</i>, ia kemudian menamai penemuannya itu dengan nama “kretek”. <br /><br /> Sejalan dengan berkembangnya pemikiran manusia, berbagai perkembangan, baik fisik maupun manajemen, terus dialami oleh rokok kretek. Perkembangan yang merupakan konsekuensi dari penemuan-penemuan baru atasnya itu, menjadi fenomena yang menguatkan eksistensi rokok kretek di mata rakyat Indonesia. Salah satu penemuan baru, yang juga merupakan sebuah seni yang lumayan sulit proses pencapaiannya, adalah seni melinting rokok kretek yang disebut <i>ting we</i>. Daya kreasi dan kualitas penguasaan <i>ting we</i> menjadi sebentuk persaingan antarpedangang dalam menarik para pelanggan. Pada posisi ini rokok kretek telah menguatkan dirinya dalam mengambil bagian pada ruang daya kreasi dan ekspresi manusia yang disebut sebagai seni. <br /><br /> Pada sisi yang lain, rokok kretek juga digunakan oleh seniman—terutama dari seni rupa—sebagai suatu media seni yang dapat mengungkap suatu makna tertentu. Pada 28 April–9 Mei 2005, di Galeri Nadi Jakarta, perupa Agus Suwage memamerkan sebuah karya instalasi berupa ribuan puntung rokok dalam sebuah boks kaca di atas sebuah becak. Karya yang merupakan respon atas puisi serta kepenyairan Chairil Anwar itu dengan gamblang menyajikan sisi kepenyairan Chairil serta sisi kebiasaannya yang gemar merokok. <br /><br /><b> Nilai dan Pengalaman Lain di Balik Nilai Patologis Rokok Kretek </b><br />Banyak nilai yang sebenarnya dapat kita temukan di balik nilai patologis rokok (kretek) sebagai suatu sumber penyakit yang mematikan. Melalui sisi estetik yang telah dijelaskan di atas, kita dapat menggali beberapa pengalaman yang memberikan gambaran bagaimana sebenarnya posisi rokok kretek dalam kehidupan orang Indonesia—tentu saja, sekali lagi, dengan mengesampingkan nilai kebahayaan yang dibawa rokok itu. <br /><br /> Pengalaman yang dialami oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang telah disinggung di awal tulisan ini memberi contoh gambaran kepada kita bagaimana sebenarnya rokok kretek memegang posisi yang sangat integral dalam proses kreatif seorang Pramoedya. Ini didukung oleh pernyataannya yang mengatakan ia tidak bisa menulis tanpa menghisap asap yang keluar dari bakaran tembakau bercampur cengkeh itu. Ini dapat menganalogikan bahwa, setidaknya tanpa rokok kretek kita barangkali tidak akan bisa menikmati karya-karya sastra berkualitas tinggi hasil guratan pena seorang Pramoedya. <br /><br /> Contoh lain misalnya adalah seorang Chairil, yang juga tak bisa melepaskan diri dari kepulan asap rokok kretek—kita tahu foto Chairil dengan pose menarik yang tengah menghisap rokok. Seorang Chairil juga tak bisa meninggalkan rokok ketika menuliskan karya-karyanya. Karya-karya Chairil dan rokok, secara implisit, sebenarnya menemui sebuah pertautan yang kuat. Dalam puisi Aku Chairil meneriakkan sebuah cita-cita besar: <i>aku ingin hidup seribu tahun lagi</i>. Namun, dalam kehidupan nyatanya, dalam kehidupan fisiknya, Chairil menemui ajal dalam usia yang sangat muda, 27 tahun. Dengan kebiasaannya merokok semasa hidupnya, kita dapat menebak bahwa penyebab kematiannya, selain penyakit kelamin, adalah penyakit yang dikarenakan racun nikotin rokok. Dengan kematiannya, Chairil tidak bisa mencapai cita-cita tingginya itu, rokok menjadi salah satu penyebab ketidakbisaannya mencapai cita-cita itu. Namun, karya-karya Chairil hidup terus-menerus, bahkan mungkin bisa melebihi seribu tahun. Chairil telah mencapai cita-citanya dalam karya-karyanya itu. Chairil “hidup” seribu tahun lebih. Maka, salah satu penyebab keduanya itu—kematian serta “kehidupan seribu tahun” Chairil—adalah rokok. <br /><br /><b> Rokok Kretek dalam Konteks Budaya Indonesia</b><br />Seorang Mark Hanusz pernah menulis buku tentang rokok kretek yang berjudul <i>Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes</i> (resensinya sempat dimuat di <i>Kolong Budaya</i>, Agustus–Desember 2001, ditulis oleh Wikan Satriati). Mark Hanusz (yang saya baca lewat Wikan Satriati) menceritakan asal mula ditemukannya rokok kretek, juga kaitannya dengan kekayaan rempah-rempah Indonesia, termasuk di dalamnya cengkeh, yang telah memikat para pemburunya (orang Barat) untuk menduduki negeri-negeri penghasilnya, tentu saja dengan meninggalkan petaka penjajahan yang berkepanjangan. Mark Hanusz juga menulis, betapa rokok kretek di Indonesia telah menarik dunia industri untuk mulai melirik keberadaannya. Selain itu, rokok kretek adalah suasana khas Indonesia yang bisa disetarakan dengan batik, nasi goreng, atau wayang kulit. <br /><br /> Dengan demikian, Mark Hanusz telah memposisikan rokok kretek sebagai suatu tradisi, sebagai suatu produk budaya yang otentik Indonesia. Kita tahu, bahwa dalam dunia perokokan ketika menyebut rokok kretek, yang terbayang adalah bangsa Indonesia. Rokok kretek memang telah menjadi identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia. Jika diungkapkan lebih ekstrem lagi, rokok kretek adalah Indonesia. <br /><br /> Di Indonesia sendiri kita lihat betapa rokok kretek telah mengambil cukup banyak ruang dalam kehidupan rakyat Indonesia. Ruang-ruang seperti sistem mata pencaharian, kesenian, dan tradisi kehidupan sehari-hari, telah menjadi “mitra” rokok kretek di Indonesia, dalam meraih eksistensinya. Bahkan, ketika rokok kretek menjadi kebutuhan bagi para pekerja, ia telah menjadi “bahasa” yang mampu mengadakan “dialog” dengan nurani kerja para pekerja. Rokok kretek juga merupakan salah satu benda yang dapat mempersatukan ruang-ruang sosial yang selama ini di sekat oleh berbagai hierarki golongan sosial atau stratifikasi sosial. Rokok rokok kretek merupakan salah satu produk—dari secuil produk—yang mampu menembus batas strata sosial di masyarakat. Lihat saja ketika banyak orang, mulai dari rakyat jelata sampai para pembesar negara, menghisap rokok kretek. Asapnya yang mengeluarkan aroma khas tropis Indonesia itu mengepul di pasar, pangkalan becak, alun-alun, sawah, jalanan, rumah-rumah, pertunjukan seni, bahkan hingga ke gedung-gedung kantoran para birokrat. <br /><br /> Nah, dengan telah ditempatinya berbagai ruang kehidupan rakyat Indonesia oleh rokok kretek, maka ia merupakan suatu bentuk sistem gagasan, tindakan, juga hasil karya manusia (Indonesia), yang di dalamnya ada suatu proses pencapaian yang cukup panjang. Dengan kata lain, rokok kretek adalah suatu wujud kebudayaan bangsa Indonesia.<br /><br /><b> Rokok Kretek dalam Konteks Sejarah dan Politik Indonesia</b><br />Seorang Haji Agus Salim, dalam sebuah perundingan dengan Belanda di Den Haag, melakukan suatu aksi “kecil” yang sangat mempermalukan pihak penjajah, dengan rokok kretek. Di ruang perundingan yang berplang “dilarang merokok” itu Haji Agus Salim malah dengan bangga—dan sekaligus getir—menghisap sebuah lintingan rokok kretek. Seorang peserta perundingan dari pihak Belanda kemudian menegurnya, serta menuduhnya tidak sopan karena telah melanggar sopan-santun. Dengan berwibawa kemudian Haji Agus Salim menanggapi teguran itu, “Tidak sadarkah Tuan-tuan, bahwa benda kecil inilah yang telah menyebabkan Tuan-tuan mengungkung rakyat Indonesia dalam penderitaan yang berkepanjangan?” <br /><br /> Ya, cengkeh—sebagai salah satu rempah-rempah dan bahan baku rokok kretek—adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia telah menciptakan suatu kebanggan bagi suatu bangsa yang bernama Indonesia karena telah memberikan banyak berkah dan kasiat alamiahnya, di sisi lain ia menjadi salah satu sumber penderitaan selama 300 tahun lebih bagi bangsa Indonesia. <br /><br /> Dalam konteks politik Indonesia, rokok kretek juga adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia telah menyumbang sekian banyak rupiah ke kantong kas negara melalui pajak-pajaknya. Bahkan sebagian besar sumber pajak Indonesia berasal dari rokok. Bayangkan, hanya dengan pelimpahan saham PT. HM. Sampoerna ke perusahaan rokok Philips Morris (pembuat rokok Marlboro di Indonesia) pada kisaran 2005, negara mendapat bagian sebesar 10%. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dibangun oleh kepulan asapnya. <br /><br /> Namun di sisi lain, di tengah gencarnya pemerintah memunguti serta menikmati sekian banyak pajak rokok, pemerintah gencar pula memperingatkan berbagai bahaya rokok. Pemerintah juga gencar dengan kampanye anti-rokok. Bahkan, Pemda DKI telah memberlakukan undang-undang dilarang merokok di tempat umum. <br /><br /><i> Jogja, Juni 2005 – Juli 2014</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-34246755287515869582014-07-27T15:29:00.001+08:002016-07-08T18:47:38.218+08:00Arsitektur Tubuh-Suara<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<b>Hak</b> é!” Tubuh kuda kepang itu meliuk, menggeliat, melonjak, mengentak. “Hok ya!” Tubuh kuda kepang menciptakan peristiwa, tanpa “pretensi cerita”. “Hak é!” Tubuh kuda kepang meletupkan impresi dalam tubuh penonton. “Hok ya!” Penonton menangkap peristiwa tubuh kuda kepang, merangkai sendiri cerita dalam peristiwa itu, lalu menyusun narasi sendiri, narasi dari pengalaman tubuh penonton. “Hak é! Hok ya!” Namun kuda kepang tetap tubuh dan suara. (<i>Sebuah pengalaman menonton pertunjukan jaranan atau kuda kepang atau jathilan atau ebleg</i>.) <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Serat-serat dari masa lalu ditembangkan dengan iringan musik terbangan dalam seni tembang santi swara. “Haaak é!” Bait demi bait serat mengalir dalam metrum tembang. “Haaak é!” Bait demi bait yang naratif mengalun ditingkahi bunyi terbang, kendang dan kemanak. “Haaak é!” Biarkan suara masih menyelinap dalam luberan narasi. (<i>Sebuah pengalaman menonton seni tembang santi swara oleh Laras Madya Santiswaran, pimpinan Bapak Waluya, Solo.</i>)</span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8p5CYfXHAxpcbZPvQ9rRoxJQbafjWx1_B8wwmgsN9LvHjbHkurSMIUldsypM9hrs3rz0e2qllVktkP4siQsUsVTuJ6LYuyhYjpPRjpAajmhCJBQpEewsNXl9jzueDk9S46J6IuFNmvLZ8/s1600/poster.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8p5CYfXHAxpcbZPvQ9rRoxJQbafjWx1_B8wwmgsN9LvHjbHkurSMIUldsypM9hrs3rz0e2qllVktkP4siQsUsVTuJ6LYuyhYjpPRjpAajmhCJBQpEewsNXl9jzueDk9S46J6IuFNmvLZ8/s1600/poster.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />“Cak! Cak-cak-cak....” Formasi tubuh-tubuh telanjang dada bersuara. “Cuk! Cuk-cuk-cuk....” Arsitektur suara dan arsitektur tubuh luluh dalam arsitektur pura atau arsitektur alam sawah. “Cik! Cik-cik-cik....” Kadang narasi “Penculikan Sita” atau “Pertarungan Subali-Sugriwa” menyelinap. “Cak!” Tapi tubuh tetap <i>cik</i>. Tubuh masih <i>cuk</i>. Tubuh adalah <i>cak</i>. (<i>Pengalaman tentang peristiwa teater Kecak, Bali.</i>) <br /><br /><b> Hegemoni Budaya Narasi</b><br />Ketika bayi, tubuh kita adalah tubuh suara. Kita berkomunikasi dengan suara. Kita menunjukkan Ada kita lewat suara. Tangis pertama, ketika tubuh kita berpindah dari jagat rahim ke jagat luar, adalah suara pertama tentang Ada kita, bukti pertama eksistensi dalam peradaban. Namun bersamaan dengan itu, dunia luar menyergap tubuh, dengan lamat namun pasti kebudayaan memerangkap kita, perlahan mengubah tubuh suara menjadi tubuh narasi. <br /><br /> Sejarah kebudayaan kita pun demikian. Awalnya alam semata berbicara lewat gerak dan suara, dan di dalamnya manusia juga bergerak dan bersuara, menyelaraskan diri dengan alam. Lalu gerak dan suara alam dianggap sebagai pertanda sesuatu di luar gerak dan suara itu—baik sesuatu yang imanen maupun transenden. Lalu dimitoskan. Lalu mitos dinarasikan. Lalu muncul agama, dengan narasi-narasi agungnya. Lalu narasi-narasi budaya modern—bahkan televisi yang audiovisual itu pun sangat naratif sekarang. Narasi telah menghegemoni sekian lini. Bahkan siklus alamiah kita sebagai manusia sering dihambat oleh narasi kebudayaan. Contoh kecil, misalnya, narasi budaya kesopanan dan kesantunan melarang kita untuk kentut di depan umum. Suara kentut yang alamiah (dan sangat disarankan secara medis) itu menjadi haram ketika berhadapan dengan narasi tentang norma. <br /><br /> Di dunia komunikasi, di samping gerak, suara adalah bahasa paling purba. Lalu kebudayaan mengkonversi suara menjadi huruf, suatu proses transliterasi. Lalu huruf menjadi kata (simbol suatu ucapan yang memiliki makna di sebaliknya). Lalu kata menjadi kalimat. Lalu kalimat menjadi wacana, menjadi narasi. Suara kemudian hanya alat untuk berkomunikasi. Suara tidak diposisikan sebagai komunikasi itu sendiri. <br /><br /> Namun (agak) beruntung, dalam hegemoni budaya naratif yang <i>tumpuk-undung</i> dan berebut ruang itu, kita masih punya sisa-sisa “budaya suara”, suatu bentuk kebudayaan yang tak dimaknai lewat narasi atau sebagai simbol suatu narasi tertentu. Ia mandiri sebagai suara yang juga bermakna sebagai suara itu sendiri—sebagaimana Sutadji Calzoum Bachri dalam sajak-sajaknya membebaskan kata dari makna, mengembalikan kata kepada mantra. Dalam beberapa pertunjukan tradisi seperti diilustrasikan dalam pembuka tulisan ini, kita masih menemukan adanya unsur suara yang mandiri, yang tidak naratif, yang tidak dibebani makna di sebaliknya, walaupun ia cuma menyelip di antara unsur utama pertunjukan: narasi. <br /><br /> Di alam masih kita temui suara burung, katak mencipta orkestra di musim hujan, nyaring suara serangga meningkahi gemerisik dedaun, lenguh kerbau (yang ditambat tali oleh tuntutan budaya konsumsi kita), gemericik air, riuh pusaran angin, dan “suara senyap alam”. Semua menunggu kita, insan artistik sekaligus <i>homo ludens</i>, untuk “bermain-main”, menyambut mereka untuk berkomunikasi. Dunia anak-anak—harus kita akui—lebih lihai bermain-main dengan suara alam: <i>ciblonan </i>di sungai atau sendang, membuat mainan suara dari pelepah pisang atau pepaya atau jerami, menabuh batu-batu kali, dan sebagainya. <br /><br /><b> Mengembalikan Tubuh ke Suara</b><br />Kata <i>sutradara </i>yang di dunia teater modern Indonesia kita padankan dengan kata Inggris <i>director</i>, kita adopsi dari kata Sanskerta <i>sutradhara</i>, yang berarti arsitek, seniman, pemahat. Dalam konteks pembangunan arsitektur candi, <i>sutradhara </i>adalah orang yang menentukan dan memahat cerita menjadi relief-relief candi. Barangkali kita mengadopsi kata itu karena ia memiliki kualitas merancang dan membangun (meng-arsitek-i) dalam lingkup kerja artistik. Walaupun teater modern adalah pengaruh Barat, kita tidak memilih untuk mengadopsi kata <i>director </i>yang lebih punya kualitas mengatur, memimpin, memerintah, dalam konteks kerja organisasi. <br /><br /> Tubuh adalah suatu arsitektur yang memiliki gerak dan suara. Pertunjukan teater adalah peristiwa dialog antara tubuh sebagai arsitektur <i>jagad alit</i> dengan alam sebagai arsitektur <i>jagad ageng</i>. Dialog tercipta melalui suara tubuh dan suara alam—juga gerak tubuh dan gerak alam. Dalam kecenderungan pertunjukan teater kekinian, posisi alam sebagai arsitektur <i>jagad ageng</i> sering diganti dengan panggung (yang dimaknai sekadar sebagai tempat pertunjukan, sehingga hubungan suara dengan arsitektur semata mewujud dalam urusan akustik gedung pertunjukan) dan penonton (yang berjarak pula, sehingga jarang terjadi dialog). Lalu unsur suara pun hanya digunakan sebagai media penyampaian narasi atau penyampaian irama (melalui musik). <br /><br /> Dunia seni pertunjukan kita sekarang, terutama teater dan tari, telah dihegemoni sedemikian rupa oleh narasi. Pertunjukan teater, yang pada dasarnya merupakan peristiwa, kini berjejal dengan narasi-narasi yang biasanya dilahirkan oleh naskah lakon. Unsur suara (kata yang diucapkan) hanya menjadi media penyampaian narasi. Bahkan pertunjukan tari, yang jelas-jelas adalah pertunjukan tubuh, kian tidak percaya dengan kemandirian tubuh dalam bergerak, sehingga pertunjukan sering menjadi kenes dengan penjejalan berbagai narasi di sebalik gerak tubuh. <br /><br /> Bagaimana jika pertunjukan teater “dikembalikan” kepada peristiwa suara (dan gerak) yang mandiri, tanpa beban narasi? Peristiwa teater “dikembalikan” sebagai suatu arsitektur tubuh-suara (tubuh-suara manusia, tubuh-suara alam) yang bergerak oleh waktu, tanpa berpretensi menyampaikan cerita yang naratif. Kerja berteater “dikembalikan” sebagai kerja berdialognya manusia (aktor, sutradara dan pekerja artistik lainnya) dengan alam (yang di dalamnya juga terdapat manusia lainnya, dan Tuhan). <br /><br /><i> Jogja, Juli 2012</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><i><br /></i></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-62359656385631264722014-07-27T14:28:00.000+08:002016-07-08T18:54:06.931+08:00Pergelaran Wayang Kulit Itu Bernama Pemilu<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Bagi </b>masyarakat Hindu-Bali yang pernah melibatkan diri secara utuh dalam suatu pergelaran seni pertunjukan (di antaranya, teater) tradisional di pura-pura atau di tempat upacara lainnya, pasti bisa merasakan (dan tentunya lalu menemukan makna) bagaimana keterlibatan itu memberi impresi-impresi tertentu terhadap kehidupannya. Dan ini juga pasti terjadi bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan lainnya. Impresi-impresi yang merupakan bagian dari pengalaman tersebut bisa saja memberikan suatu pesan moral, mengubah idealisme, menjadi pijakan hidup, bahan introspeksi diri, atau sekadar berhenti pada tataran pengalaman yang kemudian menjadi pengetahuan. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Sebuah peristiwa adalah pengalaman. Suatu keterlibatan. Dan keterlibatan itu harus disikapi, misalnya dengan pertimbangan, agar makna yang bisa ditimba dari dalamnya tidak melenceng dari tujuan kehidupan. Selain itu, keterlibatan pun harus dibedakan. Bukan dari segi kualitas atau kuantitas. Namun dari segi mana (perspektif) keterlibatan itu harus dijalankan. Inilah yang memerlukan pertimbangan. </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjE3AJPB3ztCeVs7RgPG6rW51b_YvACHJKnePNx7E0X6VHcS4i0AzSODEwJnV64I8RVRYpDvA_BqKde45CwitVQP3JUgYtKF6AKyjM4LgGQCnzszXezg2onT24Tn8hhYvFoMuAAVO2Wv4_J/s1600/IMG_3394.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjE3AJPB3ztCeVs7RgPG6rW51b_YvACHJKnePNx7E0X6VHcS4i0AzSODEwJnV64I8RVRYpDvA_BqKde45CwitVQP3JUgYtKF6AKyjM4LgGQCnzszXezg2onT24Tn8hhYvFoMuAAVO2Wv4_J/s1600/IMG_3394.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Pentas wayang oleh Ki Enthus Susmono di Kaliurang, Jogja, 2009 | Foto: Ibed</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Demikian pula dengan peristiwa yang disebut pemilu. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa pemilu adalah peristiwa yang menjadi bagian dari kompleksitas kehidupan warga negara. Dan inti dari suatu peristiwa, adalah keterlibatan. Jika ditilik secara lebih mendalam, pemilu bukan hanya suatu keterlibatan bagi mereka yang telah memegang hak pilih, namun juga bagi mereka yang belum mendapatkan hak pilihnya. Sebab pemilu adalah peristiwa yang mengambil peran yang cukup besar dalam pembentukan ruang dan waktu yang bernama masa depan, yang menjadi medan kehidupan bagi segala umur warga negara yang ada di dalamnya. <br /><br /> Sebelum lanjut, mari saya coba urai masalah keterlibatan—terutama dalam konteks tulisan ini. Dulu, ketika saya masih berumur 8-14 tahun, seringkali ada perhelatan upacara yang menghadirkan pergelaran wayang kulit pada malam harinya. Dari segala umur, masyarakat sekitar—bahkan dari kampung-kampung nan jauh—datang ke tempat pergelaran. Jangan harap mereka semua akan menjadi penonton. Dan jangan harap pula yang jadi penonton adalah benar-benar menonton. Yang jadi penonton paling banter 75%. Yang lainnya datang untuk berdagang, menggelar arena judi kecil-kecilan (seperti <i>bola adil</i>, <i>kocokan </i>(dadu), dll.), menjadi petaruh, sekadar membeli nasi <i>lawar barak</i> atau jagung rebus, yang remaja mencoba adu nasib asmara dalam mencari pasangan, lalu tentu saja ada yang datang untuk menjadi dalang wayang, penabuh, dan kru wayang lainnya, serta masih banyak lagi warna kegiatan lain, yang notabene menjadi satu-kesatuan (melibatkan diri) dalam sebuah peristiwa yang bernama pergelaran wayang kulit. <br /><br /> Setelah dalang mengakhiri lakonnya, tentu saja semuanya bubar, menuju kembali ke ruang dan waktu mereka masing-masing, menjalani dinamika-dinamika masa depan—baik dalam skala besar maupu kecil. Apa yang mereka dapatkan? Kita dapat menerkanya dari kegiatan yang mereka lakukan saat pergelaran wayang itu. Penonton yang benar-benar menonton tentu akan membawa bekal suatu cerita lakon, suatu pesan dan kesan yang disampaikan lakon; yang sekadar menonton paling hanya membawa banyolan yang disampaikan oleh para punakawan, atau <i>gempalan-gempalan </i>(peristiwa nyata atau isu-isu—biasanya yang konyol—yang berdedar pada masyarakat sekitar yang dijadikan guyonan dalam lakon wayang) yang kemudian dijadikan bahan ejekan atau guyonan; para pedagang akan membawa secuil laba atau dagangan yang tersisa; para petaruh dan <i>belandang </i>(pemilik, bos) judi kecil-kecilan membawa kemenangan atau kekalahan; para remaja pencari pasangan akan membawa hati yang berbunga asmara atau kekecewaan emosional yang menyayat hati; dan masih banyak lagi. <br /><br /> Nah, dalam dinamika itulah keterlibatan itu terjadi, sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan. Mereka membawa hasil pengalaman mereka ke ruang dan waktu di depan, sesuai dengan sisi keterlibatan yang mereka pilih dan lakukan. <br /><br /> Peristiwa pergelaran wayang kulit adalah suatu teater—bukan saja karena terminologi keilmuan seni yang memposisikan wayang sebagai bagian dari seni teater. Ia adalah peristiwa yang penuh dinamika dan keterlibatan massa di dalamnya, suatu peristiwa kolektivitas yang menjadi bagian dari kompleks kehidupan dan membawa pengaruh—atau paling tidak memberi warna—pada pola pikir dan sikap (juga laku) kehidupan manusia yang terlibat di dalamnya dalam menapaki ruang dan waktu di masa depan. Inilah suatu peristiwa teater! <br /><br /> Bukankah demikian juga dengan peristiwa pemilu? <br /><br /> Pemilu adalah juga peristiwa kolektif, yang melibatkan seluruh manusia yang berada di dalam suatu ruang dan waktu dalam konteks negara, baik secara langsung atau tidak—walaupun secara konsep perhelatan ini memakai pemilihan langsung. Seluruh manusia? Termasuk yang tak memegang hak pilih? Ya, seperti yang disinggung di atas, pemilu memegang peran yang cukup besar dalam pembentukan ruang dan waktu di masa depan. Dan masa depan adalah milik semua manusia di dalam masa itu. Inilah makna dalam kolektivitas pemilu yang harus digali lebih mendalam. Di sini pula keterlibatan harus disikapi agar makna pengalaman (keterlibatan) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan masa depan bisa sesuai dengan tuntutan massa, ruang, dan waktu. <br /><br /> Penyikapan yang kemudian menghasilkan keputusan dari segi mana keterlibatan harus dijalankan dalam pemilu, tentu saja sangat menentukan kualitas makna itu. Siapa yang berkuasa mengambil putusan keterlibatan itu? Tentu saja diri sendiri. Individu yang ada dalam ruang dan waktu itu. Bagaimana kuasa mengambil keputusan itu harus dijalankan agar bisa merangkul makna yang tepat? Ya tentu saja harus membaca dulu seperti apa tuntutan massa, ruang, dan waktu yang ada. Dengan dasar itu, bagaimana pula proyeksi yang tepat untuk mengisi ruang dan waktu di depan. <br /><br /> Pengambilan sikap dari sisi mana keterlibatan dalam pemilu harus dilakukan, memiliki implikasi besar dalam menentukan di sisi mana masa depan akan dijalani. Apakah Anda ada pada sisi Rama, Bima, Yudhistira, Anoman, Sakuni, Duryadhana, dalang, asisten dalang, penonton yang baik (yang mampu melakukan komunikasi dengan lakon yang ditontonnya), sekadar penonton (<i>apang ngenah ramé gén</i>—hanya untuk meramaikan), pengadu taktik dalam judi kecil-kecilan, pembeli yang “<i>kénkén ja ditu, né penting basang waké betek</i>—terserah, yang penting perutku kenyang”, atau cuma berdiam diri saja di dalam kamar—tak peduli dengan riuh suara gamelan, suara dalang, teriak penonton (riuh kampanye, perdebatan tentang bakal calon, intrik politik, pencekalan, dll.). <br /><br /> Eh, ngomong-ngomong, bukankah dengan dinamika-dinamika itu kolektivitas tercipta dan mencapai maknanya? Nah....<br /><br /><i> Jogja, 2005</i><br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8645855071737266864.post-17507050231838910592014-07-26T22:12:00.000+08:002016-07-08T19:05:41.697+08:00Pemimpi(n)<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><b>Saya </b>tiba-tiba tergerak untuk menulis tentang kisaran gemuruh “pesta demokrasi” pemilu di Indonesia. Latah dan gagap, barangkali. Tapi biarlah. Toh saya juga bagian dari rakyat, yang sering kali nanti hanya mendapat remah-remah pesta itu. <br /> </span><br />
<div style="text-align: left;">
</div>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">Siapa pun yang terpilih harus diterima sebagai keniscayaan bahwa dialah pilihan “rakyat”. Ya, “rakyat”! Bukan rakyat! Bukan pula Rakyat (dengan “R”)! Karena apa yang disebut “rakyat” atau “pemilih” dalam pesta ini bukanlah sesuatu yang an sich. Bukan pula rakyat sebagaimana yang dimaksud jargon <i>vox Populi vox Dei</i>. Ia adalah topeng yang barangkali cuma penampakan maya semata, yang di belakangnya berjubel kepentingan-kepentingan yang saling mempengaruhi, saling silang, tarik ulur, <i>chaos</i>. Dengan demikian “rakyat” adalah inang yang telah kehilangan keinangannya karena terkontaminasi parasit-parasit, namun masih banyak yang mengakui bahkan mengamini bahwa ia tetaplah inang, bahkan Inang. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg91vuC_22_LPtbhcq9TFkW7lwIYUUkMGar4YoJvScmODa1pQkiPdnRyGBYU3iooLsP5jvJCRJOGtW_JSmVCRxCdtv6GRWWSenuyQmvtAM8Jg0HQI2ht5z2KSLem3vJ5laQqkmUe-3cjN3u/s1600/Jean-Auguste-Dominique_Ingres_-_Oedipus_and_the_Sphinx_-_Walters_379.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg91vuC_22_LPtbhcq9TFkW7lwIYUUkMGar4YoJvScmODa1pQkiPdnRyGBYU3iooLsP5jvJCRJOGtW_JSmVCRxCdtv6GRWWSenuyQmvtAM8Jg0HQI2ht5z2KSLem3vJ5laQqkmUe-3cjN3u/s1600/Jean-Auguste-Dominique_Ingres_-_Oedipus_and_the_Sphinx_-_Walters_379.jpg" /></span></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: inherit; font-size: xx-small;"><span style="background-color: white; color: #333333; line-height: 14.56px;">Ilustrasi: Sosok </span><span style="background-color: white; border-image-outset: initial; border-image-repeat: initial; border-image-slice: initial; border-image-source: initial; border-image-width: initial; border: 0px; color: rgb(85, 85, 85) !important; font-stretch: inherit; line-height: 30px !important; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Oedipus sebagaimana digambarlan </span><span style="background-color: white; border-image-outset: initial; border-image-repeat: initial; border-image-slice: initial; border-image-source: initial; border-image-width: initial; border: 0px; color: rgb(85, 85, 85) !important; font-stretch: inherit; line-height: 30px !important; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Jean-Auguste-Dominique Ingres | Foto:<a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Oedipus_the_King">wikipedia.org</a></span></span></td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br />Maka ketika hari H pesta berlangsung, di mana “rakyat” akan menentukan pilihannya, termasuk menentukan untuk tidak memilih salah satu dari sekian calon, sikap “rakyat” sangat ditentukan oleh pertarungan kepentingan-kepentingan di balik dirinya. Mengingat pertarungan itu terus berlangsung, yang menang tadi bisa kalah kemudian dan begitu seterusnya, maka momenlah yang menentukan sikap “rakyat” untuk memilih dan tidak memilih yang mana. Momen itu mungkin hanya dalam hitungan menit. Di sinilah seorang calon pemimpin harus memberlakukan strategi pemengaruhan yang bisa mengena saat hari H. <br /><br /><b>“Pesta Demokrasi”, Pesta Para Pemimpi</b><br />“Pesta demokrasi”, seperti pemilihan bupati, pada dasarnya adalah suatu proses pewujudan mimpi. Mimpi untuk menjadi pemimpin dan mimpi memiliki pemimpin yang benar-benar mampu memimpin. Ini “ideal”-nya. Namun kondisi mutakhir menunjukkan “ketidakidealan”. Kita tahu ini. Namun keakutan yang sedemikian rupa dan kompleks sering mengantar kita pada ketidaksadaran akannya. <br /><br />Mimpi bukan sekadar masa depan yang dibayangkan. Mimpi adalah konstruksi yang sebenarnya demikian riil jika yang memimpikan mau dengan jujur mengakuinya. Mimpi juga tidak pernah bisa jauh dari kepentingan-kepentingan, minimal kepentingan akan mimpi itu sendiri. Karena memang kepentinganlah yang menjadi salah satu syarat untuk bisa memimpikan mimpi. Mimpi juga bisa demikian terpaut dengan masa lalu dan sekarang, dan sebaliknya bisa hadir dengan hentakan keras untuk menolak hantu masa lalu, bahkan yang sekarang—di mana mimpi sedang dipijakkan. <br /><br />Maka jika seorang kandidat pemimpin memimpikan kondisi saat ia menjadi pemimpin nanti, tentu saja kepentingan-kepentingan tidak bisa dilepaskan dari konstruksi mimpinya. Entah itu kepentingan dalam tataran pribadi maupun komual. <br /><br />Sebuah pidato Presiden Lincoln tentang alasan mengapa Amerika Serikat harus berdiri adalah bahwa Amerika Serikat adalah sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama. Mimpi Lincoln yang berefleksi pada masa lalu ini, bahkan lebih jauh pada sejarah kemanusiaan, kemudian menjadi salah satu alasan perang melawan sejumlah kekuatan separatis di beberapa negara bagian Amerika Serikat. <br /><br />Barangkali ketika itu Lincoln tidak menemukan jalan lain selain perlawanan dengan perang (kekerasan), sehingga mimpinya sebagai pemimpin yang dalam konteks ini merupakan mimpi naluri kemanusiaan komunal, harus diwujudkan dengan melancarkan kekerasan terhadap manusia lainnya. Ada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan yang lebih mulia barangkali di sini, ketika manusia harus dijejali dengan kekerasan demi kemanusiaan (yang lain). <br /><br />Namun kemanusiaan adalah semacam tujuan akhir dari mimpi. Jika penggapaian mimpi harus mengorbankan beberapa sisi darinya, mimpi itu harus mewujud untuk kemanusiaan itu sendiri pada sisi lainnya yang lebih luas. <br /><br /><b>Kemenangan sebagai “Kekalahan yang Lain” </b><br />Dalam sekian panjang narasi sejarah manusia, hampir selalu ada korban untuk menggapai mimpi, sebagaimana hampir selalu ada kalah untuk mencapai menang. Dan kemenangan pun bukan akhir dari narasi, bukan <i>the end of story</i>. Mimpi pun bukan akhir dari tidur. Selalu ada kisah lanjutan dari kemenangan, dari mimpi yang telah digenggam, yang sering bukan menjadi kisah kemenangan terus-menerus, bukan mimpi indah yang berkepanjangan, namun semacam “titik balik” dari kemenangan atau mimpi indah itu sendiri. Ia adalah semacam “kekalahan yang lain”. Ada pula yang berupa bayang-bayang hitam masa lalu, yang sebelumnya—barangkali dalam proses pencapaian mimpi—dengan sengaja atau tidak ditenggelamkan, yang muncul kembali dengan diam-diam tapi pasti di tengah-tengah sorak-sorai kemenangan, di tengah ketenangan dan senyum manis mimpi indah. <br /><br />Begitulah Oedipus, seorang tokoh dalam mitologi Yunani, ketika di tengah ketenangannya menduduki takhta Kerajaan Thebes ia menerima kenyataan bahwa ia telah membunuh ayahnya, Raja Thebes sebelumnya, dan menikahi ibunya, Jocasta, yang menjadi permaisurinya. Jika Oedipus adalah tipe pemimpin yang menafikan begitu saja masa lalunya, atau manusia yang berkhianat terhadap sejarah kemanusiaannya, maka tentu saja ia akan mungkir dari tuduhan tersebut dan melanjutkan pendudukan terhadap takhtanya. Mungkin ia akan menolak ramalan nasibnya, takdir yang telah ditetapkan dewa semenjak kelahirannya, dan mencari apologi serta berbagai pembenaran yang kemudian dimahfumkan kepada rakyatnya, sehingga ia dapat dengan leluasa lagi memerintah Thebes tanpa ancaman dari mana pun, bahkan dari para dewa. <br /><br />Tapi Oedipus tidak memilih itu. Ia memilih mencungkil kedua bola matanya. Turun takhta. Lalu mengasingkan diri bersama kebutaannya di Kolonus hingga wafat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: medium;"><br /></span>
<span style="font-size: medium;"><b>Ibed Surgana Yuga</b></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0